Kado Terindah untuk yang Tersayang, merupakan bagian ke-12 dari buku Spiritualitas Pernikahan – Meraih Kebahagiaan dengan Rahmat Ilahi karya Moh. Sulthon Amien. Seri ke-11 sebelumnya: Kiat Meraih Sakinah Mawaddah wa Rahmah dalam Berkeluarga, menjadi viral.
Penulis adalah Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim, Ketua Badan Pembina Harian (BPH) Universitas Muhammadiyah Surabaya, Ketua Dewan Pembina Yayasan Insan Mulia Surabaya, dan Direktur Utama Laboratorium Klinik Parahita Surabaya.
PWMU.CO – Saya merasa kehilangan atas meninggalnya seorang teman, senior, sekaligus guru. Mantan anggota parlemen, Sekretaris Kabinet Singapura (Sin) pengamat dan praktisi pendidikan anak, Haji Mansor Sukaemi, akrab dipanggil Uncle M. Setelah purnatugas, dia belajar intens ke Negeri Paman Sam perihal perkembangan anak mulai kehamilan sampai dengan remaja.
Ketika besuk ke rumah sakit di Sin, saya tanya tentang sakitnya. Dijawab dengan ketus, ”Sudahlah tidak usah bicara itu, kita ngobrol soal pendidikan saja.”
Ia balik bertanya, ”Berapa hari di Sin.”
”Cuma sehari ini esok sudah pulang, hanya besuk Uncle,” jawab saya.
”Ngapain cuma sehari. Mas Sulthon mau saya kenalkan Ketua Majelis Ulama dan tokoh-tokoh pendidikan di sini,“ lanjutnya. Ada hadiah vas bunga di meja saya baca agak keras. Saya baca, ”Go Chok Tong.”
”Ya teman lama,” kata Uncle,
”Ia Perdana Menteri Sin tahun 1990-2004.”
Pantas ketika saya naik taxi dari Bandara Changi ke rumah sakit dan pulangnya menuju hotel, dua sopirnya sama-sama orang Melayu dan bertanya, ”Siapa yang sakit.”
Saya jawab, ”Haji Mansor, Uncle M.”
Mereka menyahut, ”Uncle M. Beliau sakit apa,” tanyanya. ”Itu tokoh yang memperjuangkan nasib orang Melayu di pemerintahan.”
Beberapa hari kemudian ia pergi menghadap Ilahi. Saya segera bertakziah ke rumahnya. Yang mengusik hati saya, tatkala Ibu Naema Hudsi, istrinya, menunjukkan sebuah buku handmade karya suaminya. Buku disampuli karton tipis ditata rapi dijilid, halamannya ditempeli kertas print. Sejumlah ayat al-Quran, hadis, dan foto seputar tempat pelaksanaan haji, Masjid al-Haram, dan Masjid Nabawi menjadi ilustrasinya. Buku itu diberi judul: Mawaddah wa Rahmah.
Dia berbinar-binar mendekap buku penuh arti itu. Kata salah seorang putrinya, ”Ayah merajut selama perjalanan haji ibu.” Sang Ibu pun tak tahu perihal buah tangan tersebut. Baru saat istri tercinta pulang dari ibadah haji hadiah sangat indah itu disampaikan.
Bukan sebaliknya, biasanya orang yang sedang pergi haji mempersiapkan oleh-oleh untuk keluarganya yang di rumah. Karena istrinya berangkat sendirian, ia tak bisa menemaninya, maka media short messege service (SMS), selalu menyertainya. Waktu itu belum ada WhatsApp. Setiap saat SMS ke istrinya tentang apa yang sudah dan belum dilakukan. Kemudian, dengan kesetiaan utuh dibimbinglah dari rumah setiap langkah ibadah suci sang Istri.
Cuplikan sebagian kalimat yang Uncle M. tulis dalam bukunya. “Aku berjanji, aku akan menjaga cinta kita. Kerjakan ibadahmu dengan penuh rela, Sayang. Allah SWT akan melindungimu.”
“Sayang! beberapa tahap lagi untuk menyelesaikan formalitas, tetapi mereka sangat rapuh. Godaan akan semakin kuat. Tetapi, engkau punya Yang Mahakuasa, dan engkau punya aku. Ya, Allah ridailah haji mabrur istriku.”
“26 Desember”. “Hari besar dan titik awal dari ibadah dan hidup kita sebagai suami istri. Saya sangat bersyukur kita saling mencintai. Tak henti-henti seperti ‘air terjun’ dan kita menemukan cara untuk membahagiakan satu sama lain.
Sayang, terima kasih banyak telah menjadi istriku. Ibadahku lebih tenang dan khusyuk. Kita sama-sama bersujud, bersedekah, dan berbuat kebajikan. Aku sangat- sangat mencintaimu.
Malam itu, saya di hotel tidak bisa tidur. Hanya terlelap sebentar. Benak saya terus bergulat dengan kenangan bersama Uncle selama ini. Yang lebih menyesakkan otak ini adalah buku untuk Bu Ema tadi. Saya menyaksikan sendiri saat umur sudah lanjut mesranya terhadap sang istri masih begitu kental.
Saya lekas bangun shalat tahajud, ketimbang termangu-mangu. Tangis saya tumpah tak terbendung di atas sajadah. Betapa saya belum mampu mengukir ‘cinta kasih’ kepada istri seperti yang ‘luar biasa’ dilakukan Uncle.
Saya terus berpikir, cindera mata apa yang akan saya torehkan untuk mengabadikan jalinan cinta kasih ini. Saya belum mewujudkan dalam bentuk real yang dapat dijadikan sebagai rasa bersyukurnya romantika berumah tangga.
Makanya saat saya membolak-balik halaman buku tersebut, langsung menawarkan ke Bu Ema untuk mencetaknya. Agar para suami semacam saya ini membaca sekaligus terinspirasi cinta sejati Uncle.
Baca sambungan di halaman 2: Tanda Cinta Kasih