Teladan dari Jenderal Hoegeng, sang Polisi Jujur; Kolom oleh Nur Cholis Huda. Tulisan Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur 2005-2022 tentang tokor-tokoh Indonesia yang menginspirasi akan terbit setiap Jumat. Redaksi.
PWMU.CO – Guyonan Gus Dur bahwa di Indonesia ini hanya ada tiga polisi yang jujur. Pertama, polisi tidur. Kedua, patung polisi. Ketiga, polisi Jenderal Hoegeng Imam Santoso. Itu disampaikan Gus Dur dalam diskusi di Bantara Budaya 31 Agustus 2006.
Tidak tahu apakah Gus Dur sedang memberi penghargaan pada kejujuran Jenderal Hoegeng atau memberi kritik sulitnya mencari orang jujur di negeri ini, khususnya di kalangan kepolisian. Atau keduanya, memberi penghargaan kepada Pak Hoegeng sekaligus kritik pada kepolisian. Kasus Ferdy Sambo membuka banyak hal dalam dunia kepolisian.
Perjalanan Jenderal Hoegeng memang menunjukkan perjalanan polisi yang lurus, jujur, antikorupsi, dan berani. Berikut ini contoh sebagian kecil dari perjalanan hidup Hoegeng yang lurus.
Suatu hari Hoegeng diangkat menjadi Kepala Reskrim di Sumatra Utara. Rumah dinas belum siap. Ternyata sudah ada rumah indah lengkap dengan mobilnya untuk Hoegeng. Itu sebagai sambutan atau kado diangkatnya Hoegeng sebagai Kepala Reskrim. Hoegeng menolak tinggal di rumah itu. Dia memilih menginap di penginapan atau hotel (bukan hotel berbintang). Di belakang hari diketahui ternyata kado itu dari bandar judi.
Ketika dia pindah ke rumah dinas, di rumah itu sudah tersedia meja kursi dan barang mebeler yang bagus. Hoegeng merasa tidak pernah pesan barang-barang itu. Maka dia perintahkan semua meja kursi itu di keluarkan dengan paksa. Lalu diletakkan di pinggir jalan. Kota Medan heboh karena peristiwa ini. Ternyata barang-barang itu kiriman dari orang yang biasa melakukan suap.
Menutup Toko Bunga Istrinya
Itulah Hoegeng. Dia tidak mau menikmati sesuatu yang di sendiri tidak tahu sumbernya. Dia sangat hati-hati dengan jabatannya. Ketika dia diangkat Bung Karno menjadi Direktur Jenderal (Dirjen) Imigrasi, istrinya punya usaha penjualan bunga. Itu dirintisnya dengan susah payah. Namun kemudian Hoegeng minta Merry, istrinya, menutup usaha penjualan bunga itu.
Ketika istrinya bertanya mengapa toko bunga harus ditutup? Inilah jawaban Hoegeng: Nanti segala urusan dengan imigrasi akan memesan bunga di sini. Itu perbuatan tidak adil. Bagaimana dengan nasib penjual bunga lain kalau semua pesan ke toko istri Dirjen Imigrasi? Akhirnya istrinya bisa menerima alasan Hoegeng dan toko itu ditutup.
Pada dekade 1960-an, saat menjabat sebagai Menteri Iuran Negara (1964-1966), Hoegeng pernah menolak permintaan Presiden Sukarno. Kala itu, Sukarno hendak mengimpor sejumlah barang untuk keperluan pembangunan rumah yang di kemudian hari dikenal dengan nama Wisma Yaso.
Bung Karno ingin barang-barang itu masuk dengan mudah, tidak berbelit-belit dan murah. Hoegeng menolaknya. Untuk memenuhi keinginan itu Bung Karno bisa menempuh dua cara. Pertama, membuat surat perintah kepada Hoegeng agar proses impor dilakukan dengan mudah dan bebas pajak. Kedua, membuat surat ke DPR untuk membuat UU baru yang isinya agar barang-barang impor tidak kena pajak.
“Ah, begitu saja harus bikin surat perintah dan ubah undang-undang segala,” kata Bung Karno.
Hoegeng menjawab: “Memang aturannya begitu Pak.” Akhirnya Bung Karno mengalah.
”Bapak bisa mengerti apa yang dikemukakan Pak Hoegeng. Lalu enggak jadi, dan ternyata semua barang di Wisma Yaso itu diambil dari produk dalam negeri,” kata Guntur Sukarnoputra, putra sulung Sukarno, seperti dikutip harian Kompas.
Ketika menjadi Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) pada masa Orde Baru, Hoegeng menginstruksikan semua Kapolda dan Kepala Keamanan Pelabuhan agar mendaftarkan kekayaannya. Itu sebagai perwujudan komitmennya antikorupsi. Jika kekayaan sudah terdaftar, maka mudah dimonitor tambahan kekayaan karena Hoegeng tahu besaran gaji masing-masing anak buahnya.
Ketika menjadi Kapolri terjadi penyelundupan mobil-mobil mewah yang merugikan negara ratusan juta rupiah. Jumlah yang besar saat itu. Diketahui pelakunya adalah Robby Tjahyadi alias Sie Tjie It, pengusaha yang dekat dengan polisi, tentara, petinggi bea cukai, dan pejabat penting lainnya. Hoegeng turun langsung menangani kasus penyelundupan ini.
Konon akhirnya diketahui penyelundupan ini juga melibatkan seorang keluarga Cendana. Robby divonis 10 tahun. Dijalani hanya dua setengah tahun. Bagaimana nasib Hoegeng? Akhirnya pergantian Kapolri dipercepat. Dia diberhentikan sebagai Kapolri sebelum waktunya. Alasannya untuk regenerasi. Apakah nasib orang jujur selalu tersisih? (*)
Editor Mohammad Nurfatoni