Mempelajari Al-Quran Tak Cukup dengan Terjemahannya, Oleh Bana Fatahillah, lulusan Al-Azhar Kairo Mesir, sekarang mengajar di Pesantren at-Taqwa Depok, Jawa Barat.
PWMU.CO – Allah SWT memerintahkan umatnya untuk mentadaburi al-Quran. Sejumlah ayat menginformasikan hal tersebut, di antaranya: “(Al-Qur’an ini adalah) kitab yang Kami turunkan kepadamu (Nabi Muhammad) yang penuh berkah supaya mereka menghayati ayat-ayatnya (liyaddabbarū āyātihi) dan orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran” (Shad: 9)
Tadabur berasal dari kata “da-ba-ra” yang memiliki makna ujung, akhir serta dalamnya sebuah perkara. Karenanya tadabbur—sebagaimana kata Al-Zamakhsyari—merupakan sebuah pengamatan dan pandangan akan hal mendalam dari sebuah perkara. Adapun tadabur al-Quran bermakna mengamati maknanya dan menelaah apa yang di dalamnya.
Mendalami sesuatu tidak diperoleh hanya dengan melihat permukaannya. Harus ada perangkat lain untuk mendapati makna “lebih” itu, khususnya dalam teks al-Quran. Hal itulah ilmu bahasa Arab. Terkait ini Syekh Salim Abu Ashi menegaskan, “Tidak ada jalan untuk menelaah/mentadabburi al-Quran, menyelami kedalaman maknanya serta mencari berbagai rahasianya kecuali dengan mendalami ilmu bahasa arab!” (lihat Ahsanul Hadis Dirāsat fi Bayān al-Qur’ān, hal. 87)
Cukup dengan Terjemahan?
Jika ada pertanyaan: Bukankah di sana ada terjemahan al-Quran, yang dengannya, seseorang mampu untuk memahami al-Quran walaupun tidak belajar bahasa Arab.
Inilah pemikiran berbahaya dan banyak diamini para umat muslim. Sebab mencukupkan terjemahan al-Quran terkadang, bahkan seringkali, mengurangi atau bahkan merusak sebuah makna yang diinginkan. Hal ini karena dalam bahasa Arab terdapat hal-hal yang tidak bisa diterjemahkan kepada bahasa lainnya tanpa perangkat keilmuan.
Meminjam istilah Imam Al-Syathibi, al-Quran memiliki dimensi lafadz bernama dalalah taba’iyyah, yaitu penunjukan lafadz atas sebuah makna namun tidak bisa dialih bahasakan kecuali lewat bantuan hal lain, yaitu ilmu.
Semisal, untuk mengungkakan Zaid Berdiri saja, bahasa Arab bisa memberikan banyak redaksi. “Qaama Zaidun” “Zaidun Qaimun” “Inna Zaidan Qaimun” “Zaidun Qad Qaama” Innama Qama Zaidun” dan sebagainya.
Masih menurut Imam Syathibi, perbedaan redaksi ini menyimpan sebuah makna di balik makna zahirnya. Hal itu tidak bisa didapatkan dengan melihat secara tekstual apalagi dialihbahasakan. Karenanya, lafadz bahasa Arab baru bisa diterjemahkan dengan tepat jika bahasa yang dituju itu memiliki tingkat kesetaraan dalam segi pemaknaan. (Ahsanul Hadis, hal. 89-90)
Kosa Kata Bahasa Arab
Pemilihan kata dalam al-Quran, misalnya, yang terkadang tidak bisa dialihbahasakan begitu saja. Coba perhatikanlah kata آنَسْتُ dalam Surat Thaha ayat 10 dan استأنس di Surat an-Nur ayat 27.
Jika bertumpu pada terjemahan al-Quran, semisal terjemahan Kemenag 2019, kita akan disajikan terjemahan dari kata tersebut dengan makna melihat dan meminta izin.
