
Bayangkan, Indonesia tanpa Muhammadiyah dan NU; Liputan Muhammad Iqbal Rahman, Kontributor PWMU.CO Kabupaten Mojokerto.
PWMU.CO – Pengajian Umum Ahad Pagi (PUAP) digelar Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten Mojokerto di halaman MI Muhammadiyah Nurul Falah, Tangunan Puri, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, Ahad (12/02/2023). Kegiatan ini bersamaan dengan Musyawarah Daerah (Musyda) Ke-3 Muhammadiyah dan Aisyiyah Kabupaten Mojokerto.
Pada kesempatan itu, panitia menghadirkan narasumber Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr H Abdul Mu’ti MEd. Dia menyampaikan tema Indonesia tanpa Muhammadiyah dan NU.
Di awal tausiahnya, Abdul Mu’ti menceritakan ketika pulang ke kampung halamannya di Kudus, diundang sebagai narasumber pengajian di Masjid Menara Kudus. “Saya menghadiri undangan tersebut sekaligus menjadi pembicara dengan tema Keadaban Umat Peradaban. Di situ juga banyak tokoh tokoh Nahdliyin yang dalam pemaparannya membahas kerukunan umat beragama Islam,” ujar Abdul Mu’ti
Maka, sambungnya. Dalam konteks ini hal yang harus kita kuatkan ialah menanamkan sifat optimisme dan kerukunan, sehingga bisa menjadi satu kesatuan walaupun kita ada sedikit perbedaan pemikiran.
Dia mengungkapkan, dalam buku A World without Islam karya Graham E. Fuller, dijelaskan munculnya kekerasan terhadap Barat karena disebabkan beberapa segelintir Muslim, namun dampaknya ke semua umat Islam.
Kekerasan tersebut diklaim bahwa kitalah yang membuat masalah sehingga kita merasa salah dan takut. Padahal justru Muslim seperti inilah yang disebut dengan muslimphobia.
Empat Pilar Indonesia
Abdul Mu’ti juga menceritakan ketika itusan Megawati berkunjung ke kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah. “Dalam kunjungan tersebut, itusan Ibu Mega berharap agar Indonesia akan bisa tegak jaya kalau kita menanamkan empat pilar utama yang dapat bersinergi,” ceritanya.
Pertama, TNI. Di mana tugas mereka adalah menjaga dan mempertahankan keutuhan NKRI. Kedua, Polri. Tugas mereka mempertahankan keamanan. Ketiga, Muhammadiyah. Keempat, Nahdhatul Ulama
Abdul Mu’ti menyampaikan, sering kali kita dibenturkan pemahaman oleh oknum tertentu. Misal perbedaan awal Ramadhan, perbedaan perayaan Idul Fitri dan Idul Adha, perbedaan masjid Muhammadiyah dan NU, atau lainnya sehingga dari dikotomi tersebut masyarakat salah penafsiran yang kemudian berakibat gaduh dan rame.
Sehingga dari hal ini, umat ribut yang menjadikan perpecahan dan melemahnya Islam di Indonesia hanya sebab karena perbedaan pendapat. Padahal perbedaan paham seperti ini sudah ada zaman Nabi Muhammad SAW, dan ini merupakan sunnatullah dalam ajaran agama kita.
“Oleh karena itu, dalam menyikapi ikhtilaf atau perbedaan pendapat seperti ini, masyarakat harus cerdas dalam menyikapinya. Salah satunya informasi tersebut harus kita telaah. Mulai dari digoreng, digesek, dan digosok,” tuturnya.
Digoreng, harus di cari dulu sumber informasinya dari mana. Sehingga dari kematangan informasi tersebut kita bisa mengetahui berita tersebut benar atau hoax.
Digesek, ketika ada berita yang belum jelas sumbernya jangan langsung share. Digosok, jika berita tersebut benar dan fakta. Maka mari menggosok pikiran kita dengan kedewasaan dan kerukunan.
Muhammadiyah dan NU kita ibaratkan akar, dan Indonesia kita ibaratkan tumbuhannya. Maka kalau tidak ada kedua organisasi ini, mungkin negara sulit akan berkembang.
Oleh karena itu, marilah kita jaga ukhuwah islamiyah ini dengan saling menghargai pendapat atau kepercayaan, saling bertoleransi, dan tanamkan rasa kesamaan dan kebersamaan. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni