Seni Menyentuh Hati agar Dekat dengan Anak; Liputan Kontributor PWMU.CO Gresik Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni.
PWMU.CO – Ketua Yayasan Anak Muslim Ceria Erlan Iskandar ST menegaskan orangtua juga perlu belajar seni komunikasi agar bisa berinteraksi dengan manis dan indah kepada anak-anaknya.
Pria yang biasa disapa Kak Erlan ini mengungkap, para ulama terdahulu sangat semangat mendidik dan mengajar anak-anak mereka. Misalnya, ada kitab Hadits Bulughul Maram yang disusun ulama Ibnu Hajar al-Asqalani sebagai kado indah atas kelahiran putranya ke dunia.
“Dia sengaja susun kitab itu sebagai kurikulum panduan untuk mengajar putranya kelak,” terangnya kajian parenting yang digelar Ikatan Wali Murid (Ikwam) SD Muhammadiyah 1 GKB (SD Mugeb) Gresik, Jawa Timur.
Selain itu, lanjutnya, Ibnu Jauzi menyusun kitab Luftatul Kabad Finasihatil Walat. Isinya 18 bab nasihat untuk anaknya. “Begitulah perhatian para ulama terhadap agama anak-anaknya. Sampai membuat mereka menyusun kitab. Kalau kita, kira-kira udah susun kitab apa Bapak Ibu?” tanya dia.
Dengan bercanda dia menjawab sendiri, “Kak Erlan, saya nasehatinya nggak pakai kitab, pakai chat WhatsApp.” Hadirin pun tertawa, kemudian Erlan serius bertanya, “Kalau begitu, pertanyaannya, sudah berapa chat WhatsApp yang kita susun Ibu-Ibu?”
Penulis buku anak itu pun mengingatkan pentingnya orangtua belajar agama agar bisa mengajari agama anak-anaknya. “Kalau kita sebagai orangtua tidak belajar shalat lalu dari mana anak-anak kita akan belajar shalat?” tanya dia retorik.
Erlan bercerita, “Malik bin Dinar melihat ada lelaki dewasa buruk sekali kualitas shalatnya. Lalu Malik bin Dinar berkata, sungguh kasihan keluarga besarnya. Ada orang di dekat Malik bin Dinar bertanya, wahai Malik bin Dinar yang jelek shalatnya laki-laki dewasa ini tapi mengapa yang kamu kasihani adalah keluarga besarnya?”
Kata Malik bin Dinar, “Karena laki-laki dewasa ini adalah yang paling tua di antara keluarga besarnya dan dari sosok yang dituakan inilah anggota keluarga akan belajar darinya.”
Makanya, Erlan menjelaskan, meskipun yang jelek shalatnya adalah laki-laki dewasa ini tapi yang dikasihani adalah keluarganya oleh Malik bin Dinar.
Alumnus Magister Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta ini akhirnya mengajak para wali siswa kelas I-VI SD Mugeb itu merenung dan mengaca, “Sudah seberapa dekat antara kita dengan ilmu agama? Sudah seberapa pantas kita sebagai orangtua diteladani dan dicontoh oleh anak-anak kita?”
Kak Erlan menceritakan ketika Said bin Musaib mengatakan kepada anaknya, “Wahai anakku, aku sengaja menambah jumlah rakaat shalat sunnahku karena dirimu.”
Artinya, dia sengaja menambah shalat sunnahnya di rumah supaya dilihat oleh anak-anaknya, agar anak-anaknya mencontoh dan meneladani. Menurutnya, begitulah sejatinya orangtua, perlu belajar agama.
Sentuh Hati Anak
Kak Erlan juga menegaskan, orangtua perlu belajar untuk bisa menyentuh hati anak-anaknya. “Kalau hati anak-anak tidak tersentuh, tertambat, dan tertaut maka proses pengajaran dan pendidikan akan jadi semakin susah dan sulit nantinya,” terangnya.
Luqman al-Hakim ketika menasihati anaknya, lanjut Erlan, beliau sentuh dulu hati anaknya. “Wahai anakku, janganlah engkau berbuat syirik karena sesungguhnya kesyirikan merupakan kezaliman yang paling besar.” Begitulah nasihat Luqman.
Kata Koordinator www.muslimah.or.id ini, nasihat tersebut memenuhi dua kaidah penting. Pertama, sentuh hati. Kedua, sentuh akal. “Jika ingin nasihat itu mudah dipahami dan dijalankan anak, maka sentuh hati anak terlebih dahulu. Luqman sebelum menyampaikan nasihat dia sapa anaknya terlebih dahulu,” imbaunya, Jumat (2/12/2022) siang.
Kata para ulama, itu Isim tafsir, menunjukkan makna kedekatan, keakraban, kehangatan, dan penuh dengan kasih sayang. Maka Erlan menyimpulkan, “Luqman mengajari untuk menyentuh hati anak terlebih dahulu. Pentingnya membangun koneksi sebelum kita memberikan koreksi. Connection before correction. Pentingnya membangun keterhubungan sebelum kita menyampaikan pesan-pesan!”
