Keriuhan Musyda Muhammadiyah Gresik dan Demokrasi Berkeadaban; Oleh Abdullah Sidiq Notonegoro, aktivis Muhammadiyah Gresik
PWMU.CO – Musyawarah Daerah (Muyda) Ke-11 Muhammadiyah Kabupaten Gresik—yang berlangsung pada 12 Februari dan 19 Februari ini— sedikit menghangat. Penyebabnya adalah panitia pemilihan (panlih) tidak kunjung mengumumkan siapa-siapa yang masuk dalam daftar calon tetap PDM Gresik.
Sebaliknya, musyawirin (anggota Musyda) sudah hilang kesabarannya untuk segera tahu siapa calon tetap untuk dipilihnya di hari pemungutan suara pada Ahad, 19 Februari 2023. Hal tersebut kemudian berkembang menjadi kasak-kusuk di kalangan musyawirin yang mayoritas dari utusan cabang dan ranting Muhammadiyah se-Kabupaten Gresik.
Belum segera diumumkannya calon tetap tersebut tidak membuat legowo sebagian pihak untuk sabar menanti. Di WhatApp gropu (WAG) pun bertaburan komentar dari yang sekadar mempertanyakan kinerja panitia hingga yang bernada provokasi untuk menggiring pada sikap ketidakpercayaan terhadap panitia.
Pendek kata, suasana WAG yang biasanya dinamis—yang terkadang bahkan menjadi bahasan ngalor-ngidultentang persoalan keumatan dan kebangsaan—dalam beberapa hari ini cukup ramai membincang atau bahkan provokatif terkait dengan Musyda.
Terlebih lagi, ada beberapa PDM yang lebih awal mengumumkan calon tetapnya lebih awal beberapa hari sebelum Musyda digelar. Misalnya, PDM Lumajang, PDM Probolinggo, dan sebagainya sebagaimana yang diberitakan dalam situs PWMU.CO ini. Hal tersebut serasa menjadi amunisi tajam untuk membidik panlih PDM Gresik.
“Selama berkecimpung di Muhammadiyah, rasanya baru kali ini perihal pengumuman calon tetap anggota PDM menjadi bahasan serius.”
Tragisnya lagi, di kala panlih tidak kunjung mengumumkan daftar calon tetap, data justru bocor ke media luar dan menyebar di WAG-WAG. Yang memberikan simpulan bahwa sebenarnya data calon tetap sudah ada, dan sehingga menimbulkan pertanyaan “mengapa tidak segera diumumkan?”
Era kebebasan dan keterbukaan informasi secara nyata membangun kesadaran berbagai pihak untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Namun demikian, tidak jarang semangat tersebut kemudian menjadi kebablasan yang berlebihan, sehingga cenderung mengesampingkan pihak yang memiliki otoritas untuk menyampaikan atau panlih.
Selama berkecimpung di Muhammadiyah, rasanya baru kali ini perihal pengumuman calon tetap anggota PDM menjadi bahasan serius. Apakah hal ini menjadi penanda bahwa kesadaran bermuhammadiyah warga Persyarikatan semakin meningkat? Apakah penanda kesadaran bahwa memilih pemimpin itu tidak seperti “memilih kucing dalam karung”? Apakah penanda kesadaran bahwa keterbukaan informasi itu menjadi hal yang penting—termasuk harapan untuk segera dibukanya informasi daftar calon tetap PDM>
Atau sebaliknya, ada pengaruh-pengaruh pihak luar yang ingin menaruh kepentingan di Persyarikatan Muhammadiyah Gresik untuk periode berikutnya. Tidak dipungkiri bahwa Muhammadiyah di Gresik ini bukanlah organisasi level recehan. Jumlah warga Muhammadiyah, kualitas sumber daya insani Muhammadiyah, dan amal usaha Muhammadiyah (AUM) di Gresik merupakan aset yang berharga mahal.
