Islam Politik Masih Ngeri-Ngeri Sedap oleh Nurbani Yusuf, Komunitas Padhang Makhsyar Kota Batu.
PWMU.CO– Ngeri-ngeri sedap ketika Anies Baswedan diusung Partai Nasdem sebagai calon presiden. Partai yang beberapa tahun lalu disebut partai penista agama.
Apa sudah ada jaminan bahwa Mas Anies Baswedan calon presiden yang bisa mewakili aspirasi umat Islam?
Realitas kekuatan Islam politik terlihat aslinya pasca Pilpres. Sesungguhnya kesatuannya palsu. Koalisinya semu. Di dalamnya menyimpan banyak perbedaan dan kepentingan. Masing-masing mengagungkan ego dan enggan bersatu.
Bukan Islam yang diperjuangkan tapi kepentingan kelompok yang diberi cap Islam. Saya sangat kecewa dan sangat sedih.
Saya pernah berharap Islam politik yang digagas ijtima ulama bisa mewujudkan kerinduan terhadap kekuatan politik yang elegan. Kuat dan berdiri di tengah di atas semua aliran politik. Bisa mencegah praktik oligarki, mengurai benang kusut, dan membangun soliditas kebangsaan yang cerai berai.
Tapi dugaan saya salah. Bahkan kekuatan gabungan ini kalah telak dan tidak meninggalkan bekas apapun selain luka mendalam. Konflik dan perbedaan identitas yang menguat. Mungkin perlu beberapa generasi untuk bisa melupakan. Ini kerja politik paling tidak sukses dan menjadi kenangan buruk sepanjang perjuangan politik Islam di nusantara sejak melawan penindasan kompeni.
Lihat saja koalisi yang dibangun ijtima ulama. Koalisi tanpa ruh. Koalisi tanpa philosofische grondslag. Koalisi nir weltanschauung. Hanya koalisi merebut kekuasaan. Gampang patah kemudian bercerai berai tanpa pesan. Koalisi bubar tanpa happy ending. Ini sangat menyedihkan dan pembelajaran politik yang buruk bagi generasi sesudahnya.
Turun Kualitas
Jujur saya bilang, Islam politik menurun kualitasnya. Era Ki Bagus Hadikusumo, KH Wahid Hasyim, Mr Mohammad Natsir, Mr Kasman Singodimejo sepertinya tidak berulang. Para founding father kala itu tidak merebut kekuasaan belaka, tapi juga mewariskan model politik Islam yang elegan dan menjadi contoh baik.
Sedang Islam politik sekarang dibangun atas dasar kepentingan kelompok. Mereka membinasakan dirinya sendiri pasca Pilpres 2019, karena tujuan kelompoknya tak kunjung tercapai.
Mungkin ini hukuman Tuhan atau semacam ujian. Lantas kekuasaan diberikan kepada orang-orang zalim. Kekuasaan di tangan para elite yang menguasai banyak. Para oligarki yang membunuh demokrasi tanpa empati. Kekuasaan sesungguhnya ada di tangan para oligarki. Semua diambil tanpa sisa.
Koalisi ijtima ulamapun bubar. Tidak satupun kenangan bisa dibanggakan. Harapan untuk diimpikan. Bukan berputus asa, mungkin karena niat kita tidak tulus. Sehingga doa kita tak kunjung dikabulkan. Apa salahnya kita rehat sejenak menata niat.
Yang kita dapati hanya politisi Islam biasa. Tidak ada yang istimewa. Tidak menawarkan apapun selain gaduh. Sebagai kerja politik ini kegagalan besar sepanjang sejarah politik Islam di nusantara. Umat tidak mendapatkan apapun. Bahkan koalisi yang dibangun hanya gema. PAN, Gerindra, PKS, Demokrat bergerak sendiri-sendiri tidak bertaut lagi. Ijtima ulama juga tak jauh beda. Koalisi semu. Menjemukan tidak enak ditonton.
Seperti politisi dadakan yang baru belajar berpolitik.
Islam Yes
Teringat slogan Cak Nur (Nurcholish Madjid): Islam Yes, Partai Islam No. Masih sangat relevan kini. Sebab ketika Islam berpolitik yang dipanen hanya konflik dan pengerasan ideologi kelompok. Masing-masing aliran punya agenda sendiri. Bukan Islam yang diperjuangkan, tapi mengagungkan kelompoknya atas nama Islam.
Politik Islam memang penuh kisah pilu, kelam dan kronis. Perebutan kekuasaan para sahabat, perang Siffin. Peristiwa arbitrase yang melahirkan puluhan firqah politik menyisakan luka hingga sekarang. Trauma politik ini begitu mendalam menghampiri. Dan kita tak bisa lupakan itu.
Pun dengan model politik Islam hasil ijtima ulama, jauh dari harapan sebab kekuasaan menjadi tujuan yang utama. Tidak punya daya ikat, sebab Islam hanya dijadikan suplemen. Yang utama adalah kepentingan masing-masing kelompok, aliran-aliran, firqah-firqah yang dibatasi identitas kecil-kecil tapi fanatik. Taruhlah rezim jatuh, tetap saja tak punya model pemerintahan yang diidealkan. Kecuali pertengkaran yang tambah ramai. Karena berebut kue kekuasaan.
Tesis Daniel Bell tentang matinya ideologi tak lagi relevan. Dengan realitas politik macam begini tak ada harapan baik bagi Islam politik setidaknya untuk satu periode ke depan. Kemudian mengandalkan gerakan massa yang mulai lelah atau teriakan mahasiswa yang terdengar hanya gema. Indah tapi menipu. Islam politik kembali yatim.
Beruntung saya masih punya Muhammadiyah. Segala kebaikan saya pujikan. Tetap istiqamah. Di saat yang lain bagi-bagi kekuasaan tidak ikut riuh apalagi gaduh. Sebab kekuasaan bukan tujuan. Politik Muhammadiyah adalah model politik Islam yang diidealkan.
Politik Muhammadiyah menjadikan kepentingan Islam yang utama. Santun dan berkelas. Islam agamaku Muhammadiyah gerakanku.
Nashrun minallah wa fathun qariib.
Editor Sugeng Purwanto