Enerji Musyawarah Itu Madu; Oleh Nur Cholis Huda, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur 2005-2022.
PWMU.CO – Inilah bulan-bulan yang dipadati musyawarah bagi persyarikatan Muhammadiyah. Setelah Musywil Jawa Timur, akan ada 76 musyawarah daerah (musyda) Muhammadiyah dan Aisyiyah. Lalu diikuti ratusan musyawarah cabang (musycab). Selanjutnya ribuan musyawarah ranting (musyran). Hebat sekali Muhammadiyah dan Aisyiyah. Semua dilakukan mandiri.
Bagaimana memberi makna pada kehebatan ini sehingga menjadi sumber energi positif? Bukan energi biasa-biasa saja apalagi menjadi energi negatif.
Jika kita kembali pada makna musyawarah maka kegiatan ini luar biasa. Kata musyawarah berasal dari kata syawara yang artinya mengeluarkan madu dari sarang lebah. Kata ini pada dasanya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik. Kegiatan yang tidak baik tidak tepat menggunakan kata musyawarah. Permufakatan jahat bukan musyawarah.
Kita tahu madu rasanya manis lezat. Dihasilkan dari lebah yang mengisap sari bunga. Bukan dari sembarang barang. Lebah dikenal sebagai makhluk sangat disiplin. Kerja samanya mengagumkan. Di manapun hinggap tidak akan membuat ranting yang kecil dan kering akan patah. Tidak pernah menimbulkan kerusakan. Selalu menjaga keharmonisan. Lebah menghasilkan produk madu. Selain lezat, madu juga menyehatkan, obat bagi penyakit.
Inilah bedanya dengan lalat. Lalat makan disembarang tempat. Mulai hinggap pada masakan di meja makan sampai di tumpukan sampah. Dari sumber yang kotor maka lalat menghasilkan penyakit.
Lebah inilah tipe orang yang datang menghadiri musyawarah Muhammadiyah. Datang dengan hati bersih. Pikiran bersih. Niat bersih. Maka emosi dan ambisi dikendalikan oleh akal sehat. Mereka datang membawa madu, bukan membawa racun. Mereka lebah, bukan lalat.
Alangkah indah jika setiap yang hadir membawa madu. Pertemuan itu akan terasa manis dan lezat. Musyawarah itu akan menyembuhkan luka dan menyehatkan tubuh seperti fungsi madu sebagai obat. Persoalan yang ruwet di organisasi dapat selesai lewat musyawarah. Kecurigaan berubah kejelasan. Semula tidak suka berubah menjadi sahabat.
Hamka dan Farid Ma’ruf
Berikut ini salah satu contoh kejadian. Anda tentu sudah mengetahuinya. Saya juga pernah menceritakannya.
Tahun 1960 Bung Karno mengangkat Mulyadi Djoyomartono menjadi Menteri Sosial. Banyak tokoh Muhammadiyah kecewa dengan kesediaan Mulyadi. Bung Karno baru saja melukai kelompok Islam dengan membubarkan Masyumi. Tetapi ada juga yang setuju dengan sikap Mulyadi menerima jabatan menteri itu. Maka Hamka menulis di harian Abadi bahwa di Muhammadiyah ada kelompok istana dan non-istana. Kelompok istana dipimpin KH Farid Ma’ruf yang selalu membawa Muhammadiyah ke istana. Tulisan Hamka itu berpengaruh luas sehingga Muhammadiyah seakan terbagi dua.
Tahun itu ada sidang tanwir. Dua orang, Hamka dan Farid M’ruf akan saling berhadapan. “Saya menunggu dengan berdebar seperti menunggu pertandingan Moh. Ali melawan Joe Frazier, siapa lebih unggul,” kata Pak Jarnawi mewakili anak muda.
Dalam sidang Tanwir di Gedung Muhammadiyah Hamka diminta tampil lebih dahulu. Diminta menjelaskan tulisannya di harian Abadi. Di atas podium Hamka tampil tenang, Matanya memandang semua hadirin. Tiba-tiba dari pelupuk matanya bercucuran airmata. Dengan suara tersendat dia mengaku jika perasaanya tersentuh segera mengambil pena lalu membuat tulisan. Dia bermaksud baik untuk Muhammadiyah. Namun jika tulisan itu menyinggung perasaan Farid Ma’ruf maka saya menyesal, mohon ampun, dan maaf kepada Saudara Farid Ma’ruf.
Giliran Farid Ma’ruf tampil ke podium. Dia membawa beberapa map. Mungkin untuk menjawab kritikan Hamka. Namun ternyata Hamka tidak mengritik. Malah menangis dan di depan umum minta ampun kepadanya. Farid Ma’ruf lama terdiam. Mapnya tidak disentuh. Lalu dia minta maaf kepada hadirin atas langkah-langkahnya. Jika dirasa merugikan Muhammadiyah, mohon izin saya akan mengundurkan diri. Belum lagi selesai ucapan Farid, Hamka mengacungkan tangan. “Saudara pimpinan, jangan Farid yang mundur, dia masih sangat dibutuhkan. Saya, Hamka, yang mundur.”
Mendengar itu, Farid Ma’ruf segera turun dari mimbar, berjalan menuju Hamka. Lalu Hamka berdiri menyongsong Farid. Keduanya berangkulan lalu bertangisan. Hadirin tertegun. Tanpa dikomando serentak mengucapkan hamdalah, lalu takbir bersama. Muhammadiyah tetap utuh. Besoknya di harian Abadi muncul berita besar. “Muhammadiyah Utuh, Tidak Pecah”
Jika hati bersih alangkah mudah konflik diatasi. Jika semua membawa madu alangkah manis pada setiap akhir pertemuan. Tetapi sering pertemuan menjadi tegang karena masing-masing bertahan dengan pendapatnya. Yang ada bukan lagi menemukan kebenaran dan kearifan tetapi kalah menang. Dalam kalah menang itu banyak dikuasai emosi dan ambisi. Peserta musyawarah bukan sebagai lebah tetapi menjadi lalat.
Kita berharap musyawarah yang berlangsung dalam beberapa bulan ke depan adalah madu. Lezat, sehat dan menyembuhkan. Insyaallah. Muhammadiyah itu sudah sangat dewasa. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni
Kolom ini telah dimuat majalah Matan Edisi Februari 2023.