
Ganjar Pranowo dan Uang Baznas oleh Joko Intarto, Manajer Fundraising Lazismu.
PWMU.CO– Baru dua hari saya memaparkan tiga tantangan lembaga amil zakat zaman now dalam Rapat Koordinasi Akhir Tahun Baznas Pusat, eh, masalah yang dibahas itu betulan terjadi di Jawa Tengah.
Beberapa hari belakangan ini, dunia maya diramaikan dengan berita Ganjar Pranowo yang mendadak menghapus cuitannya di Twitter. Berdasar tangkapan layar netizen, Ganjar Pranowo mengunggah status tengah menyerahkan dana renovasi rumah kepada 50 kader PDIP Jawa Tengah sebagai rangkaian ulang tahun ke-50 partai berlambang banteng itu.
Dalam statusnya, Ganjar menyebutkan, kader-kader PDIP itu saking getolnya memperjuangkan kemenangan PDIP, sampai lupa memperjuangkan rumahnya sendiri. Salah satu kader dari Wonosobo dijadikan Ganjar sebagai contoh.
Status itu juga menyertakan beberapa foto. Tampak Ganjar yang mengenakan blankon menyerahkan poster secara simbolis kepada para penerima bantuan. Angka yang tertulis pada poster itu Rp 20 juta. Pada bagian atas poster itu tertera dengan jelas logo Baznas.
Ganjar memang telah menghapus postingannya. Tetapi netizen keburu meng-capture-nya.Screen shoot itulah yang kini ramai di dunia maya. Baznas Jawa Tengah dituding membiayai kampanye Ganjar. Atau sebaliknya Ganjar memakai uang Baznas untuk kampanye.
Saya tidak akan mengomentari kasus Ganjar dan Baznas Jateng dalam tulisan ini. Saya lebih tertarik menjadikan kasus di atas sebagai bahan untuk introspeksi demi menjaga kepercayaan masyarakat terhadap lembaga amil zakat yang telah dirintis begitu berat dan lama.
Tiga Tantangan
Lembaga amil zakat era digital menghadapi berbagai tantangan yang tidak ringan. Tantangan itu berasal dari internal dan eksternal. Kemampuan pengurus dalam menghadapi tantangan itu sangat menentukan nasib lembaga tersebut selanjutnya.
Ada tiga tantangan internal yang dihadapi para pengurus lembaga amil zakat. Ketiga masalah ini tidak boleh dianggap kaleng-kaleng.
Pertama, Good Corporate Governance
Implementasi good corporare governance atau tata kelola perusahaan yang baik merupakan tantangan terbesar dalam pengelolaan lembaga amil zakat. Standar operasional prosedur (SOP) untuk menjamin pengelolaan dana umat secara pruden bisa disusun. Tetapi SOP bisa menjadi macan ompong di tangan amil yang tidak berintegritas.
Persidangan para petinggi Aksi Cepat Tanggap (ACT) yang saat ini tengah berlangsung merupakan buntut dugaan pelanggaran prinsip GCG itu. Di kalangan pegiat filantropi, kasus ACT dijuluki ’badai filantropi’ karena nominalnya yang sangat besar.
Kedua, Risk Management System
Para pengurus lembaga amil zakat juga harus menyusun sistem manajemen risiko yang baik. Risk management system diperlukan demi sustainability lembaga tersebut.
Contoh sederhana pentingnya risk management system adalah pengamanan digital asset berupa database. Banyak Lembaga amil zakat yang belum memiliki sistem pengamanan data digitalnya, karena data digital dianggap bukan aset.
Menyerahkan super admin dan admin website kepada pihak lain tanpa prosedur yang benar dan aman, merupakan contoh kecil, yang bisa menimbulkan kerugian sangat besar. Lembaga amil zakat tiba-tiba tersandera oleh super admin dan admin yang tidak berintegritas.
Lazismu pernah mengalami hal itu. Hampir tiga tahun websitenya dikuasai pihak lain yang awalnya menawarkan bantuan teknis dan operasional. Namun setelah kontrak ditandatangani, pelaksanaannya tidak sesuai janji.
Website Lazismu yang online dua tahun terakhir merupakan website baru dengan domain lama. Aplikasi crowdfunding-nya baru. Servernya baru. Storage-nya baru. Super admin dan admin baru. SOP juga baru.
Pengalaman dalam proses pengambilalihan digital asset dan membangun website baru itu saya bukukan pada 2022 dengan judul Curcol Fundraising. e-Book beredar terbatas untuk kalangan sendiri. Menjadi literasi bagi para amil agar tidak pernah lagi menyepelekan akses pengelola website.
Hal yang tampaknya sepele. Tapi sungguh berbahaya.
Ketiga, Building Capacity
Perkembangan teknologi digital telah mengubah gaya hidup masyarakat sedemikian jauh. Khususnya di kalangan muda yang sering disebut generasi Y dan Z. Sementara mayoritas pengurus lembaga zakat dikelola generasi X.
Banyak fenomena baru yang dianggap biasa oleh generasi Y dan Z. Tetapi dianggap baru bagi generasi X. Memang begitulah mayoritas generasi X. Mereka gaptek alias gagap teknologi.
Di sisi lain, UU Zakat juga menuntut lembaga amil zakat untuk menerapkan beroperasi dengan standar industri keuangan syariah. Membuat perencanaan, menyusun target, membuat laporan berkala, audit keuangan, audit kepatuhan syariah dan menyusun laporan tahunan, merupakan hal biasa bagi bank syariah. Tetapi menjadi hal baru bagi lembaga amil zakat.
Transformasi lembaga amil zakat dari entitas sosial keagamaan menjadi entitas lembaga keuangan sosial syariah memerlukan amil profesional dengan kemampuan yang lebih tinggi. Di sinilah pentingnya program peningkatan kapasitas amil dengan prasarana dan sarana yang memadai.
Kesimpulannya, tidak mudah menjadi pengurus lembaga amil zakat pada zaman now. Tetapi sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang. Bagi yang sudah terjun di dalamnya, mau tidak mau, harus terus meningkatkan kapasitas dirinya.
Ingat, ada jutaan netizen yang siap mem-bully.
Editor Sugeng Purwanto