Bukan Tergantung Figur, Kepemimpinan Muhammadiyah Itu Kolektif Kolegial Oleh Aji Damanuri, Sekretaris Majelis Tarjih Pimpinan Daerah Muhammadiyah Tuluangagung, Dosen IAIN Ponorogo.
PWMU.CO – Terpilihnya Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim 2022-2027 Dr dr Sukadiono MM, dianggap oleh beberapa kalangan sebagai pergeseran orientasi Muhammadiyah. Seperti yang dikemukakan oleh Agus Purwanto DSc, Guru Besar ITS, Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Jatim dalam kolom di PWMU.CO berjudul: Pergeseran Muhammadiyah Jatim.
Sepintas pernyataan ini benar. Namun apakah begitu? Semua sudah tahu bahwa kepemimpinan di Muhammadiyah, yang berjumlah 13 orang itu, bersifat kolektif kolegial. Maka menilai bagaimana orientasi Muhammadiyah tidak hanya disandarkan pada satu figur ketua.
Sebab, jika pemahaman kolektif kolegial ini runtuh dengan mengedepankan faktor individual maka runtuhlah bangunan sistem kepemimpinan versi Muhammadiyah.
Dengan demikian tidak perlu mereduksi konsep kolektif kolegial dalam kepemimpinan Muhammadiyah dengan menggiring opini bahwa telah terjadi pergeseran ke arah manajemen semata. Seolah-olah aspek keagamaan sebagai basis perjuangan ormas ini terabaikan.
Melihat komposisi 13 orang yang terpilih menjadi Anggota PWM Jatim sudah cukup lengkap. Telah berkumpul ahli fikih, ahli manajemen, ahli pendidikan, ahli ekonomi, ahli filantropi, ahli kesehatan, dan lain-lain yang semuanya itu bagian dari Islam aplikatif.
Namun demikian, secara sosiologis pola kepemimpinan di tiap tingkatan tentu berbeda. Pada tingkat pusat dan wilayah boleh jadi ada pimpinan yang bukan anggota ranting tertentu, misalnya seorang profesional yang hidup di perumahan yang tidak bersentuhan langsung dengan umat.
Mungkin berbeda dengan Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) dan Pimpinan CabangMuhammadiyah (PCM), apalagi Pimpinan Rantinhg Muhammadiyah (PRM).
Di cabang dan ranting para PIMPINAN berhadapan langsung dengan jamaah yang menganggap mereka ahli agama. Persoalan apapun ditanyakan. Perilaku dan sikap keseharian dilihat oleh jamaah. Jika ada problem dengan kelompok lain mereka yang berhadapan langsung. Menerima hujatan, komplain, dan keluhan langsung masyarakat berkait dengan amala usaha Muhammadiyah (AUM) padahal mereka tidak terlibat langsung dalam manajemen.
Karena itulah penting untuk terus menjaga sistem kepemimpinan yang kolektif kolegial dalam satu paket pemahaman yang utuh, sehingga masyarakat mengenali Muhammadiyah bukan bertumpu pada sosok tertentu.
Karenanya, senyampang masih dalam masa-masa reorganisasi pascamuktamar sampai pada Musyawarah Ranting, ada baiknya kita mengingat kembali bagaimana konsep kepemimpinan dalam Islam agar kepemimpinan Muhammadiyah dari pusat sampai ranting terus diisi oleh orang-orang yang benar seperti selama ini berlangsung.
Kriteria Kepemimpinan Muhammadiyah
Pimpinan Muhammadiyah itu wajib memiliki perilaku mulia sehingga menjadi teladan bagi sesama (uswatun hasanah). Memiliki sifat Nabi Musa: al-qawiyy dan al-amin (ini juga sifat Nabi Muhammad). Di dalam al-Quran dan hadits serta bahasa Arab, al-qawiyy (kuat) itu menyangkut banyak hal: fisik, ilmu (kepandaian), harta, derajat (keturunan), senjata, pengaruh (jabatan), dan usia. Karenanya Rasulullah berdoa agar orang-orang kuat masuk dalam barisan perjuangannya.