Pihak luar tersebut bisa merupakan kelompok politik tertentu, atau kelompok keagamaan tertentu yang selama ini secara laten menjadi ancaman bagi eksistensi Muhammadiyah sebagai organisasi sosial keagamaan dan kemasyarakatan.
Di Balik Kelambatan Pengumuman
Saya hanya menduga (atau merasakan yach?) ada syak-wasangka atau suudzan di masing-masing pihak, baik yang dipertanyakan maupun yang mempertanyakan. Syak-wasangka ini menjadi hal yang lumrah ketika masih terdapat kebuntuan komunikasi. Namun cukuplah hal tersebut menjadi dinamika menjelang Musyda, yang setelahnya akan kembali normal dan bisa kembali berha-ha-hi-hi.
Karena saya bukan menjadi bagian dari panlih, maka cukup sekadar menduga bahwa tidak segeranya diumumkan daftar calon tetap oleh panlih merupakan bagian dari suudzon panlih bahwa musyawirin akan melakukan akrobat-akrobat yang jauh dari etika musyawarah di Muhammadiyah.
“Marilah kita bersama-sama menjaga ‘demokrasi berkeadaban’ di persyarikatan, menjauh dari cara-cara demokrasi partai politik yang memang sarat dengan kepentingan praktis dan pragmatis, yaitu kekuasaan.”
Fenomena Muktamar dan Musywil yang—diakui atau tidak—menjadi rasan-rasan di tingkat daerah menciptakan traumatik tersendiri bagi sebagian pihak. Sampai muncul stigma “musyawarahnya Muhammadiyah kok seperti musyawarahnya partai politik”.
Sebaliknya, musyawirin pun ber-suudzon kepada panlih maupun PDM setelah gampang termakan rumor bahwa PDM/panlih memiliki kepentingan pragmatis untuk menjadikan calon-calon tertentu sesuai dengan keinginan PDM yang sekarang. Padahal bisa jadi rumor tersebut tak lebih dari bahan guyonan karena panlih tidak segera mengumumkannya. Sedangkan umumnya warga Muhammadiyah itu dikenal ‘miskin’ humornya.
Semoga dugaan saya tentang suudzon tersebut tidak benar, dan secara pribadi pun saya yakin bahwa semua itu memang tidak benar.
Demokrasi Berkeadaban
Musyda Muhammadiyah bukan sekadar perhelatan untuk memilih pemimpin, namun juga forum musyawarah untuk mengevaluasi ketercapaian program dalam satu periode lalu dan sekaligus merancang program satu periode berikutnya disesuaikan dengan tantangan yang hendak dihadapinya.
Karena itu, Musyda ini tidak boleh meninggalkan riak ketidakpercayaan warga Muhammadiyah. Maka semangat shiddiq, amanah, tabligh, dan fathanah harus menjadi roh bagi warga dan pimpinan Muhammadiyah. Memilih pemimpin Persyarikatan tidak cukup hanya bersandar pada nilai-nilai demokrasi yang menegaskan bahwa setiap yang dicalonkan memiliki hak yang sama. Lebih dari itu, juga perlu ditanamkan semangat “demokrasi berkeadaban” agar terpilih pengemban amanah yang berdasar kepercayaan warga atau anggota Muhammadiyah.
Kita harus yakin dan percaya bahwa calon tetap merupakan calon-calon yang telah mendapatkan mandat warga. Mengapa demikian? Karena sekian nama tersebut muncul dari usulan-usulan Pimpinan CabangMuhammadiyah. Tidak ada satu pun individu yang mengajukan dirinya kepada panlih untuk dicatat sebagai calon. Semua calon merupakan hasil rekomendasi yang sudah diatur dalam AD/ART Muhammadiyah.
Marilah kita bersama-sama menjaga “demokrasi berkeadaban” di persyarikatan menjauh dari cara-cara demokrasi partai politik yang memang sarat dengan kepentingan praktis dan pragmatis, yaitu kekuasaan. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni