Dari jalur ini Dzul Fikar Ahmad Tawalla masuk Muhammadiyah; Liputan Mahyuddin, kontributor PWMU.CO dari Kabupaten Sidoarjo.
PWMU.CO – Dzul Fikar Ahmad Tawalla, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Pemuda Muhammadiyah memberi tausiah dalam Kajian Ahad Pagi III di Masjid An Nur, Ahad (19/3/23).
Bertema “Pemuda Membangun Peradaban”, kajian pertama yang digelar PDM Sidoarjo pasca Musyda ini dipadati para jamaah. Di awal dia menyampaikan jika pertemuan ini sangat luar biasa.
“Kata orang arab, jadi kehidupan kita itu kepada tempat-tempat yang tidak pernah kita duga-duga. Tidak pernah kita sangka-sangka. Hari ini saya bisa sampai Sidoarjo, pertemuan hari ini merupakan pertemuan yang sangat luar biasa. Seperti kata Prof Milal, bahwa ini kegiatan pertama setelah Musyda, kami juga dari Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah ini adalah kunjungan ‘kenegaraan’ pertama setelah muktamar,” ujarnya.
Definisi Ulama
Dzul Fikar bercerita, saat ketua PDM Sidoarjo Prof Dr A Dzo’ul Milal MPd memberi sambutan, dia dibisiki Sekretaris PDM Sidoarjo Burhanuddin SThi MPd. Kata Burhan, Ketua PDM Sidoarjo merupakan alumnus Gontor Ponorogo. Dia pun terkesan dengan Ketua PDM Sidoarjo tersebut. “Masyaallah, beliau ternyata ulama,” ungkapnya.
Dzul Fikar lalu menjelaskan bahwa ulama ini punya banyak makna. Ulama itu ada yang bilang usia lanjut masih aktif. “Ada kepanjangan kedua yang katanya pasti tidak disenangi sama Ibu-ibu, ulama itu usia lanjut mau menikah lagi,” candanya. Menurut Dzul Fikar banyak ulama di Sidoarjo ini yang tawadu.
Sekjen Pimpinan Pusat (PP) Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) 2010-2012, itu kemudian mengajak peserta kajian menjadi pengikut Nabi Muhammad yang taat. “Hidupnya nabi itu baik untuk kita, begitupun dengan matinya,” ucapnya.
Karena dalam kehidupan nabi banyak memberikan uswah, mendapatkan syariat, lalu dalam matinya beliaupun, Rasulullah SAW menjanjikan syafaatnya kepada kita semua. “Mudah-mudahan kita bisa menjadi pengikutnya yang betul-betul taat. Nabi mengatakan, nabi itu kan sedikit makannya, kalau kita ini sedikit-sedikit makan. Kalau Rasulullah SAW mengatakan jangan minum dalam keadaan berdiri, kalau kita asal duduk makan, asal duduk ngopi,” kata dia disambut senyum para jamaah.
Tidak Ada Gus di Muhammadiyah
Ayah dari Benazir Farhana itu selanjutnya menceritakan jejak sejarah kehidupannya bisa bermuhammadiyah. “Saya ini bermuhammadiyah lewat jalur teologis dan jalur biologis. Kakek saya Muhammadiyah, ayah saya Muhammadiyah, Ibu saya almarhumah seorang Aisyiyah,” terangnya.
Yang bikin unik, lanjut dia, di Muhammadiyah itu walaupun kita adalah kader biologis, tidak membuat kita menjadi orang yang paling Muhammadiyah di antara yang lain. “Makanya tadi moderator bilang jika saya ini Gus. Padahal kata Sekum PP Muhammadiyah Mas Abdul Mu’ti tidak ada Gus di Muhammadiyah, yang ada yaitu guys,” candanya disambut gerr peserta kajian.
Dzul Fikar mengakui jika dirinya bermuhammadiyah lewat jalur saudagar. Karena sang ayah di rumah sudah melewati jalur mubaligh. Sampai hari ini ayahnya masih tercatat sebagai dai master. “Master itu bukan yang kita anggap di atasnya dai S1 atau di bawah doktor, dai master itu dulu program Lembaga Dakwah Khusus masyarakat suku terasing. Jadi beliau sering berdakwah ke gunung, ke tempat-tempat kristenisasi,” jelasnya.
Dzul Fikar yang menjadi anak pertama dari enam bersaudara menyampaikan satu nasihat sang ayah yang yang selalu diingatnnya. “Nak kalau kantong kita kecil, maka otak kita harus besar,” ungkapnya menirukan pesan sang ayah.
Hal tersebut, lanjut dia, disampaikan terus menerus kepadanya. Suatu waktu saat Dzul Fikar sudah di Jakarta, dia sampaikan ke ayahnya. “Kalau kantong kita besar lalu otak kita besar bagaimana ayah? Ayahnya kemudian menjawab bahwa biasanya bisa jadi ketua umum Pemuda Muhammadiyah itu,” tuturnya.
Pagi Jualan Bubur Malam Mengisi Kajian
Dipilihnya jalur saudagar, lanjut dia, karena dulu di Makassar guru-guru tafsir, hadits, dan agama itu adalah pedagang-pedagang dari Sumatera Barat. “Guru tafsir kami itu, yang sudah almarhum, itu dari pagi jualan bubur, lalu dari maghrib sampai isya mengisi kajian keliling masjid-masjid Muhammadiyah,” paparnya.
Dari situ, Dzul Fikar melihat bahwa jalur saudagar menjadi jalur yang sangat penting. Karena ini terkait kemandirian. “Kalau kita bicara identitas organisasi, organisasi yang kuat itu organisasi yang mandiri, dan itu ditunjukkan oleh Muhammadiyah,” jelasnya. (*)
Co-Editor Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni.