Belajar Jadi Saudagar Kaya dari Ibu oleh Muhammad Gunung Soetopo, pemilik Sabilla Farm, ahli buah naga dan tanaman buah.
PWMU.CO– Pada Maret 2023 Pasar Nglangon Sragèn, berganti nama jadi Pasar Sukowati. Ditandai pedagang pasar lama juga pindah ke sini.
Ganti nama tapi tak akan menghilangkan kenangan di mana ibuku mengajari kulakan barang untuk dijual lagi. Inilah yang menjadikan kenapa aku selalu kecukupan dan bisa bisnis sekarang.
Waktu aku usia SD (1966-1971) kalau Ahad pagi ibuku libur. Tidak masuk kerja di DKR (Djawatan Kesehatan Rakjat) di sebelah SMP 1 atau timurnya Padi Sentra Jalan Raya Sukowati, Sragen.
Maka pagi-pagi habis Subuh atau pas dengung sirine Pabrik Gula Mojo yang kedua ibu mengajak aku yang masih terkantuk-kantuk berangkat ke Pasar Nglangon jalan kaki yang jauhnya sekitar 2 Km dari rumahku di Ringinanom barat SD 2 Sragen.
Anak kecil, ngantuk, dingin mendiding, kaki telanjang tapi aku menurut saja diajak ke Pasar Nglangon. Sebab aku juga ingin bermain di pasar itu.
Pasar Nglangon sebelah utara Abatoir, tempat penyembelihan sapi. Orang setempat menyebutnya mBatuwar. Pasar ini merupakan pasar transaksi sebelum menuju ke pasar lebih besar lagi di tengah kota Sragen. Pasar ini menampung banyak dagangan dari desa-desa di utara Sragen seperti dari Gesi, Tanon, Mondokan, Plupuh dan lainnya.
Ibu hari itu ngajak aku ke Pasar Ngelangon pagi pagi untuk kulakan arang kayu yang umumnya dibuat oleh orang di Gesi. Bahannya dari pangkal pokok kayu jati. Kadang dari kayu lamtoro atau mlanding.
Inilah arti sebuah pendidikan buat anak karena di situlah ibuku mengajari wirausaha yang dulu aku kurang pahami. Hanya ikuti perintah. Dari situ belajar jadi saudagar. Sekarang manfaatnya benar-benar saya rasakan.
Bagaimana perjuangan mendapatkan barang atau memproduksi sesuatu kemudian diberi proses supaya ada nilai tambah dan kemudian bisa dijual untuk mendapatkan keuntungan.
Di pagi buta yang dingin, di sini wirausaha kecil-kecilan dimulai dan sekarang lebih mengerti apa itu wirausaha bisa menjadi usaha yang besar.
Di samping kayu bakar, arang, juga kulakan ayam kampung untuk dibesarkan. Di situ ibuku juga mengajari bagaimana membeli ayam kampung yang sehat. Diajari cara menepuk punggungnya supaya bunyi keoook.. Kalau suara ayam lantang, artinya sehat. Layak untuk dibesarkan.
Kadang juga diajari ndulek anus ayam dengan memasukkan jari kelingking. Kalau terlalu panas artinya ayam ini tidak sehat. Bila suhu pantat ayam normal maka ayam layak dibeli untuk dibesarkan. Setelah 2-3 bulan dijual untuk dapat nilai tambah. Asal tidak kena pileren alias sakit teler. Obat ayam pileren cukup diloloh dengan cabe rawit utuh 1-3 biji. Ayam akan kepedasan dan sehat kembali. Kalau ayamnya pingsan, maka ditutup sampah-sampah daun. Sebenatr hidup lagi dan sehat.
Ada bisnis kecil-kecilan aku mulai, yaitu minta modal ke ibu untuk kulakan jangkrik. Iya jangkrik yang bunyinya kriik.. kriik..itu. Beli jangkrik sewadah isi 10 ekor. Nanti siang waktu main dengan teman-teman bisa aku jual dan dapat nilai tambah. Asal jangkriknya gak mati berantem di dalam kandangnya. Jangkrik jrabang yang besar, sangar, banyak dicari untuk aduan.
Di pasar Nglangon ada ekstra gizi jajan sama ibuku. Ketan gendar juruh, gemblong, dan karak dari singkong. Namanya tatakriak. Bentuk bulat direnteng dengan tali bambu. Warnanya merah putih. Juga bakmi huenaak dari tepung singkong.
Itulah sedikit kenangan bersama ibuku belajar jadi saudagar. Ibuku yang mengajari wirausaha langsung di lapangan di Pasar Nglangon yang sekarang berganti nama Pasar Sukowati.
Waktu SD uangku sudah banyak di tabungan Taska Tabanas. Lebih dari sekadar uang jajan, karena akulah asisten ibuku. Sering dapat fee dari perdagangan di pagi buta di Pasar Nglangon Sragen.
Doa kebaikan buat ibu dan bapak kita semua yang sudah mendahului. Semoga dilapangkan kuburnya. Aamiin.
Editor Sugeng Purwanto