Kata radha’ dalam bahasa Arab, menurut dia bermakna mengisap puting payudara dan meminum ASI-nya. Karena itu, meminum ASI bukan melalui mengisap payudara tidak disebut menyusui, dan efek dari penyusuan model ini tidak membawa pengaruh apa-apa di dalam hukum nasab nantinya.
Menurut dia, yang menimbulkan adanya saudara sesusuan adalah sifat keibuan. Yang ditegaskan al-Quran itu tidak terbentuk semata-mata diambilkan air susunya, tapi karena mengisap teteknya dan selalu lekat padanya sehingga melahirkan kasih sayang si ibu dan ketergantungan si anak. Dari keibuan ini, muncullah persaudaraan sesusuan. Jadi, keibuan ini merupakan pokok, sedangkan yang lain mengikutinya.
Berbeda dengan Dr Wahbah Az-Zuhayli. Ulama fikih ini melarangnya secara mutlak dengan pertimbangan menghindari madlarat. Dikhawatirkan, akan melanggar aturan ke-mahram-an ketika terjadi pernikahan sesama saudara sesusuan, karena ASI-nya saling bercampur. Hal ini didasarkan pada al-Quran Surat an-Nisa, ayat 23, yang melarang menikahi ibu ataupun saudara sesusuan.
Menurut dia, tidak ada kriteria menyusu harus dengan proses bayi mengisap puting susu. Justru yang menjadi kriteria adalah meminumnya, bukan cara minumnya. Hal ini didasarkan pada hadits Aisyah yang menyebutkan bahwa ke-mahram-an itu terjadi ketika bayi merasa kenyang. “Rasulullah SAW bersabda: Perhatikan saudara laki-laki kalian, karena saudara persusuan itu akibat kenyangnya menyusu. (HR Bukhari dan Muslim).
Makna radha’ bagi dia adalah masuknya susu manusia ke dalam tubuh yang berfungsi sebagai gizi.
Jadi, yang penting adalah sampainya air susu tersebut ke dalam perut bayi, baik dengan cara mengisap puting payudara dari perempuan langsung, ataupun dengan cara lain.(Nadjib Hamid)