Lebaran Bakal Tak Bersamaan, Begini Liputan Matan; Penulis Miftahul Ilmi, Redaksi Majalah Matan
PWMU.CO – Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menetapkan Idul Fitri 1 Syawal 1444 Hijriah jatuh pada hari Jumat Pahing tanggal 21 April 2023. Kemungkinan besar Idul Fitri tahun ini dirayakan tidak secara bersamaan oleh umat Islam. Kalender umum menunjuk pada 22 April 2023.
“1 Syawal 1444 Hijriah atau Idul Fitri jatuh pada hari Jumat tanggal 21 April 2023,” kata Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Haedar Nashir dalam jumpa pers daring di kantornya, Yogyakarta, Senin (6/2/2023) bulan lalu.
Sementara 1 Ramadhan 1444 Hijriah menurut Muhammadiyah, akan jatuh pada hari Kamis Pon 23 Maret 2023, kemudian 10 Zulhijah 1444 Hijriah atau Idul Adha bertepatan dengan hari Rabu Kliwon 28 Juni 2023. Awal Ramadhan kemungkinan tidak ada perbedaan. “Ada kemungkinan tanggal 1 Syawal atau Idul Fitri dan Idul Adha di 10 Zulhijah, ada perbedaan. Karena perbedaan metode yang dipakai,” terang Haedar.
Munculkan Penghargaan dan Kearifan
Haedar mengimbau kepada seluruh masyarakat, khususnya warga Muhammadiyah, agar tetap saling menghargai dan menghormati jika perbedaan itu terjadi. Terlebih, jangan menganggapnya sebagai sumber perpecahan antarumat muslim. “Perbedaan itu jangan dianggap sebagai sesuatu yang baru, artinya kita sudah terbiasa dengan perbedaan, lalu timbul penghargaan dan kearifan,” ucapnya.
Guru Besar Sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) itu menjelaskan ada perbedaan metode yang dipakai karena ini merupakan ijtihad. Maka selalu yang menjadi komitmen Muhammadiyah adalah kita saling menghargai, menghormati, toleran atau tasamuh dengan perbedaan jika hal itu terjadi.
Dia mengatakan, potensi perbedaan penetapan hari-hari besar agama Islam akan selalu ada. Karena itu, masyarakat diminta menyikapinya seperti biasa. “Lebih-lebih kita punya pengalaman berbeda dalam hal 1 Ramadhan, 1 Syawal, 10 Dzulhijjah, sehingga perbedaan itu jangan dianggap sebagai sesuatu yang baru,” ucapnya.
Menurut Haedar perbedaan tersebut merupakan hasil dari ijtihad yang sudah menjadi watak umat Islam dalam hal-hal yang menyangkut perbedaan dalam praktik menjalankan agama. Maka, dia meminta hal tersebut jangan dianggap sebagai sumber perpecahan. “Sehingga perbedaan apa pun kalau itu terjadi justru semakin memperkokoh kita sebagai muslim secara pribadi atau umat Islam secara kolektif,” ujarnya.
Dia berharap umat Islam dapat menjalankan ibadah Ramadhan serta Lebaran dengan khidmat. “Jangan sampai soal hari lalu kita melupakan aspek hakiki dari ibadah itu. Maka pesan Muhammadiyah sambutlah Ramadhan, Idul Fitri, dan Dzulhijjah itu dengan spirit ibadah untuk semakin membuat diri muslim Indonesia itu muslim yang hubungannya dengan Tuhan semakin dekat melahirkan kesalihan itu hal yang sangat hakiki,” katanya.
“Lebih jauh lagi, inti dari semuanya adalah ibadah. Sehingga, memasuki bulan Ramadhan, 1 Syawal, 1 Zulhijah, 9 Zulhijah, dan 10 Zulhijah, jadikan semuanya itu proses ibadah yang membuat kita semuanya atau muslim itu semakin taqarrub kepada Allah, dekat kepada Allah, ihsan terhadap kemanusiaan, berbuat baik dalam kehidupan, dan menjadikan diri kita semakin lebih baik lagi,” ujarnya.
Posisi Geometris, Bukan Penampakan
Ketua PP Muhammadiyah Prof Syamsul Anwar menerangkan Muhammadiyah di dalam penetapan awal bulan Qomariah, termasuk Ramadhan, Syawal, dan Zulhijah ini tidak berlandaskan pada penampakan. Melainkan berdasarkan pada posisi geometris benda-benda langit, yakni matahari, bumi, dan bulan. “Jadi posisinya, bukan tampak dan tidaknya,” tegasnya.
Ketua yang membidangi Majelis Tarjih dan Tajdid ini menerangkan, ijtimak sebagai bulan telah mengelilingi bumi dengan satu putaran sinodis, yang mana satu putaran sinodis bulan Ramadhan, tercapai pada tanggal 22 Maret 2023 pukul 00.25.41 WIB.
“Jadi syarat pertama sudah terpenuhi. Tercapainya satu putaran sinodis, itu terjadi sebelum matahari tenggelam. Jadi karena terjadinya itu pada pukul waktu tersebut, maka hari tenggelam besok sore, jadi jauh sekali. Jadi syarat kedua sudah terpenuhi,” imbuh Anwar.
