Hati-Hati, Anak ‘Memotret’ Ayah Ibunya; Penulis Sayyidah Nuriyah. Editor Mohammad Nurfatoni.
PWMU.CO – Ketua Dewan Pembina Yayasan Insan Mulia Surabaya Dr Moh. Sulthon Amien MM membahas ujian pernikahan di Pengajian Ahad Pagi Masjid At-Taqwa Wisma Sidojangkung Indah Menganti, Gresik, Jawa Timur, Ahad (1/1/2023).
Sulthon–sapaannya–mengingatkan para jamaah, berkeluarga itu dalam rangka mengabdi kepada Allah. Berkeluarga dengan bahagia dan sukses memang tidak mudah, tapi bisa diusahakan dan perlu perjuangan antara suami dan istri. “Harus berdua berjuang kalau pengin keluarganya bahagia. Kalau yang berjuang salah satu saja, keluarganya tidak bisa bahagia,” terangnya.
Sedangkan untuk menghancurkan keluarga, lanjut Sulthon, cukup satu orang saja. Dia mencontohkan, “Misal saat istri sudah berjuang mati-matian, suaminya tidak merespon atau tidak tanggap, malah tidak pulang-pulang ikut Bang Thoyib.” Tawa jamaah pecah mendengarnya.
Dia mengungkap, penyebab tertinggi perceraian itu perselisihan. “Satu dan yang lain tidak klop. Isinya di rumah tangga hanya bertengkar saja,” ungkap pria yang kembali terpilih sebagai Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur itu.
Dari data yang dia tampilan di layar, angka perceraian di Indonesia tahun 2021 ada 443.743 kasus perceraian. Dan penyebab terbesarnya adalah perselisihan yakni 279.405 kasus.
Trauma Dampak Perselisihan
Sulthon kemudian menerangkan dampak perselisihan orangtua terhadap anak yang justru timbul ketika anak dewasa. “Ada seseorang sampai umur hampir 40 tidak menikah. Ditaarufi tidak cocok. Padahal dari sisi rupa dan penghasilan bagus. Berpuluh-puluh taaruf tidak cocok,” ujarnya.
Akhirnya dia memutuskan datang ke seorang terapis. Setelah relaksasi dan bawah sadarnya diajak bicara, muncullah cerita yang lama terpendam. “Saya di dalam rumah, ada papa sama mama selalu bertengkar,” ungkap Direktur Utama Laboratorium Medis Parahita ini.
Kemudian saat sang terapis terus menggali ceritanya, muncullah cerita, “Saya di luar rumah. Ada papa mama di teras lagi bertengkar,” imbuhnya.
Ketua Badan Pengurus Harian (BPH) Universitas Muhammadiyah Surabaya itu menyimpulkan, “Ternyata yang jadi penyebab dia tidak kunjung menikah karena di bawah sadarnya terrekam, untuk apa menikah kalau hanya seperti papa dan mama, selalu bertengkar kehidupannya.”
Sulthon menegaskan, begitulah dampak jika kenangan buruk tentang perselisihan orangtua sudah terpatri di otak anak, di bawah sadarnya.
Anak Memotret Orangtua
Andaikan mau bertengkar, lanjutnya, direncanakan tidak di hadapan anak, apalagi anak masih kecil. “Nduk, beli rujak di Surabaya, jangan pulang-pulang. Aku sama mamamu mau perang brotoyudho,” contohnya setengah bercanda.
Kata Sulthon, “Anak memotret ayah ibunya bertengkar, kayak HP. Dipotret, tidak dishare ke mana-mana, disimpan di dalam otaknya. Jadi trauma dia,” imbuh pria kelahiran Sidoarjo, 10 Maret 1957.
Begitu pula untuk ibu-ibu yang sedang mengandung. Kalaupun ibu tidak suka melihat sang suami datang cemberut sehingga bertengkar, maka Sulthon mengimbau ibu agar berkomunikasi ke anak, “Sayangku, hal-hal baik saja yang berpengaruh padamu.”
Dengan begitu, kata Sulthon, anaknya tumbuh tanpa terpengaruh hal buruk. “Kalaupun bapaknya merokok, anaknya tidak terpengaruh”, imbuhnya.
Marak Perceraian
Kata Sulthon, perceraian itu persoalan yang anak-anak muda sekarang tidak bisa menyelesaikan. Dia lantas mencontohkan sebuah kisah, “Mungkin awalnya sudah berkomitmen, ayah yang membuatkan susu untuk anak kalau malam.”
“Tapi ternyata karena nge-gamenya terlalu larut, jadi tidak sempat membuatkan susu. Istrinya yang bangun dan meminta sang suami. Karena suami berulang kali menolak, maka sang istri lari ke pengadilan agama,” lanjut Dirut Agro Mulia itu.
Melihat fenomena itu, dia menilai begitu rapuh keluarga saat ini. “Kesabaran anak-anak kita sudah tidak ada. Konflik sedikit, lari ke pengadilan, pisah ranjang,” ungkap Sulthon.
Dia lantas mengungkap hasil penelitian di Amerika Serikat, keluarga bahagia hanya 33 persen alias sepertiga. “Yang cerai sepertiga. Sepertiga lainnya, tidak cerai dan tidak bahagia, hanya mempertahankan keluarga agar tidak terlihat orang lain bahwa mereka tidak bercerai,” jelasnya.
“Bahagia itu penuh pengorbanan. Ini ibadah sampai titik darah terakhir. Perceraian itu dihalalkan agama tapi oleh Allah dibenci,” tutur lulusan Pendidikan Magister Manajemen Unair Surabaya itu. (*)