Kepemimpinan atau leadership menuntut kemampuan dari seseorang (yaitu pemimpin atau leader) untuk memengaruhi orang lain (yaitu yang dipimpin atau pengikut-pengikutnya), sehingga orang lain tersebut bertingkah laku sebagaimana dikehendaki oleh persyarikatan, dan bukan hanya kemauan pribadi yang subjektif.
Sebenarnya kepemimpinan yang sehat terbentuk karena ada seseorang atau beberapa orang dalam persyarikatan yang melakukan peranan yang lebih aktif dari warga yang lain.Sehingga orang (beberapa orang) tadi tampak lebih menonjol dari yang lain dan bisa memengaruhinya. Sehingga para pemimpin Muhammadiyah lahir dari perjuangan panjang dalam organisasi, bukan dari propaganda dan kampanye semata.
Kader sejati Muhammadiyah yang muncul sebagai pemimpin karena kiprah perjuangannya mempunyai karisma (daya pikat karena pandai, menjadi contoh tauladan yang baik, baik hati, punya status tinggi, dan konsekwen kepada kebenaran). Kemampuan managemen saja tidak mensyaratkan adanya contoh tauladan dan baik hati dalam kehidupan sehari-hari. Apa yang diucapkan akan diikuti oleh warga karena ada bukti atas perjuangannya.
Kolega saya di kampus banyak yang bertanya kenapa Muktamar dan Musywil Muhammadiyah selalu tenang dan gembira. Saya jelaskan bahwa menjadi pimpinan di Muhammadiyah itu tidak dibayar, sering torok (tekor), dikasih pekerjaan, diberi amanah.Makannya tidak rebutan.
Lain dengan parpol atau ormas rasa parpol. Ada kompensasi yang dibayangkan ketika menjadi pimpinan. Makanya pada berebut.
Di Muhammadiyah itu para pemimpinnya memiliki ikhlasun niyyah, niat ikhlas ber-Muhammadiyah untuk ibadah. Juga memiliki itqanul ‘amal, Beramal secara profesional untuk mencapai kesempurnaan hasil. Artinya dalam beramal hendaklah dengan niat ikhlas, bukan riya’ (karena ingin dilihat orang). Hindari sifat-sifat sombong, boros, suka merusak, keji, dan tidak patut.
Menjadi pimpinan di Muhammadiyah itu dituntut memiliki sifat kebaikan pribadi yang menonjol, sifat-sifatnya terpuji, baik hati (nice, smiling, face, helpful), selalu menjadi contoh tauladan. Berani memulai sesuatu yang baru (risk-taking). Ada keberanian mengambil risiko. Tentunya setelah melalu perhitungan dan pemikiran yang cermat.
Berani mengubah sesuatu yang salah menjadi benar dan berjuang untuk mempertahankannya.
Lebih penting lagi menjadi pimpinan Muhammadiyah itu sedikit bicara, banyak bekerja. Tidak banyak wacana. Yang penting bekerja dan beramal., Mengedepankan kebersamaan (kolegial). Namun tetap dengan tanggung jawab masing-masing pribadi. Semua diatur dalam tertib organisasi dengan disiplin yang tinggi. Seperti dalam shalat jamaah, maka shaf diatur secara tertib.
Meneladani Kepemimpinan Nabi
Pimpinan Muhammadiyah itu wajib memiliki perilaku mulia sehingga menjadi teladan bagi sesama (uswatun hasanah). Berusaha mempunyai sifat-sifat Nabi SAW: siddiq, amanah, tabligh, fathanah. Dan merperbanyak perbuatan baik (amal salih).
Siddiq. Pemimpin sejati selalu jujur, berkata benar, mengatakan kebenaran. Membenarkan kebenaran (tasdiq), mengimani dan melaksanakan imannya. Sifat ini mensyaratkan adanya pengetahuan tentang yang benar dan juga kekuatan ekonomi supaya bisa menjadi pemimpin yang jujur.
