Hukum Melafalkan Niat Shalat; Format Baru Fatwa-Fatwa Tarjih: Tanya Jawab Agama; Oleh Dr Zainuddin MZ Lc MA (NBM: 984477)
PWMU.CO – Tanya: dalam niat shalat, apakah melakukannya itu dengan melafalkan bahasa sendiri atau dengan bahasa Arab. Mohon penjelasan.
Jawab: Tidak ada ketentuan dalam dalil bahwa niat shalat itu harus dilakukan dengan melafalkannya dengan bahasa sendiri atau dengan bahasa Arab.
Yang ditentukan dalam dalil ialah melakukan niat. Niat itu adalah amalan hati bukan amalan lisan. Sekali pun mengucapkan lisannya dengan bahasa Arab tetapi kalau apa yang diucapkan itu tidak diikuti dan tidak diketahui oleh hati yang mengucapkan apa maksud ucapan itu belum terpenuhi maksud niat itu.
Karena niat itu pekerjaan hati, dicetuskan dalam hati dengan bahasa yang dimengerti oleh hati. Ada pun niat yang dilafalkan dengan lisan dengan bahasa Arab tidak kita dapati dalam tuntunan al-Qur’an dan sunah Rasulullah .
Diduga penggagas pertama pelafalan niat itu berawal dari pemikiran Muhyiddin Nawawi (-676 Hijrirah) dalam bukunya Riyadhu Shalihin dan lainnya. Padahal ia hanya menyarankan untuk menghadirkan amalan-amalan shalat saat ber-tabiratul ihram. Namun kemudian oleh generasi sesudahnya dibuatkan juklak (petunjuk pelaksanaan) untuk cara menghadirkan niat tersebut dengan melafalnya. Wallahu a’lam.
Oleh sebab itu belum ditemukan pembahasan melafalkan niat dalam referensi karya ulama mujtahid Abu Hanifah, Malik, Syafii, dan Ahmad (sebelum Nawawi).
Dianalogkan Haji
Ada yang berpendapat melafalkan niat shalat itu dianalogikan dengan melafalkan niat haji, labbaik hajjan, labbaik umratan, atau labbaik hajjan wa umratan.
Analogi seperti itu tidaklah benar. Karena Rasulullah SAW memberi bimbingan niat haji itu saat beliau mengenakan kain ihram di rumahnya. Yang dilafalkan adalah talbiyahnya saat sampai di miqat makani(tempat miqat haji), agar menetapkan apakah ihramnya untuk haji atau untuk umrah atau untuk keduanya.
Dapat diprediksikan, amalan hati saja sudah diganggu oleh setan sedemikian rupa sehingga seseorang bisa terjebak was-was dalam amalnya, apalagi jika diazimahkan, bahkan dilafalkan. Maka tidak sedikit disaksikan gangguan setan makin keras sehingga sering kita melihat mereka yang melafalkan niat itu mengulang niatnya berkali-kali.
Dilemanya jika suatu amalan belum ada dalam juklaknya. Misalnya, niat untuk shalat gerhana yang harus melafalkan empat kali rukuk dan empat kali sujud yang tata caranya tidak seperti shalat Subuh, walaupun jumlahnya sama sebanyak dua rakaat.
Ketika yang berdiri di belakang imam melafalkan niatnya sebagai makmum, lalu imam batal. Maka siapa yang akan menggantikan imam? Ia tak akan mau lantaran sejak awal ia melafalkan niatnya hanya sebagai makmum.
Karena seseorang shalat sendirian, lalu datang orang lain untuk bermakmum padanya, apakah mungkin ia bertindak jadi imam, karena tidak punya niat untuk menjadi imam?
Ketika shalat di kendaraan, mungkin awalnya bisa menetapkan menghadap Ka’bah. Lalu bisakah menjamin selama perjalanan shalatnya ia tetap menghadap ke kiblat, padahal arah kendaraannya berbelok-belok?
Dan banyak lagi sisi positif dan sisi negatifnya. Itulah jika suatu ketaatan direkayasa oleh pemikiran. Bisa jadi satu sisi ada nilai positifnya, namun di sisi lain tentu banyak sisi negatifnya.
Sungguh awalnya Islam ini sangat simpel, namun kenapa terasa tambah beban saat ada campur tangan dan rekayasa pemeluknya? Apalagi seluruh amalan itu adalah masuk kategori ibadah ketaatan, termasuk makan, minum, belajar, tidur, dan lain sebagainya, lalu bagaimana cara melafalkan niatnya? Kenapa hanya shalat yang niatnya dilafadlan? (*)
Editor Mohammad Nurfatoni