Romantisme dalam ibadah dan dakwah
Dalam rumah tangga islami segala adab-adab islam dipelajari dan dipraktikan sebagai filter bagi penyakit moral di era globalisasi ini. Suami bertanggung jawab terhadap perkembangan pengetahuan keislaman dari istri, dan bersama-sama menyusun program bagi pendidikan anak-anaknya. Saling tolong-menolong dan saling mengingatkan untuk meningkatkan kefahaman dan praktek ibadah. Maka cinta kasih suami istri akan tergambar melalui ibadah yang dijalankan dengan penuh kasih sayang.
Sabda Rasulullah SAW, “Semoga Allah merahmati suami yang bangun malam hari lalu shalat dan membangunkan pula istrinya lalu shalat pula. Jika enggan maka dipercikkannya air ke wajahnya. Dan semoga Allah merahmati istri yang bangun malam hari lalu shalat dan membangunkan pula suaminya lalu shalat pula. Jika enggan maka dipercikkannya air ke wajahnya.” (HR. Imam Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’i, Ibnu Majah).
(Baca juga: Islam Ideologis, Why Not?)
Betapa romantisnya pasangan bila karena Allah, maka akan tercermin dari rangkaian perjalanan waktu sebagai bagian dari ibadah kepadanya, seperti hadits diatas percikan air untuk sholat malam sebagai buah dari cinta yang tersemaikan hanya karena Allah semata.
Romantisme itu juga mewujud dalam dakwah dan hubungan sosial, maka keluarga islami harus memberikan kontribusi dakwah yang cukup bagi perbaikan masyarakat sekitarnya.
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan cara hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu adalah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (An-Nahl 125)
Setiap anggota keluarga islami diharuskan memiliki semangat berdakwah yang tinggi, karena profesi utama setiap muslim/ah adalah sebagai dai. Suami harus dapat mengatur waktu yang seimbang untuk Allah SWT (ibadah ritual), untuk keluarga (mendidik keluarga serta bercengkrama bersama istri dan anak-anak), waktu untuk umat (mengisi ceramah, mendatangi pengajian, menjadi pengurus masjid, panitia kegiatan keislaman), berperan aktif dalam Persyarikatan Muhammadiyah/organisasi Islam dan waktu mencari nafkah. Begitu pula dengan istri harus diberi kesempatan untuk bekiprah dijalan da’wah ini memperbaiki muslimah di sekitarnya.
Bila pemahaman keislaman antara suami dan istri sekufu, maka tenaga untuk melakukan manuver dakwah keluar akan lebih banyak, karena suami tidak perlu menyediakan waktu yang terlalu banyak untuk mengajari istrinya. Begitu pula istri mendukung dan memperlancar tugas suami dengan ikhlas. Hubungan suami istri semacam ini bukanlah semata-mata hubungan duniawi atau nafsu hewani namun berupa interaksi jiwa yang luhur, suatu pertalian luhur yang dapat berlanjut sehingga ke kehidupan akhirat kelak, sebagaimana digambarkan dalam al-Qur’an, “Itulah surga ‘Adn yang mereka itu masuk di dalamnya bersama-sama orang yang shaleh, baik itu orangtuanya, istri/suaminya dan anak cucunya.” (Ar-Ra’d 23).
Islam telah mengatur keseimbangan hak dan kewajiban ini, apa yang menjadi kewajiban suami adalah hak istri, dan begitu pula sebaliknya. Kewajiban suami tidak bisa dilakukan secara optimal oleh istri, begitu pula sebaliknya. Maka suami istri yang membentuk keluarga dalam bingkai syariat Agama Allahlah yang diberikan Sakinah.Maka optimalisasi peran suami istri dalam ibadah dan dakwah akan memperkuat jalinan kasih sayang dalam keluarga kita.
Oleh karenanya dalam hadits Muslim disebutkan para bidadari di Surga cemburu terhadap para istri shalihah yang mampu menjaga hubungan dengan suaminya serta menjaga kehormatan keluarganya. Semoga keluarga kita semua dalam sakinah mawaddah warrahmah. Amin. (*)
*) Nugroho Hadi Kusuma adalah Direktur HQ Center dan Wakil Ketua LPCR PWM Jatim.