Muhammadiyah: Ramadhan Sama, Idul Fitri dan Idul Adha Bisa Berbeda, Liputan Nely Izzatul, Kontributor PWMU.CO Yogyakarta
PWMU.CO – Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menggelar Konferensi Pers Maklumat tentang Penentuan Hasil Hisab Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah 1444 H, Senin (6/2/2023).
Dalam konferensi pers tersebut hadir Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof Dr Haedar Nashir MSi, Ketua PP Muhammadiyah Prof Dr Syamsul Anwar MA, Sekretaris PP Muhammadiyah M Sayuti MPd MEd PhD dan Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Oman Fathurahman.
Ketua PP Muhammadiyah, Prof Dr Syamsul Anwar menjelaskan, Muhammadiyah dalam menetapkan awal bulan Qomariyah termasuk Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah tidak berdasarkan penampakan, melainkan berdasarkan pada posisi geometris benda-benda langit, yaitu matahari, bumi, dan bulan.
“Jadi pada posisinya, bukan nampak dan tidaknya. Nah jadi itu yang penting,” imbuh Syamsul.
Dia mengatakan, untuk penentuan awal Ramadhan misalnya, hal ini sudah memenuhi syarat-syarat.
“Syarat yang pertama sudah terjadi ijtimak. Artinya bulan telah mengelilingi bumi dengan 1 putaran sinodis. Satu putaran sinodis itu untuk Ramadhan tercapai pada tanggal 22 Maret pukul 00.25.41 WIB. Jadi itu bulan Syaban telah mengelilingi bumi 1 putaran, sehingga syarat pertama sudah terpenuhi,” ucapnya.
Dia menuturkan, tercapainya 1 putaran sinodis itu terjadi sebelum matahari tenggelam. Karena terjadinya itu pukul 00.25.41 (dini hari) dan matahari tenggelam besok sore, jadi jauh sekali.
Sementara syarat ketiga, pada saat matahari tenggelam keesokan sorenya, yaitu pada hari Rabu, pada saat matahari tenggelam, bulan masih di atas ufuk.
“Jadi syarat pertama, telah terjadi ijtimak. Yang kedua, ijtimak itu terjadi sebelum matahari tenggelam, dan yang ketiga saat matahari tenggelam, bulan masih di atas ufuk, belum tenggelam,” ucapnya.
Guru Besar Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini menjabarkan, matahari lebih dulu tenggelam, baru kemudian bulan tenggelam.
“Jadi ketika matahari tenggelam, bulan belum tenggelam atau masih di atas ufuk. Sehingga syarat ini terpenuhi pada hari Rabu, 22 Maret 2023. Oleh karena itu, 1 Ramadhan jatuh pada Kamis 23 Maret 2023 M,” katanya.
Prof Syamsul Anwar mengatakan, itulah metode penetapan yang disebut dengan istilah hisab wujudul hilal. Hisab hakiki, kriteria wujudul hilal. Tidak soal terlihat dan tidak terlihatnya, yang penting posisi geometris itu terpenuhi.
Syawal dan Dzulhijjah Kemungkinan Berbeda
Dia mengatakan, untuk Ramadhan besok, menurut perhitungan di atas kertas, Insya Allah sama di seluruh Indonesia, yang akan berbeda itu kemungkinan berbeda di Syawal dan Dzulhijjah.
“Kenapa berbeda? Karena menurut kriteria Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura (MABIMS) tinggi bulan sekurang-kurangnya 3 derajat dan elonasi yaitu jarak bulan dan matahari 6,4 derajat. Nah itu belum terpenuhi jika merujuk pada kriteria MABIMS,” ucapnya.
Dia menuturkan, kalau kriteria itu belum terpenuhi, berarti tidak dapat dilihat. Karena belum dapat dilihat, maka menurut kriteria MABIMS itu keesokan harinya belum terpenuhi syarat untuk memasuki bulan baru.
“Sedangkan menurut kriteria wujudul hilal yang tidak berpatokan pada penampakan, maka keesokan harinya sudah masuk bulan baru yaitu 1 Syawal 21 April 2023,” tuturnya.
Untuk Dzulhijjah, Syamsul Anwar mengatakan, juga kemungkinan terjadi perbedaan. Di mana Muhammadiyah lebih dulu masuk di bulan Dzulhijjah sedangkan kriteria MABIMS belum memasuki bulan Dzulhijjah.
“Jadi itu perbedaannya,” pungkas Pakar Hukum Islam kelahiran 30 Maret 1956 di Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau ini.
Editor Mohammad Nurfatoni