Lengkapnya Nabi Musa berkata kepada keluarganya: “Tinggallah (di sini)! Sesungguhnya aku melihat api…”
Begitupun yang ada di dalam surat an-Nur, terjemahan akan memberikan makna “meminta izin” sebagai terjemahan اسْتأْنَسَ (ista’nasa) sebagai adab sebelum bertamu.
Padahal, jika merujuk pada kosakata bahasa Arab, kedua kata itu sejatinya tidak sebatas dimaknai melihat atau meminta izin. Sebab di dalamnya mengandung makna “أُنْس” yang berarti hiburan/ketenangan.
Karenanya, hakikat makna ayat izin bertamu adalah: meminta izin pada waktu di mana pemilik rumah dalam keadaan “senang dan terhibur”.
Jika sebatas meminta izin, itu artinya seseorang mungkin saja bertamu pukul tiga pagi atau saat pemilik rumah sedang sibuk. Tapi bukan itu yang ingin disampaikan al-Quran. Sebab lagi-lagi kata ista’nasa mengandung makna uns (terhibur/senang), dan hal itu berlangsung di waktu dan keadaan tertentu.
Pun dengan cerita Nabi Musa. Penglihatan Nabi Musa akan api, tidak sebatas melihat saja. Akan tetapi ada makna “ketenangan”, “terhibur” bahkan “senang”. Sebab saat itulah momen Nabi Musa mendapatkan wahyu dari Allah SWT.
Ilmu Balaghah dan Makna Al-Quran
Salah satu yang berperan besar akan tadabur al-Quran adalah ilmu balaghah, khususnya ilmu ma’ani. Sebagai contoh, jika membaca ayat 10 dari Surat al-Jin kita akan diberikan makna seperti ini:
“Sesungguhnya kami tidak mengetahui apakah keburukan yang dikehendaki terhadap siapa yang di bumi ataukah Tuhan mereka menghendaki kebaikan terhadap mereka.”
Perhatikan lafadz “dikehendaki” dan “menghendaki” dalam ayat tersebut. Ilmu nahwu menamai yang pertama dengan fi’il majhul (kata pasif), sedangkan yang kedua dengan fi’il ma’lum (kata aktif).
Namun ilmu nahwu tidak mengurus apa rahasia di balik redaksi yang ditukar seperti ini. Ilmu ma’ani-lah yang bertugas akan hal itu. Namun sedihnya makna indah ini tidak akan didapatkan jika mencukupi pada terjemahan al-Quran. Lantas di mana letak sebuah tadabur?
Perubahan bentuk redaksi itu seakan ingin menunjukan bahwa segala sesuatu, baik ataupun buruk, merupakan kehendak Allah SWT. Akan tetapi sebagai adab nisbatkanlah hal baik kepada Allah SWT, adapun yang buruk jangan nisbatkan kepada-Nya. Inilah mengapa redaksi pertama yang mengarah kepada keburukan menggunakan fi’il majhul, seakan tak ingin menyandarkan keburukan pada Allah. Sedangkan yang selanjutnya perihal kebaikan menggunakan fi’il ma’lum.
Contoh lainnya adalah ayat 5 dari Surat al-Baqarah. Dikatakan dalam terjemahan al-Quran:
“Merekalah yang mendapat petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Ayat ini akan terkesan biasa saja bagi orang yang membaca terjemahan. Namun untuk yang mempelajari bahasa Arab ia akan mendapati bahwa ayat ini menyimpan makna lebih.
Yaitu saat kata “mereka” (ألئك) diulang dua kali. Maksud pengulangan tersebut ialah ingin menekankan bahwa hanya merekalah. sekali lagi hanya merekalah. yaitu orang-orang yang berada dalam hidayah Allah yang mendapat keunntungan, bukan lainnya.
Begitupun juga dengan ayat-ayat mutasyabihat yang banyak dijadikan perdebatan. Kedalaman seseorang akan ilmu balaghoh akan mengantarkan pada pemahaman yang utuh seputar ayat khabariyyah. Lewat ilmu bahasa Arab ia bisa memahami kapan redaksi seperti tangan (yad), wajah (wajh), lengan (saaq) mata (ain), dan lainnya menunjukan makna hakiki, dan kapan ia dimaknai secara majaz.
