Tidak Mudik saat Liburan, Kisah Santri Al Ishlah dari Luar Jawa. Liputan Gondo Waloyo, Kontributor PWMU.CO Lamongan
PWMU.CO – Libur Pondok Pesantren Al Ishlah Sendangagung Paciran Lamongan Jawa Timur dimulai Ahad, (18/12/2022) hingga Rabu (4/1/2023).
Pada tanggal itu, semua santri mulai tingkat SMP Muhammadiyah 12 Paciran, Madrasah Aliyah (MA) Al Ishlah, hingga mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Al Quran dan Sains Al Ishlah (STIQSI) Lamongan diizinkan menikmati liburan di rumah masing-masing.
Kesempatan berlibur bersama keluarga memang sangat ditunggu-tunggu oleh semua santri. Tetapi hal itu tidak bisa dinikmati beberapa santri Ponpes Al Ishlah Sendangagung Paciran Lamongan. Faktor jauhnya jarak dan demi menghemat biaya, menjadi alasan utama mereka harus menahan rasa rindu kampung halaman dan berkumpul sanak keluarga.
Butuh 6 Juta Lebih untuk Bisa Mudik
Muhammad Abdillah dan Abdul Syah Katibin contohnya. Kakak adik asal Desa Tuak Daun Merah Oepoi, Kupang NTT ini tidak mudik karena kasihan orang tua.
Terlalu besar biaya yang dibutuhkan untuk pulang kampung, setidaknya butuh 6 juta lebih. Sementara ibunya hanya seorang single parent yang bekerja sebagai guru di SDN Kayuputih.
“Meskipun tidak pulang, toh kami bisa video call dengan keluarga di rumah lewat HP ustadz yang kami pinjam,” kilah Abdul, siswa Kelas 9C SMPM 12 Paciran ini.
Alasan yang hampir sama diungkapkan Adnan Tahir, santri asal Rayuan Kelapa Timur Kabupaten Lewoleba Lembata NTT. Anak yang sudah 2 tahun tidak pulang ini beralasan demi menekan biaya.
“Saya rindu kampung halaman, ingin sekali berlibur di rumah, tetapi apa daya, terlalu besar ongkosnya untuk pulang,” ungkap anak dari pasangan Rusdin Tahir dan Karniati ini.
Siswa dari NTT lainnya adalah Fahri Azikra, dari La Udu Alak Kupang. Dia mengaku tidak mudik karena ingin bisa fokus hafalan al-Quran dan memiliki kesempatan jalan-jalan di Jawa.
“Alhamdulillah saya bisa terus berjamaah 5 waktu diimami Ustadz Dawam Shaleh, pengasuh ponpes Al Ishlah,” ujar Fahri, putra pasangan Pahlawan Amin dan Nur Hayati Ulumando.
Sementara itu, Rijal Nur Mawardi asal Desa Mandouw, Kecamatan Samofa, Kabupaten Biak Numfor Papua, memiliki alasan tidak pulang karena pendeknya waktu libur dan faktor biaya.
“Biaya terbang ke Papua tidak sedikit, belum lagi perjalanan daratnya. Mending nanti kalau libur kenaikan kelas saja pulang ke Papua,” ujar Rizal, anak dari pasangan Muhammad Ula dan Rugaya Asnun ini.
Liburan di Pondok Tetap Asyik, Bisa Menikmati Fasilitas Tanpa Antri
Santri lainnya adalah M Heru Kurniawan asal Kota Waringin Barat, Kecamatan Arut Selatan, Pangkalan Bun Kalimantan Tengah. Dia beralasan tidak mau merepotkan orang tua dan jauhnya kampung halaman.
“Liburan di pondok tetap asyik. Di sini saya bisa main sepuasnya, tidak pakai antri lapangan. Di sini saya juga bisa lebih dekat dengan beberapa ustadz yang rumahnya dekat pondok,” ucapnya.
Alasan yang sama diungkapkan Azhar Fawwaz Jayanegara asal Sliyeg Indramayu Jawa Barat. Meskipun bapaknya seorang dosen, tetapi dia merasa kasihan kalau harus jemput dan antar ke pondok.
“Kalau liburan di sini, saya juga bisa jalan-jalan ke beberapa destinasi wisata sekitar pondok. Ada Wisata Bahari Lamongan (WBL), Maharani Zoo Lamongan, Tebing Kendil, Masjid Wali Sunan Drajat, Masjid Wali Sendang, sumber air panas Brumbun, Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Brondong, dan tempat lainnya,” kata Azhar.
Sementara itu, Ibu Pengasuh Pondok Pesantren Al Ishlah Sendangagung, Dra Muthmainah adalah orang yang paling tahu berapa santri terutama dari luar Jawa yang masih tinggal di pondok selama liburan.
Hal itu disebabkan, hampir setiap liburan, ada saja santri yang tidak mudik. Bahkan kalau tukang masak (mbok dapur) tidak ada, maka mereka yang di pondok akan makan masakan dari dapur bu Nyai.
“Liburan tahun ini, ada 8 santri dari luar jawa yang tidak pulang, yang lainnya ada yang ikut temannya atau kerabatnya di Jawa. Ada yang dari Malaysia berliburnya di Solokuro Lamongan karena masih ada kerabat,” ujar Bu Muth, istri Kiai Dawam Shaleh, Pengasuh Ponpes Al Ishlah.
“Tapi semua itu sudah sepengetahuan pondok. Karena mereka harus melapor ke pengurus, sehingga keberadaanya jelas dan terpantau,” imbuh Bu Muth.
Dia mengatakan, keberadaan para santri yang masih menetap di pondok ini, juga mengurangi kesepian pondok yang ditinggal berlibur ribuan santrinya. (*)
Co-Editor Nely Izzatul Editor Mohammad Nurfatoni