Anak Punk di Para Pencari Tuhan, Mari Menertawakan Diri Sendiri, kolom oleh Coeditor PWMU.CO Ichwan Arif
PWMU.CO – Para Pencari Tuhan (PPT) Jilid 16 menjadi sinetron religius SCTV yang tayang di bulan Ramadhan kali ini. Kiamat semakin Dekat menjadi tema dengan fokus pada penokohan 4 anak punk, King, Cupi, Dobleh, dan Gembel.
Public United Nothing Kingdom (PUNK) yang lahir di Inggris dan Amerika awal tahun 1970-an ini menjadi nutrisi penonton yang sedang menyantap menu sahur. Sutradara sekaligus pemeran Bang Jack Deddy Mizwar sangat lihai dalam menggambarkan kehidupan anak punk dalam alur cerita ini.
Dia mencoba menggambarkan kehidupan anak punk yang terpinggirkan dalam strata sosial. King, Cupi, Dobleh, dan Gembel menjadi simbol remaja yang memiliki ‘dunia sendiri’ dalam hiruk pikuk kehidupan di masyarakat.
Deddy Mizwar melakukan pemotretan dunia realitas yang ada. Anak punk dengan ciri khas berada di tempat umum, jalanan, pasar, pertokohan, maupun tempat hiburan. Berpenampilan mereka, rambut berdiri atau mohawk, pakai anting, sepatu boots, bertindik (piercing), bertato, celana jeans ketat dan baju lusuh, serta jaket kulit.
PPT ini sedang melakukan mimetik, yakni meneropong sebuah karya sastra (baca: film/sinetron) dengan kenyataan di luar karya tersebut. Dalam buku Sosiologi Sastra (2012) Rizky Bambang mengatakan mimetik merupakan istilah dalam bahasa Yunani, berarti tiruan.
Teori mimesis berpandangan karya seni maupun karya sastra merupakan bentuk tiruan alam atau kehidupan manusia. Plato berpendapat semua manusia yang ada di dunia nyata ini merupakan tiruan dari dunia gagasan.
Anak Punk
Anak punk yang digambarkan dalam PPT merupakan potret realitas kita. Potret hitam putihnya bukan sekadar sosok sangar, tetapi ada sindiran bagaimana hubungan anak dengan orangtua atau sebaliknya. Minimnya asupan religius, komunikasi, bahkan kasih sayang orangtua menjadi pesan sangat dominan dalam serial ini.
Tokoh King yang ‘kehilangan sosok ayah’ dan tinggal dengan ibu yang mencari nafkah sendiri. Cupi yang memilih ‘bekerja’ di pasar. Dobleh tinggal dengan ayah dan harus ngurus rumah. Gembel tanpa kedua orangtua dan harus urus kedua adiknya, plus biayai sekolah adiknya.
Hadirnya anak punk dalam sinertron ini menjadi pesan tersirat. Tidak sekadar menyalahkan mereka, tetapi bagaimana orangtua dalam menjalankan perannya. Label punk bisa jadi bukan kesalahan mereka semata, tetapi ada peran orangtua di balik itu semua.
Kurangnya perhatian orangtua terhadap anaknya, atau bahkan orangtua terlalu sibuk dengan pekerjaannya sehingga lalai dalam mendidik anak. Mereka pun memilih DPR (Di Bawah Pohon Rindang) sebagai rumah pertama mereka.
Pesan tanpa Menggurui
Uniknya, realitas empat anak milenial dalam ‘Gang DPR ’ sebagai dunia gagasan dalam PPT ini pun bukan hanya didomanasi dari kalangan bawah, tetapi juga ada dari kalangan menengah ke atas.
Punk bukan miliki strata bawah, tetapi di semua level. Ini tergantung, apakah mereka bisa mendapatkan asupan semua, baik perhatian, kasih sayang, sampai dengan keteladanan dari orangtua. Mimetik inilah yang digambarkan Deddy Mizwar.
Dunia tiruan ini bisa jadi ada di sekitar kita, bahkan ada di rumah kita. Kalau kita lengah, bahkan terlalu terforsir dengan yang ada di luar rumah, maka potret PUNK ini pun bisa yang menempel di dinding rumah kita.
Kekuatan mimetik dalam PPT ini bisa dinikmati dengan senyuman. Sinisme bahkan sarkasme yang disampaikan tokoh-tokohnya mampu dikemas dengan ‘indah’. Bahkan kita bisa tersenyum ketika mendengarkan obrolan khasnya tanpa mengurangi pesan religius yang hendak disampaikan.
Inilah pesan khas sinetron yang diproduksi oleh Citra Sinema. Memberikan pesan tanpa menggurui. Menebar pesan yang tidak harus menguras pikiran penonton. Tetapi, dengan senyuman, bahkan tertawa sendiri melihat lucunya negeri dalam mimetik ini. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.