Amanah. Bisa dipercaya (tidak sekadar menyampaikan amanat). Kalau diserahi tugas bisa dikerjakan dan diselesaikan dengan baik. Untuk mencapai tingkat al-amin tentunya diperlukan kepandaian dan ketrampilan yang memadai. Al-Amin menyangkut kejujuran, kepandaian dan ketrampilan.
Tabligh. Menyampaikan kebenaran (Iman dan Islam), pro-aktif. Sifat tabligh berarti juga bisa menyampaikan sesuatu dan mengenai sasaran. Sifat ini mensyaratkan kepandaian berbicara (kefasihan), keruntutan berbicara, dan keteraturan logika dan dikemas sesuai dengan kemampuan pendengar.
Fatanah. Pimpinan ormas modern dan berkemajuan tentu juga harus pandai, cerdas, bijak (knowledgeable (alim), innovative). Sifat ini mensyaratkan adanya kumpulan ilmu di otaknya. Maka penting bagi para pimpinan untuk terus belajar, mengasah kemampuan supaya mampu menghadirkan karya-karya besar yang bermanfaat bagi umat.
Selain itu, tugas berat pimpinan Muhammadiyah ke depan tidak kalah penting. Pascaserangan ideologis bertubi-tubi ke Muhammadiyah, maka pimpinan harus menghidupkan lagi roh bermuhammadiyah seperti langkah-langkah para pendahulu awal dengan banyak berjuang dan berkorban. Berusaha lagi menggembirakan hidup Islami sehingga kegiatan Islam di kalangan Muhammadiyah menjadi semarak. Ajaran Islam menjadi hidup, dinamik, bergairah dan berkembang.
Selanjutnya, memperbanyak kegiatan yang bermanfaat, baik bagi pimpinan maupun bagi masyarakat umum. Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain. Meminimalisasi ruang gerak orang-orang yang ingin mengambil untung sebanyak-banyaknya secara materiil di Muhammadiyah dengan membuat aturan yang ketat, rasional, dan tertata.
Berat Jadi Pimpinan Muhammadiyah
Muhammadiyah harus mampu membuktikan secara teoritis konsepsional, secara operasional dan secara konkret, riil, bahwa ajaran Islam mampu mengatur masyarakat menjadi masyarakat yang adil dan makmur serta sejahtera, bahagia materiil dan spirituil yang diridlai Allah swt.
Begitu beratnya menjadi pimpinan di Muhammadiyah sehingga hanya orang-orang yang memperoleh hidayah yang mau secara sukarela dipilih mengemban amanah menjadi pengurus Muhammadiyah. Intinya, sekali lagi kualitas pimpinan tidak ditentukan oleh sebuah nama, karenanya yang perlu terus digelorakan adalah kriteria dan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh para pimpinan Muhammadiyah.
Kualitas keagamaan seseorang tidak bisa hanya dinilai dari nama yang ke arab-araban atau tidak. Tetapi seberapa luas pengetahuannya tentang agama dan seberapa konsistennya dalam menjalankan apa yang diyakininya—dalam hal ini paham agama dalam manhajMuhammadiyah. Istilah para ulama ya mutafaqqih fi al diin al ‘amilin, atau ulama yang aplikatif.
Kita pernah punya pimpinan pusat dengan nama sangat Jawa, yaitu Ki Bagus Hadikusumo. Meskipun namanya jauh dari kesan Arab namun kapasitas keulamaanya tidak diragukan.
Bahkan Ki Bagus Hadikusumo menjadi salah satu perumus Pancasila yang sangat dinamis. Tidak begitu saja menerima Pancasila, namun juga mendialogkan konsep awal yang salah satunya menjalankan syariat islam bagi para pemeluknya.
Ki Bagus dalam hal ini sangat dinamis berdiskusi karena mungkin tahu ke depan pasti akan ada yang yang mempertanyakan Pancasila kembali. Ki Bagus akhirnya menerima Pancasila dengan pemikiran yang matang dan pemahaman yang utuh. Ini bukti bahwa nama bukan cerminan kemampuan pemahaman agama yang baik. (*)
Terjadi Pergeseran Kepemimpinan di Muhammadiyah Jatim? Editor Mohammad Nurfatoni