Saat menafsirkan lafadz Istiwa, Rasyid Ridha, Pemilik tafsir bercorak sastra yang hebat bahkan mengatakan, mau tidak mau lafadz ini harus dibawa kepada bukan makna aslinya. Sebab selain ada indikator (qarinah) yang menggiringnya, realitas percakapan manusia pun meniscayakan demikian.
Ilmu Sharaf dan Tadabbur Al-Quran
Jika balaghoh memberikan makna “lebih” dengan memperhatikan keadaan lafadz bahasa Arab. Maka Sharaf memberikan makna itu lewat perubahan kata bahasa arab. Sebab di ranah itulah ilmu sharaf memainkan perannya.
Sebagai contoh kata Sami’a dan Istama’a. Jika melihat terjemahn al-Quran, kita akan mendapati bahwa keduanya bermakna mendengar. Padahal keduanya adalah dua kata yang berbeda meskipun dari asal kata yang sama. Dalam surat al-A’raf Allah berfirman:
“Jika dibacakan Al-Qur’an, dengarkanlah (dengan saksama) dan diamlah agar kamu dirahmati”
kata lain di surat Fusshilat dikatakan: “Orang-orang yang kufur berkata, “Janganlah kamu mendengarkan (bacaan) al-Qur’an ini dan buatlah kegaduhan terhadapnya agar kamu dapat mengalahkan (mereka).”
Kata “Istama’a” lebih dari kata “Sami’a”. sebab kaidah mengatakan, penamabahan huruf menunjukan penambahan makna. Dalam kedua ayat tersebut Allah seakan ingin mememerintahkan orang-orang beriman agar memerhatikan benar-benar ayat-ayat al-Quran. Bukan hanya sebatas masuk telinga kanan keluar telinga kiri.
Sebaliknya dalam surat Fushilat, Allah ingin menginformasikan bahwa orang kafir itu, jangankan memerhatikan dan memahami, untuk sekadar mendengarkan saja mereka enggan. Inilah mengapa kata yang diapakai adalah “sami’a” bukan “istama’a”.
Begitupun kata “dzabaha” dan “dzabbaha” yang ada dalam cerita Nabi Ibrahim dan Fir’aun. Saat menceritakan kisah mimpi Nabi Ibrahim yang menyembelih anaknya, al-Quran menggunakan redaksi “dzabaha” (ذبَحُ) namun saat menceritakan Fir’aun redaksi tersebut berbunyi “dzabbaha” (ذَبَّحَ). Kalimat ini tentu tidak datang kecuali dengan hikmah di dalamnya.
Secara tersirat al-Quran ingin menggambarkan betapa kejinya Fir’aun yang banyak menyembelih anak kecil. Sebab kata dzabbaha menggunakan tasydid menunjukan banyak (littaktsir). Sementara Nabi Ibrahim hanya menyembelih sekali, karennya redaksinya menggunakan “dzabaha”. (lihat dan bandingkan QS 37: 102 dan QS 28: 4)
Jangan Mencukupkan dengan Terjemahan
Dari sejumlah contoh di atas, al-Quran tampak lebih jelas dan dimaknai secara mendalam dari apa yang dilihat secara zahirnya. Tadabur pun mampu diperoleh dengan berbagai ilmu tersebut. Dan perlu diketahui ilmu bahasa berjumlah 12, yang jika diketahui satu persatu maka makna al-Quran akan lebih terang bagi kita.
Karenanya tidak cukup dengan membaca terjemahan al-Quran. Namun bukan berarti menyalahkan terjemahan al-Quran. Itu adalah satu usaha yang sangat baik dan bermanfaat. Terlebih para panitia pentashih Mushaf adalah orang yang sangat kredibel dalam urusan al-Quran.
Hanya saja jangan berhenti pada terjemahan. Inilah mengapa dari awal saya menulis, jangan mencukupkan hanya pada terjemahan. Atau tegasnya, pelajarilah bahasa Arab agar dapat memahami al-Quran!
Wallahu a’lam bi al-shawab. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni