Indonesia Tidak Bisa Lepas dari Muhammadiyah. Liputan Nely Izzatul, Kontributor PWMU.CO Yogyakarta
PWMU.CO – Indonesia tIdak bisa lepas dari Muhammadiyah, sebaliknya Muhammadiyah juga tidak bisa lepas dari Indonesia.
Hal itu ditegaskan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof Dr Haedar MSi, dalam Resepsi Milad 100 Tahun RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta dan Milad Ke-14 RS PKU Muhammadiyah Gamping, Selasa (14/3/2023)
Haedar mengatakan, seratus tahun bagi Muhammadiyah dengan lahirnya RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta, merupakan tonggak sekaligus merupakan wujud pengkhidmatan Muhammadiyah bagi kemajuan dan usaha untuk memajukan bangsa.
“Orang sekarang mungkin bisa menyimpulkan bahwa kehadiran amal usaha Muhammadiyah (AUM) termasuk di bidang kesehatan adalah hal yang lumrah dan biasa. Tetapi pada era kelahirannya, itu adalah hal yang luar biasa,” katanya.
Haedar menceritakan, pada saat PKU berdiri di tahun 1923 itu, Indonesia dalam kondisi terjajah. Rakyat secara politik terbelenggu, umat Islam juga pemahaman keagamaannya belum berkemajuan.
“Al Maun dibaca berulang, tetapi tidak menimbulkan etos untuk memberdayakan kaum miskin dan yatim. Akibat dari penjajahan itu, masyarakat Indonesia menjadi miskin, tidak terdidik, dan sakit-sakitan. Tiga dimensi ini saling berkelindan. Lemah secara kesehatan, lemah secara pendidikan, dan politik,” ucapnya.
Menurut Haedar, kondisi kebangsaan kita saat itu nyaris tidak punya harapan. Lalu lahir gerakan kebangkitan, termasuk gerakan-gerakan keagamaan untuk nasionalisme. Maka, menurutnya, lahirnya Muhammadiyah jangan hanya dibaca sebagai harakah Islam biasa, tetapi Muhammadiyah juga sebagai gerakan kebangsaan atau harakah al-Wathaniyah.
“Buktinya kita bangun PKU, Rumah Sakit pertama yang lahir dari kaum pribumi. Kaum pribumi itu ya Indonesia, ya Nusantara, yang kondisinya tidak bisa bangkit, jika tidak lahir dari dirinya sendiri,” tandas Haedar.
Muhammadiyah Aktif dalam Perjuangan Kemerdekaan
Selain mendirikan PKU, kata Haedar, Muhammadiyah juga membangun lembaga pendidikan dalam rangka membangun kesadaran nasional untuk merdeka.
Lalu melahirkan Aisyiyah, sebagai tonggak pertama gerakan perempuan di Indonesia, termasuk mendirikan Hizbul Wathan sebagai gerakan kepanduan tanah air, yang dari situ lahir sosok Jenderal Sudiman dan tokoh lainnya.
“Rangkaian sejarah ini menunjukkan, bahwa Muhammadiyah aktif dalam perjuangan kemerdekaan. Muhammadiyah itu gerakan kebangsaan, gerakan kebangkitan nasional, dan gerakan untuk Indonesia merdeka,” kata Haedar.
Maka, menurutnya, para tokoh bangsa yang paham sejarah itu, kemudian menyimpulkan bahwa Muhammadiyah dan gerakan yang lain adalah bagian dari pendiri republik ini.
“Kalau menjadi bagian dari pendiri republik ini, maka Indonesia itu tidak lepas dari Muhammadiyah dan Muhammadiyah pun tidak bisa lepas dari Indonesia,” ucap Haedar disambut tepuk tangan hadirin.
Guru Besar Sosiologi UMY ini pun mengatakan, kalau ada pemerintahan dari pusat sampai daerah membantu Muhammadiyah, maka insya Allah, ada dua hal nilai yang diperoleh.
“Pertama, yaitu kembali kepada jati diri kebangsaan, yakni kita ini hadir dalam satu kesatuan. Jika pemerintah membantu Muhammadiyah, maka itu sama dengan membantu Indonesia. Sebaliknya, ketika Muhammadiyah juga membantu bidang-bidang yang itu sebenarnya tugas dan kewajiban negara, maka kita tidak pernah berhitung-hitung karena itu adalah darah daging Muhammadiyah,” kata Haedar.
Editor Mohammad Nurfatoni