Berita yang Baik Bisa Menghadirkan Pembaca dalam Peristiwa; Liputan Mulyanto dan Kiki Baihaqi, peserta pelatihan.
PWMU.CO – Menulis jangan asyik dengan dirinya sendiri. Hal itu disampaikan Pemimpin Redaksi PWMU.CO Mohammad Nurfatoni dalam Pelatihan Menulis Berita dan Opini untuk Guru dan Karyawan SD Muhammadiyah 4 (Mudipat) Pucang Surabaya, Jumat (24/02/23).
Acara yang diselenggarakan Majalah Arba’a SD Mudipat Surabaya bertema Hidup Bermakna dan Bahagia dengan Berkarya itu diikuti 40 guru dan karyawan SD Mudipat dan 9 peserta tamu dari sekolah lain.
Pelatihan digelar di Laboratorium Komputer Gedung Ahmad Dahlan Education Center (ADEC) SD Mudipat. Selain Mohammad Nurfatoni ada jurnalis Antara Fiqih Arfani MMedKom yang menjadi narasumber penulisan opini. Acara dibuka oleh Kepala SD Mudipat Surabaya Edi Susanto.
Menurut Fatoni, sapaan akrabnya, menulis itu bukan egois untuk dirinya sendiri. Menulis itu berfokus pada pembaca. “Tulisan itu kita persembahkan untuk pembaca bukan untuk diri kita. Maka hadirkan pembaca dalam tulisan kita,” jelasnya. Artinya, kata dia, para pembaca seakan-akan hadir di dalam peristiwa yang kita tulis.
Dia mencontohkan majalah Tempo yang bagus dalam ‘menghadirkan’ pembaca di beritanya. Misalnya berita tentang kriminalitas, kasus pembunuhan misalnya.
Pembaca seolah hadir saat peristiwa terjadi. Seakan melihat langsung peristiwanya. “Padahal tulisan itu hanya hasil dari wawancara. Wartawannya saja tidak hadir dalam peristiwa itu,” terang pria asli Lamongan itu. Wartawan tersebut, lanjutnya, hanya mendapat sumber berita dari polisi, orang terdekat, dan sumber relevan lainnya seperti olah TKP, kemudian dituliskannya.
Bahan-bahan dari narasumber itulah yang kemudian ditulis dengan gaya bahasa bercerita sehingga seolah-olah wartawan berada di tempat kejadian perkara (TKP) saat peristiwa tersebut terjadi. “Dan pembaca pun akhirnya terbawa seperti melihat sendiri peristiwanya,” kata dia.
Berita seperti Cerita
Fatoni mengatakan, menulis berita itu, memang, seperti bercerita. Ada peristiwanya (apa, what), ada pelakunya (siapa, who), ada tempat kejadiannya (di mana, where), dan ada waktunya (kapan, when).
“Bedanya kalau cerita dituturkan dengan lisan, tapi berita dengan tulisan,” katanya.
Namun demikian, berita seperti ini belum cukup. “Berita yang hanya memuat 4W itu saya sebut dengan berita pamflet, berita pengumuman.” Itu, lanjutnya, seperti keterangan foto (caption).
Karena itu berita yang bisa menghadirkan pembaca harus digali lebih jauh dengan mengapa (why) dan bagaimana (how). “Mengapa peristiwa itu terjadi dan bagaimana kronologi kejadiannya,” katanya.
Jadi, lanjutnya, berita itu sebenarnya hanya berisi dua hal. Pertama, deskripsi ruang, waktu, dan tokoh. Lalu dikonfirmasi dengan narasumber. “Kemudian ditulis seperti bercerita,” katanya.
Direktur Kanzun Book itu menekankan, untuk bisa menulis yang baik maka wartawan harus jadi pembaca yang baik. Bukan saja membaca buku tetapi juga membaca peristiwa di sekitarnya.
“Sebab, wartawan itu harus menguasa banyak hal meskipun tidak harus mendalam,” kata dia. Wawasan yang luas itulah yang akan membantunya menulis berita dengan baik.
Tidak hanya membaca, wartawan juga harus mengasah insting, agar bisa mendapatkan momentum sehingga bisa mendapatkan informasi lebih awal. Hal itu menurutnya penting untuk mendapatkan berita eksklusif.
Di bagian lain Fatoni menyampaikan bagaimana menulis berita yang menarik dan viral. (*)