Untuk syarat ketiga, menurut Anwar ketika matahari terbenam keesokan harinya, bulan masih di atas ufuk belum tenggelam. Artinya, matahari lebih dulu tenggelam, sebelum bulan. Syarat ini dipenuhi pada hari Rabu Pahing, 22 Maret 2023.
“Oleh karena itu, 1 Ramadhan jatuh pada 23 Maret 2023. Jadi tidak soal terlihat dan tidak terlihatnya, yang penting posisi geometris itu telah terpenuhi. Itulah metode penetapannya yang disebut dengan istilah Hisab Hakiki dengan kriteria Wujudul Hilal. Untuk Ramadhan besok, menurut perhitungan di atas kertas itu Insyaallah sama di seluruh Indonesia,” katanya.
Kondusivitas dan Tepo Sliro
Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur Dr Syamsudin menyampaikan, perbedaan waktu Idul Fitri, Idul Adha, maupun Ramadhan antara Muhammadiyah dengan pemerintah tidak bisa dihindari. Itu sudah menjadi siklus di Indonesia, lantaran Persyarikatan dan pemerintah menggunakan kriteria yang berbeda dalam penentuan awal bulan. Di Muhammadiyah menggunakan kriteria wujudul hilal. Setinggi apapun, kalau hilal sudah wujud, maka dianggap jatuh satu tanggal.
“1 Syawal (wujudul hilal) ini nanti ketinggian hilalnya sekitar 1 derajat lebih sedikit. Satu hari itu kan selisih delapan derajat. Sehingga, kalau lebih dari satu derajat itu dianggap belum jatuh tanggal satu, maka besoknya sudah sangat tinggi, 9 derajat lebih. Maka, Muhammadiyah tidak menentukan seberapa tinggi derajatnya. Asalkan sudah hilal, berarti sudah jatuh tanggal 1,” terang Syamsuddin.
Sementara itu, kriteria yang dipakai pemerintah adalah imkanur rukyah (yang memungkinkan untuk dirukyah). Metode yang digunakan sebenarnya sama dengan wujudul hilal, menggunakan hisab. Hanya saja tinggi derajatnya berbeda. Saat ini, MABIMS (Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) mematok syarat untuk imkanur rukyah pada posisi hilal 3 derajat dengan sudut elongasi 6,4 derajat.
“Berapakah angka atau ketinggian di atas kertas itu disebut sebagai imkanur rukyah? Kalau dulu dipatok 2 derajat, sekarang 3 derajat. Konsekuensinya, kalau ada perbedaan tanggal 1 Syawal maupun Ramadhan antara Muhammadiyah dan Pemerintah, maka Muhammadiyah pasti akan lebih dulu,” terang dia.
“Padahal 3 derajat itu juga sulit untuk dirukyah. Seperti yang ditetapkan di Istanbul Turki, itu kalau memang benar-benar imkanur rukyah, yang memungkinkan untuk dilihat ya 7 derajat. Artinya sebenarnya angka 2 atau 3 derajat dengan wujudul hilal itu sama-sama ghairu mumkinin lirrukyah (tidak memungkinkan untuk dilihat),” tambahnya.
Syamsudin berharap, masyarakat bisa menyikapi perbedaan ini dengan bijaksana. Anggap saja sebagai bagian dari kekayaan khazanah fikih Islam. Setiap kelompok tidak perlu memaksakan pendapatnya kepada kelompok lain. Dalam ranah fikih, ini adalah masalah ijtihadiah. Tidak bisa satu ijtihad ulama dibatalkan oleh ijtihad ulamalainnya.
“Contoh, kalau ada satu qunut dan satu tidak, itu harus saling menghormati. Sama saja dengan masalah perbedaan penentuan tanggal ini. Tidak ada hak dari kelompok yang satu melarang kegiatan kelompok yang lainnya. Harus saling menghargai. Dalam hal ini, saya berharap negara hadir bukan untuk mencampuri urusan internal umat beragama, tetapi menjamin keamanan umat untuk melaksanakan ajaran agamanya,” ujar pengajar UINSA Surabaya ini.
“Cuma yang saya kira juga penting, kita harus menjaga kondusivitas. Karena tingkat pengetahuan masyarakat, kan beragam. Maka harus tepo sliro dengan yang lainnya. Misalnya nanti Muhammadiyah Hari Raya duluan, tidak usah kemudian terlalu demonstratif. Dalam artian, malam-malam takbirannya dikeraskan dan yang lain sebagainya. Kalau bisa tidak usah begitu. Dan itu sama sekali tidak menyalahi sunnah,” sambungnya.
Bagaimana agar perbedaan ini tidak terjadi terus-menerus? Baca selengkapnya di majalah Matan Edisi Maret 2023. Info pemesanan: 08813109662 (*)
Lebaran Bakal Tak Bersamaan, Begini Liputan Matan; Editor Mohammad Nurfatoni