Pimpinan Muhammadiyah Tak Boleh Elitis; Oleh Dr Aji Damanuri MEI, dosen FEBI IAIN Ponorogo, Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Tulungagung.
PWMU.CO – Kita tidak bisa membayangkan sebuah organisasi tanpa anggota. Sehebat apapun pimpinan organisasi kalau tidak ada anggotanya akan tampak lucu. Berapa jumlah anggota Muhammadiyah memang tidak bisa dijawab secara pasti. Namun beberapa peristiwa pascareformasi tampak mengakibatkan berkurangnya kuantitas warga Muhammadiyah.
Pertarungan politik praktis telah menyeret banyak kader muda migrasi ke partai politik. Mereka lebih nyaman berjuang di partai yang dianggap lebih islami.
Masih terasa imbas pertarungan politik praktis di tubuh Muhammadiyah, berikutnya serangan ideologi salafi, tarbiyah, wahabi, menghunjam dengan masif yang juga membuat hengkangnya para kader dari rengkuhan Muhammadiyah.
Salah satu penyebabnya adalah longgarnya ikatan jamaah Muhammadiyah. Longgar secara ideologis dan teknis. Secara ideologis, saking moderatnya Muhammadiyah sehingga banyak tamu ideologi singgah dan pulang mengajak tuan rumah.
Secara teknis intensitas pertemuan juga longgar. Misalnya, jamaah shalat maktubah di masjid kurang maksimal, takziah sering dicukupkan dengan hanya ucapan belasungkawa via media sosial. Jarangnya pertemuan-pertemuan informal sekadar ngopi bareng, agak pudarnya tradisi menjenguk jamaah yang sakit.
Rasulullah adalah contoh nyata perhatian terhadap jamaah, bahkan satu jamaah saja tidak berjamaah di masjid beliau tahu dan menjenguknya. Itulah kenapa selesai menjadi imam shalat Rasulullah selalu menghadap ke jamaah, selain memberi tausiah juga melihat kondisi dan eksistensi jamaah.
Kemampuan berdiri bersama jamaah juga haruslah diiringi dengan durasi dan frekuensi yang stabil.
Pendekatan formalis birokratis hanya menciptakan jarak antara pimpinan dan jamaah. Perlu pendekatan humanis, friendly, dan kekeluargaan agar jamaah merasa nyaman.
Pimpinan Muhammadiyah tidak boleh bersikap elitis dan merasa dibutuhkan. Hanya hadir pada acara-acara seremonial formal seperti pejabat publik, tapi nihil kehadiran di tengah-tengah umat, jarang nongol di masjid kecuali ada acara, membaur hanya sesama elite.
Ujung tombak gerakan Muhammadiyah adalah ranting karena di sanalah warga berada. Di sanalah ideologi dilaksanakan, keputusan tarjih diimplementasikan, ciri kemuhammadiyahan ditonjolkan sebagai pembeda bagi kelompok lain. Di rantinglah sumber kerumunan yang mendatangi kajian dan pengajian Muhammadiyah sehingga membanggakan. Bahkan gegap gempitanya muktamar karena dibanjiri jamaah ranting yang rela iuran agar bisa ikut menyemarakkan setiap agenda persyarikatan.
Karenanya gerakan dakwah ranting harus menjadi perhatian lebih. Perkembangan AUM dan internasionalisasi memang penting, namun penguatan ranting juga sangat penting.
Karenanya transformasi kepemimpinan baik muktamar, musywil, musyda, muscab, musran pada intinya bukan sekadar mengganti pimpinan, namun revitalisasi ideologi, penguatan niat, mengokohkan gerakan, memperbaharui strategi, dan mengokohkan cita-cita Muhammadiyah membangun peradaban utama.
Ujung Tombak Muhammadiyah
Sayangnya masih banyak ranting yang kurang perhatian. Seperti anak ayam kehilangan induknya. Krisis keteladanan dan kurang perhatian. Sehingga jamaah gampang goyah ideologinya, kemudian mendua dan berakhir menjadi tetangga.
Meski tidak semua, tapi beberapa jamaah ranting merasa sendiri dalam menangani problem hidupnya khususnya yang berada di pedesaan. Para petani berjuang sendiri menghadapi kejamnya harga pupuk, warga yang sakit berkompetisi sendiri memperebutkan BPJS di tengah gempuran penyakit yang mendera.
Para pemuda kebingungan sendiri mencari kerja di tengah gempuran bisnis digital. Warga juga seperti masuk dalam hutan belantara dalam memahami agama di tengah serangan paham-paham keislaman yang menjamur di media sosial. Sementara para dai Muhammadiyah hanya sibuk mempertahankan argumen dan mengancam jika tidak mau dibina ya dibinasakan saja. Sungguh ancaman yang kejam.
Saya membayangkan hadirnya ruang-ruang interaksi warga yang cair, penuh canda tawa, keakraban, dan tanpa sekat status. Jaringan petani Muhammadiyah bisa ngopi bareng ngobrolin ketahanan pangan di teras-teras surau, jaringan saudagar Muhammadiyah kongkaw-kongkaw di kafe-kafe milenial membersamai adik-adik calon pengusaha muda Muslim, kiai ustadz yang rela menyediakan waktu bukan saja duduk memberi kajian yang mencerahkan namun juga menerima keluh kesah jamaah.
Para dokter dan perawat rumah sakit Muhammadiyah yang secara berkala dan terencana keliling ke ranting-ranting mengunjungi warga yang sakit, lansia atau sekedar memberi pencerahan tentang kesehatan, para pendidik yang mampu mengajar masyarakat dalam komunitas sosial bukan hanya gagah di depan kelas.
Jangan sampai persyarikatan yang awal kehadirannya menjadi problem solver malah menjadi bagian dari problem. Peta jalan dakwah ranting perlu lebih ditata, bukan saja ranting khusus namun juga semua ranting, karena ujung tombak dakwah Muhammadiyah adalah jamaah ranting. Bahkan semua pengurus semestinya juga bagian dari jamaah ranting tertentu. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni