Demam Gara-Gara Leadership oleh Ikhwanushoffa, Manajer Lazismu Jawa Tengah.
PWMU.CO – Siang menjelang sore masuk pesan dari Kang JTO, panggilan akrab Joko Intarto, Manajer Fundraising Lazismu Pusat. Dia infokan project kandang Weduslemu di Lazismu Grobogan yang sudah masuk tahun kedua.
Judul tulisannya ATM Kambing. Masuk pesan jam 13.37 WIB tapi baru kebuka sore karena dengan staf sedang survei tempat Rakerwil tanggal 24-25 Desember esok. Seperti biasa chatting berlanjut seru jam 16.13 hingga 17.37 WIB.
Sejam lebih dalam perjalanan Jepara-Semarang. Dalam batinku selalu kagum pada semangat kakang satu ini tiap menularkan ilmunya.
Tensi pembicaraan jadi menegang ketika dia menyinggung ranah sensitif. “Sekaligus ini pengaderan leadership om,” katanya.
Spontan kujawab, “Denger leadership aku langsung demam…” Leadership di Lazismu seperti terbuai oleh keelokkan leadership Muhammadiyah, padahal tuntutan kelembagaan beda banget.
“Memang itu masalahnya, double-double di semua lembaga. Ngurusi satu saja gak serius, mana bisa kita kerja di lembaga sampai empat. Habis waktunya buat rapat, kapan nyambut gawene?!”, begitu straight dia. Persis seperti yang kuduga.
Dia langsung bercerita yang akan menjadi inti tulisan ini, bagaimana Dahlan Iskan memoles dirinya di usia yang masih amat belia.
“Kalau gaya Dahlan Iskan yang saya ikuti, kasih challenge anak muda untuk memimpin satu proyek. Kalau berhasil taruh di situ sampai menthok. Saya termasuk satu di antaranya. Jadi Dirut perusahaan koran saat usia 23.”
“Saya protes, kenapa saya? Kan belum pengalaman? Jawabnya Dahlan Iskan begini: Pertama, anak muda itu selalu ingin membuktikan bisa. Maka apa pun akan dilakukan agar diakui.
Kedua, itulah energi terbesar dalam membangun bisnis. Gak perlu ongkos. Bayangkan, saya masuk JP th 1991 anak perusahaan baru enam. Saya kembali ke induk JP tahun 1999, anak perusahaan sudah 400. Itu gila banget.
Kalau dirata-rata setiap pekan lahir satu perusahaan. Omsetnya triliun. Ada kawan saya baru bergabung dua bulan, dikasih kepercayaan mendirikan koran. Sukses pula.
Ada pegawai rendahan, office boy, lalu jadi sopir, ingin jadi wartawan. Dikasih. Akhirnya mimpin koran terbesar di Kalbar. Kalau yang gini-gini Dahlan Iskan memang jempolan, gak ada lawan,” jelas JTO makin gamblang.
Sejak 2011 gabung di Lazismu, aku pernah merasakan full di Daerah, separo Daerah separo Wilayah, sekarang full Wilayah. Juga pernah full BP dari anggota hingga ketua, separo BP separo eksekutif, terus full eksekutif dari Manajer Divisi hingga sekarang Manajer Area.
Dari perjalanan itu kusimpulkan, yang menentukan abang-ijonya Lazismu ya BP. Secara nomenklatur yang saat ini berlaku mengonfirmasi hal demikian, dan rencana perubahan nomenklatur tersebut sebelum Muktamar 48 juga lenyap tertiup angin.
Selama BP yang diamanahi masih dipercaya pimpinan, maka BP-lah penentu terbesarnya. Gak usah diceritakan soal BP yang sudah tidak dipercaya pimpinan, kemudian pimpinan langsung main dengan Eksekutif. Itu mah anomali. Gak usah dicontoh.
Di banyak tempat kumelihat banyak fresh graduate ada di kantor-kantor Lazismu. Tapi mereka tidak mendapatkan kesempatan yang memadai.
Tak sedikit mereka layaknya hanya seperti penjaga kantor atau juru ketik. Gegara BP emoh melepas area kekuasaan eksekutifnya.
Ini kan saru, apalagi di lembaga keuangan syariah macam kita. Sudah penentu kebijakan, jadi eksekutor pula. Lha mana yang memerintah dan mana yang diperintah?
Ini bukan perusahaan pribadi. Apa tidak mau belajar pada Dahlan Iskan. Apa tidak ingin Lazismu bisa segede JP Grup.
Usah curigai anak-anak muda itu akan maling uang Lazismu, karena kekuasaan absolutlah yang paling berpotensi untuk korup.
Ya, mungkin diriku salah. Aku juga tidak tahu sesungguhnya apakah diriku termasuk akselator atau malah penghambat Lazismu.
Maka, pantaslah kita berdoa bila memang hakikinya di mata Allah ta’ala kita menjadi perusak Lazismu atau bahkan Muhammadiyah.
Semoga amanah di Persyarikatan ini diambil dengan cara yang baik.
Wallaahu a’lam.
Singosari, 21 Jumadil Awal 1444 H
Editor Sugeng Purwanto