Dia mengajak peserta di Aston Inn itu merenung, banyak anak-anak disuruh shalat malah membantah. “Nah, bisa jadi perintah-perintah kita tidak diindahkan karena kita belum menyentuh hati anak-anak kita,” ungkapnya.
Dia menegaskan, “Sesuatu yang keluar dari hati akan masuk ke dalam hati! Kalau hati anak sudah tertaut dan tertambat, pesan-pesan nasihat akan mudah meresap. Maka pertanyaannya, sudah seberapa lekat antara kita dengan anak-anak kita?”
Ukuran Kedekatan Orangtua-Anak
Bagaimana cara mengukur kelekatan dan kedekatan antara orangtua dengan anak? Kata Kak Erlan, ini bisa diukur dari seberapa nyaman anak bercerita kepada orangtuanya.
“Inilah yang Nabi Yusuf lakukan kepada ayahnya, Nabi Yakub AS. Nabi Yusuf tidak sungkan cerita tentang mimpinya. Di awal Surat Yusuf, Nabi Yusuf katakan, Ayah aku bermimpi semalam melihat 11 bintang, 1 matahari dan 1 bulan. Aku lihat mereka bersujud kepadaku,” terangnya.
Itulah bukti kedekatan Nabi Yusuf dengan Nabi Yakub AS, tidak sungkan bercerita banyak. Menurut Erlan, anak-anak malas dan nggak mau cerita kepada orangtuanya bisa jadi karena nggak dekat atau bisa jadi pula gara-gara orangtua yang menolak. “Abi, Abi, aku mau cerita. Abi capek, sama umi saja! Ada Pak yang kayak gini?” Para hadirin pun tertawa.
Begitu pula kadang anak tidak lekat dengan ibu gara-gara ibu menanggapi cerita tapi salah cara meresponnya. “Mah, Mah, aku ada cerita tadi di sekolah aku lagi suka sama temanku,” contohnya. Lalu bundanya marah sehingga anaknya kaget, bahkan kapok cerita sama bundanya.
Maka Kak Erlan menegaskan, penting membangun kedekatan dengan menyentuh hati anak karena ini bagian proses pendidikan. “Sentuh hati anak kita dengan sapaan, lemah lembut, tidak mudah marah, dan sering-sering mengekspresikan rasa cinta seperti Nabi SAW mengajari hafalan kepada Muadz Bin Jabal,” tuturnya.
Ekspresikan Cinta
Kak Erlan menceritakan, ketika Nabi SAW mengajari Muad Bin Jabal doa, Nabi Ekspresikan terlebih dahulu dengan rasa cinta. “Demi Allah aku benar-benar mencintaimu, demi Allah aku benar-benar mencintaimu, demi Allah aku benar-benar mencintaimu, demi Allah aku benar-benar mencintaimu,” ujarnya sebelum berpesan.
“Jangan engkau tinggalkan membaca doa ini di tiap akhir shalat, Allahumma inni ala dzikrika wa syukrika. Ya Allah tolonglah aku agar aku bisa berdzikir kepadaMu bersyukur kepadaMu dan beribadah dengan baik kepadamu,” sambung lulusan S1 Teknik Kimia Universitas Gadjah Mada itu.
Dia pun bertanya, “Pernah nggak Ibu-Ibu nyuruh anaknya menghafal Quran lalu diekspresikan dengan rasa cinta seperti ini terlebih dahulu, ‘Nak, Mama sayang banget sama kamu. Hafalan Nak, satu ayat Quran Nak.’ Pernah, Bu seperti ini? Atau jangan-jangan kita cuma marah-marah saja? ‘Jadi anak susah banget toh, anaknya siapa toh?’ Tuh kan amnesia! Lupa ingatan nanya anaknya siapa, ya anaknya ibu!”
Bagaimana anak bisa cinta dengan ibadah ketika orangtuanya menyuruh ibadah justru malah dengan marah-marah? Erlan mengingatkan, “Coba Bu, indah nggak kira-kira proses pengajaran yang seperti ini? Jangan sampai anak kita trauma disuruh belajar gara-gara kita tiap nyuruh anak belajar dengan marah-marah terus-terusan. Jangan sampai anak-anak kita trauma disuruh beribadah gara-gara kita yang tidak pernah mengiringi dengan rasa cinta di saat membiasakan mereka beribadah!”
Dia menyimpulkan, orangtua perlu belajar karena orangtua pembelajar yang senantiasa mengupgrade kesalehan pribadinya. “Belajar mengetahui ilmu-ilmu agama agar bisa kita ajarkan kepada anak-anak kita,” terang Ketua BPH Yayasan Pendidikan Islam Al-Atsari (YPIA) Yogyakarta itu.
Selain itu, lanjutnya, juga belajar bagaimana seni berkomunikasi dan berinteraksi dengan anak-anak. “Karena ternyata berinteraksi berkomunikasi dengan anak ada seninya, ada cara-caranya, dan kita sebagai orangtua perlu untuk mempelajarinya sebelum kita menyesal!” tutupnya. (*)
Discussion about this post