IPM Berkomitmen Dorong Kepemimpinan Adil Gender

Ketua Umum PP IPM Nashir Effendi (kiri) bersama Ketua The Aisyiyah Center Unisa Dr Asykuri saat menyampaikan materi Perempuan dan Leadership Gen Z dalam acara Fricas (Nely Izzatul/PWMU.CO)
Ketua Umum PP IPM Nashir Effendi (kiri) bersama Ketua The Aisyiyah Center Unisa Dr Asykuri saat menyampaikan materi Perempuan dan Leadership Gen Z dalam acara Fricas (Nely Izzatul/PWMU.CO)

IPM Berkomitmen Dorong Kepemimpinan Adil Gender. Liputan Kontributor PWMU.CO, Nely Izzatul

PWMU.CO – Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) Nashir Effendi mengatakan, PP IPM berkomitmen mendorong perempuan untuk menjadi pemimpin dan tokoh publik.

Hal itu dia sampaikan dalam kegiatan Friday Colloquium on Aisyiyah Studies (Fricas) yang digelar The Aisyiyah Center Unisa Yogyakarta secara daring via Zoom dan luring di Gedung Siti Munjiyah, Jumat (24/2/2023).

Dalam kegiatan dua pekanan yang mengangkat tema Perempuan dan Leadership Gen Z tersebut, Nashir mengatakan, Gen Z memiliki karakter lebih individual dari generasi sebelumnya dan lebih banyak mengikuti fatwa sosok personal dari pada fatwa organisasi.

“Gen Z ini lebih banyak mengikuti fatwa salah satu ustadz, lebih percaya pada influencer, lebih banyak juga tertarik pada bidang kerelawanan, dari pada diajak untuk berpikir,” katanya.

Sementara itu, menurutnya, sisi positif Gen Z suka bekerja sama, mudah beradaptasi, senang menerima tantangan, dan bersemangat meraih pencapaian.

“Bagi Gen Z, profesi adalah untuk mengumpulkan beberapa pekerjaan yang setara, dan mereka kebanyakan mempunyai beberapa posisi secara bersamaan,” ucap Nashir.

Dia memberikan contoh, beberapa personalia PP IPM yang meskipun aktivis organisasi, namun juga memiliki beberapa pekerjaan dan aktif di berbagai LSM atau komunitas.

Perempuan dan Gaya Kepemimpinan Gen Z

Terkait dengan kepemimpinan perempuan, Nashir menyoroti, bahwa berdasarkan penelitian, mayoritas perempuan tidak mencapai puncak posisi dalam profesinya di manapun berada.

“Dari 190 kepala negara, hanya ada 9 sosok perempuan, dan semua parlemen di dunia ini yang diisi perempuan hanya 13 persen. Sementara di sektor swasta paling tinggi 16 persen, dan nirlaba hanya 20 persen,” jelasnya.

Alumnus SMA Muhammadiyah 1 (Smamsatu) Gresik ini menuturkan, untuk bisa memimpin Generasi Z, ada lima cara yakni dengan behavior, relationship, attitude, values dan environment.

Behavior, yakni tidak membuat jarak dengan mereka para kaum muda, dan memberikan akses informasi seluas-luasnya,” ujar Nashir.

Sedangkan relationship berarti menjadi pendengar yang aktif dan memberikan feedback dengan cara yang baik dan tepat. Ketiga, attitude berarti memberikan kepercayaan untuk pekerjaan yang menantang.

“Keempat, values yakni menjadikan pekerjaan mereka memiliki value atau bernilai, dan kelima environment berarti menciptakan lingkungan kerja tanpa sekat birokrasi yang rumit,” katanya.

Ketua Umum PP IPM yang juga aktivis Maarif Institute ini menjelaskan, dalam memimpin sosok Gen Z, dibutuhkan gaya kepemimpinan yang adaptif, suportif, dan apresiatif.

“Gaya kepemimpinan adaptif yakni dapat menyesuaikan dengan situasi dan kondisi, luwes, tidak kaku, serta tidak mengenal senioritas dalam organisasi,” paparnya.

Sedangkan suportif, yakni gaya kepemimpinan yang memberikan kesempatan yang sama untuk mengembangkan diri, karena Gen Z menginginkan pemimpin yang dapat mengembangkan karir dalam organisasi dan bekerja lebih fleksibel.

“Sedangkan gaya kepemimpinan apresiatif yakni bisa memposisikan, bahwa kaum muda ini butuh penghargaan dan dihargai atas pencapaiannya,” ujar pria kelahiran Lamongan 9 November 1997 ini.

Menolak Perpecahan, Dukung Kepemimpinan Adil Gender

Dalam konteks IPM, Nashir menjelaskan, sebagai organisasi heterogen yang memiliki kader laki-laki dan perempuan, menurutnya, IPM memiliki partisipasi yang tinggi dan memberikan kesempatan yang luas bagi kader perempuan untuk menjadi pemimpin.

“Dari 34 Pimpinan Wilayah (PW) IPM, ada 6 Wilayah yang ketuanya adalah perempuan. Yakni dari Riau, Kepulauan Riau (Kepri), Jambi, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Papua,” ucapnya.

Dia mengaku, di balik maraknya organisasi kepemudaan yang memisahkan antara kader laki-laki dan perempuan, IPM menolak adanya perpecahan organisasi menjadi laki-laki sendiri dan perempuan sendiri.

“Menurut saya ini membuat ruang semakin sempit dan tidak berkembang. Karena IPM merupakan organisasi heterogen tapi partisipasi perempuannya tinggi,” tandasnya.

Dia mengatakan, PP IPM akan terus mendorong dan berkomitmen agar perempuan bisa menjadi pemimpin. Meskipun untuk saat ini, prosentase kepemimpinan perempuan di IPM masih hanya 18 persen, jauh dari indikator keberhasilan yang ditetapkan yakni minimal 40 persen.

Namun, menurutnya, partisipasi dan kesetaraan gender itu sudah lebih baik, hal ini dibuktikan dengan adanya 3 sosok perempuan dari 9 formatur PP IPM Periode 2021-2023. Kemudian di tataran Pimpinan Pusat juga diisi 20 ipmawati dan 39 Ipmawan.

“Dalam pengusulan calon formatur, kami juga telah memberikan kebijakan bahwa dari tiap wilayah harus ada perempuan. Namun dalam konteks politik, tentu ada faktor eksternal dan kompetitor,” katanya.

Dalam analisis Nashir, perempuan akan sangat berpeluang menjadi Ketua Umum di IPM ketika formatur mayoritas itu adalah perempuan.

“Setidaknya, dalam analisis saya, harus ada minimal 5 formatur di Muktamar itu adalah perempuan, sehingga bisa memunculkan sosok Ketua Umum perempuan,” pungkasnya. (*)

Editor Mohammad Nurfatoni

Exit mobile version