Begini Batas Sabar dalam Berumah Tangga; Penulis Sayyidah Nuriyah. Editor Mohammad Nurfatoni.
PWMU.CO – Pengajian Ahad Pagi Masjid At-Taqwa Wisma Sidojangkung Indah Menganti, Gresik, Jawa Timur, berlangsung interaktif. Sebelum menyampaikan kajian tentang ujian pernikahan, Dr Moh. Sulthon Amien MM membagikan bolpoin dan selembar kertas kepada seluruh jamaah yang hadir.
Di tengah materi, Ketua Dewan Pembina Yayasan Insan Mulia Surabaya itu mengajak jamaah menuliskan jawaban, “Bagaimana Bapak Ibu menjaga supaya keluarga tidak bertengkar berlarut-larut, sampai pisah ranjang, bahkan dibawa ke pengadilan?”
Sebelumnya penulis buku Spiritualitas Pernikahan Meraih Kebahagiaan dengan Rahmat Ilahi itu menerangkan tentang perselisihan senagai penyebab terbanyak runtuhnya pernikahan.
Sulthon–sapaannya–menerangkan, persoalan di keluarga luar biasa. Perlu ada solusi agar keluarga tetap damai. Berselang lima menit, dia meminta satu per satu jamaah laki-laki membacakan jawabannya, Ahad (1/1/2023).
Alhasil, muncul berbagai jawaban. Di antaranya menjaga komunikasi dengan baik, saling memaafkan, menjaga kepercayaan, menerima kekurangan apa adanya, saling menghargai, saling memahami, saling mencintai, dan mengajak refreshing. Kemudian, dari jamaah perempuan muncul jawaban mengundang tawa, yakni memberi kasih sayang dan uang.
Sulthon pun menambahkan, perlu juga menyamakan persepsi agar persoalan sebesar apapun–seperti menuju perceraian–bisa diselesaikan. Direktur Utama Agro Mulia Pasuruan itu menekankan, “Rumah tangga bukan soal rumah dan hati saja, tapi meliputi seluruh kehidupan. Bahkan persoalan remeh bisa mencuat ke permukaan.”
Batas Sabar
Setelah itu, pertanyaan dari Amin Syafi’i, jamaah yang sehari-harinya bekerja sebagai guru SD al-Hikmah Menganti. Pertanyaan pertama, sampai manakah batas kesabaran suami terhadap istri.
Menanggapi pertanyaan itu, Sulthon mengingatkan pesan al-Baqarah 153.
إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
Artinya, “Sesungguhnya Allah bersama dengan orang-orang yang sabar.”
Dari firman Allah itu, Sulthon mencontohkan hal-hal yang menuntut kesabaran, tapi pada umumnya manusia tidak mampu. Dia bertanya retorik, “Kalau suami tidak bekerja, masih kuat ke mana-mana tapi tengak-tenguk mainan HP di rumah, apakah itu perlu disabari?”
Menurutnya, kesabaran suami ke istri maupun istri ke suami itu tergantung detail persoalannya. Dia lanjut mencontohkan, suami terus memberi uang belanja tapi istri tidak mau melayani. Sebabnya, membaca WA teman, “Hati-hati, suamimu sering mesam-mesem dengan tetangga yang baru.” Padahal suaminya sebatas menyapa sekali saja saat berpapasan.
Maka dia menegaskan agar suami-istri senantiasa mengklarifikasi, menjalin komunikasi. Jika perlu, melibatkan mediator untuk menyelesaikan masalah. Yang menjadi mediatornya bisa sosok yang dianggap mampu membantu menyelesaikan masalahnya. “Mas Fatoni (Mohammad Nurfatoni, salah satu Pengurus Masjid At-Taqwa Wisma Sidojangkung Indah Menganti) jadi mediatornya!” dia mencontohkan.
Sang mediator, tutur Sulthon, harus mendengar penjelasan dari kedua pihak. Setelah itu, barulah menemukan jalan tengah dari keduanya.
Dalam menghadapi persoalan di pernikahan, lanjutnya, perlu bersabar dengan memberi kesempatan dan waktu kepada pasangan untuk melakukan apa yang telah disepakati. Tapi dia berpendapat, kesabaran itu menemui batasnya dalam persoalan amoral seperti perselingkuhan. Apalagi ketika sudah mendapat maaf dari pasangan, masih mengulang kesalahan lagi.
Ini mengingatkan Sulthon pada kisah seorang istri yang pernah berselingkuh dua kali pada bulan Ramadhan. Suaminya sudah memaafkan, lalu sang istri berselingkuh lagi dan membela diri dengan mengatakan, “Tuhan saja ketika orang beristighfar dimaafkan, masak aku bersalah tidak dimaafkan?”
“Itu njarak (bandel) nopo mboten? Kan kurang ajar, ya? Lama-lama suaminya kan tidak nyaman. Itu cobaan berat,” imbuh Sulthon.
Mendiamkan Pasangan
Pertanyaan kedua, bagaimana jika mendiamkan pasangannya sampai tujuh hari. Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur itu menjawab tidak boleh. Bahkan dia mengimbau agar suami-istri tidak sampai mendiamkan selama tiga hari.
Bila perlu, jika salah satunya sudah berusaha mengajak bicara tapi belum berhasil, dia menyarankan pasangan itu mencari mediator untuk membantu menyelesaikan perselisihan di antaranya. “Banyak ahli agama dan psikolog yang membuka ruang untuk terapi keluarga,” terangnya.
Kemudian, Ketua Badan Pengurus Harian (BPH) Universitas Muhammadiyah Surabaya itu mengimbau agar tidak menganggap remeh persoalan rumah tangga. Sebab, berdasarkan penelitian di Amerika, hanya sepertiga keluarga yang bahagia. “Kita khawatir jangan-jangan di negeri kita yang mayoritas Muslim ini juga banyak yang tidak bahagia,” ungkap Sulthon.
“Apalagi bapak-bapak sukanya melihat fotonya Nikita Mirzani terus,” contohnya lalu memeragakan ketika suami membandingkan istrinya dengan artis itu,” Sampeyan kok nggak seperti Nikita Mirzani sih bu?”
“Apalagi kalau masih kuat tapi tidak memberi nafkah. Makanya di pengadilan banyak ibu-ibu menuntut karena bapak-bapak tidak bertanggung jawab. Kecuali kalau bapak-bapak dalam kondisi sakit, Insyaallah ibu-ibu dengan kesabarannya yang akan mencari (nafkah),” imbuhnya.
Sulthon pun menegaskan betapa Allah menghargai ikhtiar orangtua menafkahi keluarganya. Dia mengisahkan perjuangan Siti Hajar terus berlarian di antara Shafa-Marwah mencari air sambil melihat kondisi anaknya.
“Hajar mencari air karena tenggorokannya sudah kering, air susunya sudah tidak keluar, anaknya menjerit-jerit tapi tidak ada yang diminum,” ungkapnya.
Sulthon menuturkan, pada saat seperti itu, Hajar tidak menyerah begitu saja. Dia tidak membiarkan anaknya mati kelaparan sehingga terus berikhtiar. Padahal, lanjutnya, sesuai akal sehat tidak mungkin ada air di sana pada musim kemarau. Pun tidak mungkin ada orang tersesat.
Allah pun menghargai ikhtiarnya dan mendatangkan mukjizat, ada air yang keluar saat Hajar menginjakkan kakinya ke tanah. Akhirnya Sulthon mengimbau, “Ikhtiar, ikhtiar, ikhtiar sampai Allah menurunkan rahmat-Nya!” (*)