PWMU.CO– Putusan tunda Pemilu yang dikeluarkan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat bercorak ultra vires dan potensial menciptakan kekacauan ketatanegaraan.
Hal itu disampaikan pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia, Dr Fahri Bachmid SH MH, Sabtu (4/3/2023).
Pernyataannya itu merespon putusan majelis hakim PN Jakpus yang menghukum KPU (Komisi Pemilihan Umum) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilu dari awal selama lebih kurang 2 (dua ) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari. Artinya Pemilu tidak dapat dilaksanakan pada tahun 2024,
Menurut Fahri Bachmid, putusan yang berawal dari gugatan Partai Prima dengan nomor register 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst itu bercorak ultra vires dan potensial menciptakan kekacauan ketatanegaraan.
”Putusan ultra vires atau dengan kata lain beyond the power sehingga konsekuensi yuridisnya bersifat null and void atau bersifat van rechtswege nietig, sehingga tidak dapat di eksekusi,” ujar Fahri Bachmid.
Pelanggaran dan Sengketa
Dijelaskan, penting untuk melindungi kerangka hukum Pemilu. Berdasarkan bangunan hukum penyelesaian sengketa Pemilu sesuai UU No. 7/2017 telah mengatur dan membagi frame penegakan hukum menjadi dua) jenis yaitu pelanggaran dan sengketa.
Dijelaskan Fahri, pelanggaran di dalam UU Pemilu terbagi menjadi tiga jenis yaitu Pelanggaran Administratif, Pelanggaran Kode Etik dan Pelanggaran Pidana. Sedangkan untuk sengketa terbagi menjadi dua yaitu Sengketa Proses dan Sengketa Hasil.
“Secara teknis sesungguhnya UU Pemilu telah mengkonstruksikan saluran hukum penyelesaian jika terdapat permasalahan berupa dispute baik pelanggaran maupun sengketa,” katanya.
Fahri Bachmid menambahkan, secara spesifik UU Pemilu memberikan otoritas yang berbeda-beda sesuai dengan kompetensinya dalam penyelenggaraan pemilihan umum kepada Bawaslu, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Pengadilan Negeri (PN), Mahkamah Agung (MA) dan Mahkmah Konstitusi (MK) serta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu merupakan kewenangan dari Bawaslu dan PTUN sebagaimana diatur dalam ketentuan norma Pasal 467 ayat (1) yang mengatur (1) Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota menerima permohonan penyelesaian sengketa proses Pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota.
Selanjutnya ketentuan Pasal 470 ayat (1) UU Pemilu mengatur
(l) Sengketa proses Pemilu melalui pengadilan tata usaha negara meliputi sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara Pemilu antara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, atau partai politik calon Peserta Pemilu, atau bakal pasangan calon dengan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, keputusan KPU Provinsi, dan keputusan KPU kabupaten/Kota.
Ketentuan ayat (2) mengatur : Sengketa proses Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan sengketa yang timbul antara KPU dan Partai Politik calon Peserta Pemilu yang tidak lolos verifikasi sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173.
Di Luar Kewenangan
”Dengan demikian, karakter dari perkara yang diputus oleh PN Jakpus ini sesungguhnya adalah masuk pada ranah perkara sengketa, merupakan yurisdiksi atau kompetensi absolut dari PTUN, bukan PN Jakpus, sehingga hemat saya, putusan ini dapat dikualifikasi sebagai never existed oleh karena hakim mengokupasi kewenangan kekuasaan lembaga peradilan lain,” tambahnya.
Fahri Bachmid menilai, putusan pengadilan ini jika diterapkan, maka konsekuensinya sangat serius, yaitu potensial menciptakan kekacauan ketatanegaraan, yang mana kekuasaan pemerintahan, baik presiden maupun lembaga-lembaga negara lainya seperti DPR, DPD, MPR, akan kehilangan legitimasinya, sebab Pemilu tidak dapat diselenggarakan sesuai agenda konstitusional. Misalnya, presiden RI akan berahir masa jabatannya pada 20 oktober 2024, dan tidak ada pelantikan presiden yang baru berdasarkan mandat rakyat melalui suatu pemilihan umum yang legitimate.
”Sebab UUD 1945 tidak memberikan jalan keluar jika Pemilu tidak dapat dilaksanakan tepat waktu, atau tidak ada presiden yang terpilih sesuai agenda Pemilu yang telah ditetapkan, ini akan menjadi suatu keadaan kebuntuan konstitusional, ini sangat riskan, dan taruhannya terlalu mahal, itu salah satu impact yang cukup serius jika mengikuti nalar dari putusan ini,” paparnya.
Fahri berpendapat, idealnya putusan perbuatan melawan hukum (PMH) dalam sengketa perdata oleh pengadilan negeri tidak boleh berdimensi terhadap siklus serta agenda ketatanegaraan, sebab sifat dari putusan perdata hanyalah mengikat para pihak dalam rezim sengketa dengan karakter contentiosa. Artinya, menurut Fahri Bachmid, putusan PMH itu tidak bersifat ergo omnes yang mengikat pada lembaga-lembaga negara sebagai organ konstitusional yang umumnya melaksanakan kewenangan publik.
”Apalagi berkaitan dengan pelaksanaan agenda ketatanegaraan terkait sirkulasi kepemimpinan nasional yang berlandaskan pada hukum publik,” tandas Fahri Bachmid.
Editor Sugeng Purwanto