Pelajaran Besar dari Pidato Anwar Ibrahim

Hudiyo Firmanto: Pelajaran Besar dari Pidato Anwar Ibrahim (Atho Khoironi/PWMU.CO)

Pelajaran Besar dari Pidato Anwar Ibrahim; Oleh Hudiyo Firmanto, dosen di salah satu perguruan tinggi swasta Surabaya, pemerhati masalah-sosial kemasyarakatan.

PWMU.CO – Jumat (13/1/2023) malam, penanda waktu di ujung kanan bawah laptop saya menunjukkan pukul 21.55, saat saya berhenti sejenak dari mengerjakan tugas-tugas kantor yang terbawa ke rumah. 

Untuk sekAdar rehat sesaat, saya buka tautan YouTube di laptop saya. Entah bagaimana ceritanya, saya tersasar di laman YouTube CNBC Indonesia. Saya melihat judul tampilan YouTube pada bagian halaman paling atas, judulnya: PM Anwar Ibrahim Bicara Hubungan RI-Malaysia Hingga Pengalaman di Penjara.

“Ah, apa sih yang diomongkan Anwar Ibrahim,” pikiran saya, agak penasaran. Iseng-iseng saya buka channel YouTube tersebut, mencoba sedikit mengintip apa yang diomongkan. Saya lihat tanda durasi video, 36:36. Ya, tiga puluh enam menit lewat tiga puluh detik. 

“Wah, agak lama juga,” pikir saya, mulai agak ragu-ragu. Teringat mata sudah mulai agak sayup-sayup. Maklum sudah S3 alias sampun sawetawis sepuh, sudah lumayan tua. Sudah tidak terlalu kuat melek bengi.

Acara itu adalah sesi CT (Chairul Tanjung) Corporation Leadership Forum yang diselenggarakan oleh CT Corporation di Menara Bank Mega Jakarta, 9 Januari 2023. Awal mulai pemaparannya, saya agak terkejut saat Dato Seri Anwar Ibrahim membuka dengan salam, dan melanjutkannya dengan mukadimah: 

Nahmaduhu wa nusalli ala rasuulihil kareem.” Selain bacaannya yang fasih, ini bukan hal yang lumrah kita temui  dari orang-orang penting di Indonesia. Karenanya, agak kaget juga mendengar seorang Perdana Menteri membuka pidatonya dengan memuji Allah, dan selawat kepada Rasulullah salallahu wasalam dengan bahasa Arab yang fasih. Sangat jarang pejabat Muslim di Indonesia yang berani melakukannya sekalipun juga menguasainya.

Perlahan, saya mulai menikmati penyampaian Dato Seri Anwar Ibrahim. Kira-kira sepuluh menit pertama, Yang Amat Berbahagia (YAB) Dato Seri Anwar Ibrahim mengenalkan pahamnya tentang kepemimpinan. Dia berkata: “Taklifun wa laa tasyrifun.” Keutamaan bagi pemimpin itu adalah amanah, bukan kemayshuran. Masya Allah, mungkin terkesan sederhana, tapi saya baru sadar, betapa sudah lama saya tidak mendengar kalimat seperti ini dari pemimpin-pemimpin Indonesia.

Mengutip Ayat dan Hadits

Datok Seri meyakinkan pentingnya pemimpin untuk beramal, tidak sekadar slogan dan janji. Beliau menukil ayat al-Qur’an dan menyebutnya sebagai peringatan yang keras, “Lima taquluna mā lā taf’alun.” Kembali, dengan bacaan bahasa Arab yang fasih. 

Belakangan saya tahu, itu adalah nukilan al-Quran Surat as-Saff Ayat 2, yang artinya: “Kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?” Karena itu, dia  menekankan bahwa semua berpangkal dari atas (pemimpin), dengan mengatakan: “Pemimpin harus menunjukkan kesederhanaan, menunjukkan kebiasaan mempertahankan prinsip nilai dan akhlak. Dan menggunakan kekuasaan tidak untuk memperkayakan sanak saudara dan kroni mereka.” 

Menjelaskan tentang democratic accountability, Dato Anwar mengutip hadits Rasulullah salallahu alaihi wassalam: “Kullukum ra’in wa kullukum mas’ulun an ra’iyyatihi. (Setiap dari kalian adalah pemimpin dan tiap-tiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban)”. Selanjutnya, dia menyambung: “Maknanya, selain daripada accountable to the people, kita yakin bahwa ultimatelyaccountability itu adalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Baru ada real respect, and fear, and compassion.” 

Menurut Dato Anwar, seorang perdana menteri tidak selalu expert di bidangnya. Karena itu, dia berkata: “Di sini harus ada the humility to acknowledge.” Untuk menjelaskan ini, dia menukil ungkapan TS Elliot di dalam puisinya: “The only wisdom we can hope to acquire, is the wisdom of humility. The wisdom of humility is endless.” 

Anwar melanjutkan: “Maka, kalau ada satu-satunya hikmah yang mungkin kita kuasai, garap, adalah merendah diri, humility, atau tawadhu. Karena hikmah tawadhu itu tidak ada batasnya.”

