Anggota MPR RI: Indonesia Bisa Runtuh jika Tak Menghargai Perbedaan; Editor Mohammad Nurfatoni
PWMU.CO – Negeri ini mencatat sejarah, sebuah rezim yang berkuasa tiga dekade, akhirnya runtuh. Rezim Orde Baru take off dengan benar, tetapi landing dengan salah.
“Penyebab utamanya karena masyarakat dipaksa untuk bersatu tanpa memberi ruang tumbuhnya pengakuan terhadap perbedaan sebagaimana mestinya.”
Hal itu dikemukakan Anggota MPR-RI Fraksi Partai Amanat Nasional Prof Zainuddin Maliki dalam kegiatan Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan, di Gresik, Rabu (1/3/22).
Di depan tokoh-tokoh partai politik, alumnus Sekolah Pascasarjana Unair itu memaparkan, setidaknya di akhir pemerintahan, Orde Baru memilih strategi bersatu tanpa perbedaan (unity without diversity), dengan menjalin korporasi, mobilisasi, dan bahkan dengan sejumlah tindakan kekerasan.
“Akibatnya yang muncul kemudian adalah persatuan semu dan menyebarnya ketidakpuasan,” tegas Anggota Komisi X DPR RI asal dapil Jatim X Gresik dan Lamongan itu.
Sebenarnya, lanjutnya, rezim Orde Baru yang berkuasa selama tiga dekade itu memulai pemerintahannya dengan strategi yang benar, dengan berpegang pada prinsip-prinsip pluralisme dan pemerintahan yang demokratis. Perbedaan diakui. Aspirasi politik disalurkan dalam berbagai partai politik. Sehingga tahun 1971 tak kurang dari 10 partai tercatat sebagai peserta pemilu.
“Tetapi setelah terjadi penyederhanaan partai dengan cara melakukan fusi sejumlah partai, juga penunggalan azas, maka pluralisme pun menjadi terberangus. Perkembangan politik di negara ini kemudian menjadi monolitik,” ungkap Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Muhammadiyah Surabaya itu.
“Dari sinilah kemudian memicu penyebaran ketidak puasanmasyarakat yang berakhir dengan munculnya gerakan reformasi 1998. Rezim yang berkuasa tiga dekade itu pun terpaksa harus landing dengan cara yang salah,” tambahnya.
Oleh karena itu, Anggota Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini mengingatkan semua pihak untuk tidak mencoba berani memaksakan kebijakan monolitik, memaksa bersatu tanpa perbedaan. Negeri ini hanya akan kuat jika persatuan yang dibangun berbasis pengakuan terhadap berbagai perbedaan, suku, ras, bahasa maupun agama.
Agar tumbuh persatuan yang genuine (asli) dan kokoh maka kedewasaan masyarakat untuk bersatu di tengah perbedaan (unity in diversity) harus diperkuat.
“Persatuan yang genuine dan kokoh itulah yang bisa dijadikan modal berharga untuk meraih cita-cita nasional sebagaimana digariskan oleh para founding fathers kita yaitu menjadikan negara kesatuan Republik Indonesia yang kuat, adil, sejahtera dan berkemajuan,” kata Prof Zainuddin Maliki yang tahun 2024 nanti akan maju kembali menjadi calon legislatif dari Dapil Jatim X Gresik dan Lamongan. (*)