PWMU.CO– Islam simbolis dan substansialis masih jadi perdebatan yang belum berakhir di kalangan umat muslim.
Topik itu jadi bahasan Dr Mahsun Djayadi dalam Ngaji Reboan di Ngaji Reboan di Masjid Al Ikhlas Rungkut Tengah 6/ 1 Surabaya, Rabu (11/1/2023) bakda Isya.
Padahal, kata dia, setiap muslim diminta beragama secara kaaffatan yakni menyeluruh dalam perilaku keseharian sebagai ekspresi ketauhidan. Seperti perintah Allah dalam surat al-Baqarah ayat 208.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱدْخُلُوا۟ فِى ٱلسِّلْمِ كَآفَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا۟ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيْطَٰنِ ۚ إِنَّهُۥ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.
Mahsun Djayadi menerangkan, Islam secara simbolis ditemukan di layar televisi ketika bulan Ramadhan. Para artis berpakaian muslim. Perempuan pakai kerudung dengan jambul keluar. Laki-laki pakai baju koko dan berkopiah. ”Di luar Ramadhan, pakaian mereka berbeda,” katanya.
Perilaku Islam simbolik, sambung dia, bisa dilihat perilaku ormas-ormas yang teriak takbir saat membubarkan pengajian.
”Menjalankan perintah agama Islam, tidak boleh hanya menitikberatkan pada aspek simbolis atau tekstual,” ujar Mahsun yang dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya.
Nilai Islam semestinya juga meresap dalam tutur kata dan perilaku. Dia contohkan, NKRI bukan negara Islam, tetapi nilai-nilai ajaran Islam secara substantif sudah masuk dalam sebagian besar hukum dan dasar negara.
”Ini hasil perjuangan para founding father. Tetapi ada sebagian kecil orang yang ingin mendirikan negara Islam di Indonesia,” katanya.
Bagi mereka, ujar dia, nama Islam secara formal harus tertulis secara teks. Namun mereka melakukan dengan cara-cara yang tidak Islami. Seperti teror, pemaksaan, pembunuhan, pemerasan, perampokan. Mereka merasa paling benar.
Ungkapan Syaikh Muhammad Abduh yang populer al-Islamu ya’luu walaa yu’laa ‘alaih, walakinnal Islamu mahjubun bil muslimin. Artinya Islam adalah agama yang tinggi tidak ada yang menandingi, tetapi ketinggian dan kebesaran Islam malah tertutup oleh perilaku umat muslim sendiri. ”Hal ini sepertinya dapat kita saksikan sekarang,” tandasnya.
Syaikh Muhammad Abduh juga mengatakan,”Saya menemukan Islam di Paris, meski tidak ada orang Islam di sana. Dan saya tidak menemukan Islam di Mesir, meskipun banyak orang Islam di sini.”
Dalam perspektif Islami secara substantif ini, sambung Mahsun, Islami didefinisikan bukan hanya pada kesalehan vertikal (tauhid) tetapi juga kesalehan sosial seperti mengasihi orang lain, menjaga kebersihan, membebaskan orang lain dari belenggu ketertindasan.
Penulis Jahja Sholahuddin Editor Sugeng Purwanto