Pengalaman Dipenjara

Sekelumit, dia juga bertutur soal pengalamannya dipenjara. Dato Seri menyampaikannya tanpa emosi. Dia tidak sedikitpun menyinggung tentang rezim yang memenjarakannya. 

Perdana Menteri Malaysia yang ke-10 itu mengatakan, meskipun penat, pengalaman hidup lebih dari sepuluh tahun di penjara menjadi pelajaran untuk bisa merasakan apa yang beliau sebut: “arti derita dan sengsara di kalangan majority rakyat kita.” 

Alih-alih bercerita soal dendam, dia menyampaikan meski mengalami sepuluh tahun hidup di penjara, tetapi kehidupannya masih jauh lebih baik dari kebanyakan orang-orang Malaysia yang tidak dipenjara. Terutama orang-orang yang tidak mampu. Karena meski beliau dia hidup di penjara, makan minum, dan pendidikan keluarganya masih terpenuhi, masih banyak teman yang membantu.

Tigapuluh enam menit yang bernilai, begitu saya rasakan saat putaran video menyentuh menit terakhir. Sebelum berucap salam untuk mengakhiri pidatonya, tanpa canggung, Perdana Menteri Malaysia itu berucap: “Jazakumullahu khairan katsira. Terima kasih banyak.” 

Ah, saya merenung lagi sesaat, coba kalau pemimpin di Indonesia mengakhiri sambutannya dengan kata-kata seperti ini, mungkin akan dirasani: “Walah sok kearab-araban.”

Mata yang tadinya sudah limang watt kata orang Jawa (tinggal lima watt) ternyata bisa bertahan sampai akhir tanpa terasa. Beberapa bagian penting yang penuh daging (meminjam istilah para youtuber untuk menyebut pembicaraan yang bernilai) dari pandangan Dato Anwar, di antaranya konsep tentang pendidikan, toleransi beragama, terpaksa tidak bisa dituliskan di sini. Takut terlalu panjang. 

Menyimak semua penyampaiannya, rasanya seperti aliran air mengalir melalui kerongkongan, menghapus dahaga akan harapan, motivasi, dan inspirasi yang tidak bisa didapat dari pemimpin negeri sendiri. Sungguh pemaparan yang classy, berkelas. Dalam bayangan saya, tergambar pemimpin yang rendah hati, tulus, dan sangat menjunjung nilai-nilai Islam dan kemanusiaan. 

Pidato Megawati

Pikiran saya menerawang, mengenang saat beberapa jam sebelumnya saya menyimak pidato seorang pemimpin partai di Republik ini. “Kalau saya mau selfie, pasti pengikutku okeh, kenapa: satu, perempuan; dua, cantik; tiga, karismatik; empat, opo eneh? Pintar. Oo aku tahu-tahu ketiban profesor saja dua. Opo neh, Doctor Honoris Causa, lima.” 

Itu adalah sepenggal kalimat di pidato Megawati yang saya dengar. Diucapkan di depan Presiden, Wakil Presiden, para menteri, dan para kader partai serta ditayangkan di televisi. 

Saya teringat lagi pidato Dato Seri Anwar Ibrahim, waktu mencoba memberi excuse karena menyitir banyak pandangan pakar dan tokoh-tokoh. Dato Anwar menyebut, kalau ada yang bilang beliau bijak, ini karena membaca ribuan buku selama di penjara, sebab tidak ada pekerjaan lain. Itu yang membuatnya bisa banyak menukil pemikiran para tokoh. Ungkapan yang penuh nuansa kerendahhatian.

Sampai saya menulis ini, sudah berjalan empat kali saya mengulang-ulang menyimak pemaparan beliau. Belum bosan. Di tengah-tengah saya menulis ini, beberapa saat saya harus terhenti, menahan air yang menggenang di mata. Terutama saat beliau menyebut: ”Ultimately, accountability itu adalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” Tak terbayang bagi saya, seorang Perdana Menteri mengucapkan kalimat itu. 

Keesokan harinya, selepas shalat Subuh, istri dan anak sulung saya, sempat saya ajak menyimak juga. Setelahnya, kami bertiga sempat berbincang. Saat saya singgung tentang pidato di HUT salah satu partai besar di Indonesia, anak kami mengatakan: “Itu Pa, kira-kira seperti menonton sepak bola piala dunia dan sepakbola Liga 1 Indonesia.”

Orang yang membaca tulisan ini mungkin akan mengira saya seperti kebanyakan orang Indonesia, suka memuji negara lain, dan merendahkan negerinya sendiri. Mungkin Anda juga berpikiran begitu. Sekiranya demikian, silakan menyimak sendiri, pidato Perdana Menteri Malaysia melalui tautan https://www.youtube.com/watch?v=fD5bULssTBI dan Pidato Ketua Umum PDIP melalui Youtube Kompas TV https://www.youtube.com/watch?v=Odaua9NL5eg. Pesan saya sebelum Anda menyimaknya, meminjam syair lagunya Farel Prayoga: “ojo dibanding-bandingke!”

Pelajaran Besar dari Pidato Anwar Ibrahim; Editor Mohammad Nurfatoni

Exit mobile version