Makna Puasa untuk Pejabat Pajak oleh Abu Nasir, Ketua PDM Kota Pasuruan.
PWMU.CO– Perintah mutlak al-Quran di bulan Ramadhan memang berpuasa. Perintah ini ditujukan kepada setiap mukmin tanpa kecuali dan tanpa batas. Di level keimanan dan usia berapapun. Meskipun kewajiban itu tetap bagi mereka yang telah baligh.
Panggilan ya ayyuha allladziina aamanuu.. (Al-Baqarah:183) mengacu kepada semua orang beriman dalam tingkat iman yang kuat, sedang, dan lemah.
Begitupun kelompok umurnya. Anak-anak, remaja, pemuda, dewasa, tua laki-laki dan perempuan diseru untuk menjalankan kewajiban yang sama.
Mempertegas hal ini dan demi menggambarkan betapa mudah dan ringannya berpuasa sampai dikatakan sebagaimana orang-orang dahulu sebelum kamu juga diwajibkan.…
Tidak heran jika umat Islam menyambut seruan itu dengan penuh antusias, gembira, dan lapang dada meski dalam kondisi perut lapar, tenggorokan kering, dan badan lemah.
Dua Amal
Spirit puasa siang hari itu berlanjut hingga malam hari saat shalat tarawih tiba. Mereka berjubel memadati mushala dan masjid untuk mereguk nikmatnya shalat malam yang mungkin jarang atau malah tidak mereka lakukan di luar bulan puasa.
Shalat itu mereka lakukan sampai 11 atau 23 rakaat setelah menjalankan kewajiban Isya. Sungguh ini menjadi pemandangan yang mengherankan bagi mereka yang tidak paham tentang Islam.
Antusiasme umat menyambut Ramadhan disebabkan oleh kesadaran bahwa bulan ini merupakan ajang penebusan dosa dan pembersihan diri.
Dua amalan utama yang menjadi sarana pembersihan diri dari salah dan dosa itu adalah puasa dan shalat lail. Hebatnya dua amalan itu disabdakan Nabi dalam teks dan diksi yang sama yang hanya dibedakan oleh satu huruf, yaitu shad dan qaf. Keduanya pun diriwayatkan oleh dua imam hadits terkemuka, Bukhari dan Muslim:
من صام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه
من قام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه
Terlihat jelas puasa siang hari Ramadhan dan shalat lail malam harinya adalah sarana mutlak dan efektif menghapus dosa-dosa masa lalu. Maka tidaklah seorang mukmin berpuasa kecuali diikuti dengan shalat lail di malam harinya. Sebaliknya tidaklah seorang mukmin shalat lail kecuali ia puasa di siang hari. Al-Quran menyatakan
…ثُمَّ اَتِمُّوا الصِّيَامَ اِلَى الَّيْلِۚ…
” …sempurnakan puasa itu sampai di malam harinya…”
Puasa dan shalat lail yang bisa menghapus dosa adalah yang didasari oleh iman dan keyakinan serta penuh ihtisab (sabar, tidak lalai dan berharap) semata akan ridha dan balasan Allah sehingga dapat dipastikan segala jenis dosa dan salah kepada Allah akan diampuni.
Akan menjadi ironi dan celaka apabila seorang mukmin bisa bertemu dan berada di bulan Ramadhan tetapi dosa dan salahnya masih tetap menggunung sampai sampai malaikat pun mendoakan: Terhina sekali orang yang berjumpa Ramadhan tetapi dosanya tidak terampuni.
Barangkali ini yang tidak dipahami oleh Presiden Jokowi ketika melarang pejabatnya mengadakan buka bersama dengan alasan pandemi yang masih proses menuju landai. Selain tidak mencerminkan ketidakpahaman makna penting puasa bagi kaum beriman, pelarangan ini juga menunjukkan adanya ketidakadilan perlakuan terhadap rakyatnya.
Di satu sisi mengizinkan konser musik yang menghadirkan puluhan ribu orang. Di sisi lain melarang buka bersama yang mungkin hanya dihadiri oleh puluhan atau ratusan orang.
Tamparan untuk Flexing
Puasa juga menjadi peringatan bagi kaum hedon dan flexing, yaitu pelaku hidup mewah, hura-hura, dan suka pamer harta. Dalam puasa terkandung nilai instrintik ekstrintik sekaligus. Selain mampu membentuk sikap tawadhu, rendah hati, sederhana, dan sabar puasa juga mampu menghadirkan rasa kasih sayang kepada sesama, empati dan suka memberi.
Dalam hadits riwayat Thalhah bin Ubaidillah, Nabi bersabda melalui hadits qudsi
… الصِّيَامَ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ
Dia tinggalkan makan minum dan nafsu syahwatnya. Puasa itu untukKu dan Aku sendiri yang mengganjarnya.
Hadis qudsi itu mengingatkan kepada kaum yang suka pamer harta dan hedonis dan menampar keras mereka agar tidak riya amal dan harta. Puasa seseorang hanya diketahui oleh dirinya dan tuhannya.
Begitu pula dalam segala aspek hidup. Seseorang tidak perlu memamerkan amal dan harta bendanya karena orang yang dipameri jika dia musuhnya dia akan semakin membencinya dan jika dia teman sekalipun, pasti tidak membutuhkan pamernya.
Puasa tahun ini serasa momentum tepat. Ia hadir di saat banyak pejabat negara, anak, dan keluarganya pamer harta dan berperilaku hedonis. Penganiayaan seorang anak pejabat pajak kepada anak pengurus Ormas Islam membuka tabir kehidupan mewah pejabat kementerian keuangan, pajak, bea cukai, dan pejabat-pejabat lainnya.
Di tengah penderitaan rakyat, tercekik oleh tingginya pajak, mahalnya bahan kebutuhan pokok, sulitnya pekerjaan dan parahnya kasus stunting, para pejabat malah berlomba memamerkan harta dan perilaku hedonnya.
Semoga makna puasa mampu menginspirasi para pelaku flexing dan hedon.
Editor Sugeng Purwanto