Sentralisasi Zakat Fitrah oleh Joko Intarto, Manajer Fundraising Lazismu Pusat.
PWMU.CO– Menggerakkan ekonomi pedesaan tidak perlu program yang muluk-muluk. Cukup yang simple-simple. Tapi masuk akal, dan bisa dijalankan. Misalnya, sentralisasi zakat fitrah.
Elemen penggerak ekonomi itu sudah ada. Ada petani, pengusaha pasca panen, pedagang hasil bumi, penyedia sistem pembayaran, penyedia sistem distribusi, amil zakat, muzaki dan mustahik.
Elemen yang lengkap itu nyatanya belum bisa berkontribusi secara nyata. Status sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia pun belum sanggup menyejahterakan petaninya. Padahal setidaknya ada tiga kewajiban syariah yang sangat berhubungan dengan perekonomian desa: zakat fitrah, kurban dan aqiqah.
Zakat Fitrah
Mengutip laman Baznas, secara umum zakat terbagi menjadi dua jenis. Zakat fitrah dan zakat mal. Zakat fitrah (zakat al-fitr) adalah zakat yang diwajibkan atas setiap jiwa baik lelaki dan perempuan muslim yang dilakukan pada bulan Ramadhan hingga menjelang shalat Idul Fitri.
Zakat fitrah hukumnya wajib untuk seorang muslim yang memenuhi kriteria merdeka (bukan budak atau hamba sahaya), mempunyai kelebihan makanan pada malam dan siang hari raya Idul Fitri, juga menemui hari-hari bulan puasa dan awal jatuhnya satu Syawal.
Jika seseorang meninggal setelah terbenamnya matahari pada hari terakhir Ramadhan (29 atau 30 Ramadan), ia dikenai zakat fitrah. Demikian pula, jika ada anak yang lahir sebelum matahari terbenam pada akhir Ramadhan, ia tetap dikenai zakat fitrah.
Dalam kitab Ihya Ulumuddin, Al-Ghazali menyebutkan, seorang suami dikenai kewajiban untuk membayar zakat fitrah istrinya, anak-anaknya, budaknya, atau dapat disebut setiap anggota keluarga yang menjadi tanggungannya.
Ini merujuk sabda Nabi Muhammad saw. ”Lunasilah zakat fitrah itu, dari orang-orang yang nafkah hidupnya menjadi tanggunganmu.”
Yang harus dibayarkan dalam zakat fitrah adalah makanan pokok sebanyak satu sha’ atau diperkirakan setara dengan 2,5 kg atau 3,5 liter untuk setiap jiwa. Syekh Yusuf Qardawi menjelaskan satu sha’ dapat diganti dengan uang yang setara dengan harga makanan pokok.
Setiap muslim menunaikan kewajiban tersebut dengan menyerahkan beras atau uang yang setara dengan beras 2,5 Kg kepada amil zakat.
Amil zakat, menurut Undang-undang Zakat, adalah lembaga atau badan hukum yang memiliki legalitas perizinan mengelola zakat. Istilah panitia zakat tidak dikenal dalam undang-undang zakat.
Redesain Program
Penduduk muslim di Indonesia saat ini sekitar 200 juta jiwa. Berarti kebutuhan beras untuk zakat fitrahnya mencapai 500 juta Kg. Dengan harga beras standar bagus saat ini Rp 12.000/Kg, zakat fitrah nasional akan menghasilkan omzet Rp 6 triliun bagi petani.
Nilai Rp 6 triliun sepertinya sangat besar. Namun angka itu menjadi kecil bila distribusi uangnya terlalu luas. Uang Rp 6 triliun itu akan nendang kalau distribusinya dipersempit. Misalnya, satu sentra padi di setiap provinsi.
Menggunakan mekanisme lama, gagasan di atas sulit terwujud. Jumlah zakat yang berhasil dikumpulkan masing-masing panitia zakat, umumnya tidak seberapa besar. Karena jumlahnya sedikit, pengadaan berasnya cukup di pasar terdekat. Yang happy pedagang beras.
Ceritanya akan lain kalau semua panitia zakat mau melakukan desentralisasi sistem pembayaran zakat fitrah.
Bayangkan seandainya ratusan ribu panitia zakat di semua sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit dan masjid Muhammadiyah menggunakan satu rekening Lazismu.
Tidak perlu rekening Lazismu Pusat. Cukup rekening Lazismu wilayah/provinsi.
Dengan potensi muzaki yang besar, Lazismu wilayah bisa merencanakan program pemberdayaan di satu kawasan tertentu. Lazismu wilayah bisa menggandeng Jaringan Tani Muhammadiyah (Jatam) untuk menyiapkan hasil panen khusus untuk memenuhi zakat fitrah.
Anggota Jatam pasti mau karena Lazismu wilayah akan menyalurkan uang zakat fitrah itu untuk menyerap hasil panen mereka.
Untuk memudahkan memahami narasi di atas, saya menyusun tabel sebagai ilustrasi. Dari tabel tersebut, saya berkesimpulan
1. Zakat fitrah harus dikelola secara terpusat, sekurang-kurangnya di tingkat wilayah/provinsi.
2. Pengelolaan di level lebih rendah kurang berdampak ekonomi karena nilai yang bisa dihimpun terlalu kecil.
3. Pengelolaan zakat fitrah memerlukan desain program berwawasan pemberdayaan ekonomi agar bisa menimbulkan multiplier effect.
4. Pengelolaan zakat fitrah memerlukan SDM yang memiliki wawasan pemberdayaan ekonomi yang baik. Tidak cukup dengan layanan buka lapak dan menulis kuitansi.
Saya berharap, gagasan sentralisasi zakat fitrah direspon para kepala desa. Mereka akan merapat ke kantor-kantor Lazismu wilayah untuk menawarkan desanya sebagai pemasok beras zakat fitrah. Toh kegiatan demonstrasi menuntut perpanjangan masa jabatan sudah selesai.
Editor Sugeng Purwanto