Iman Membuat Orang Lain Merasa Aman dan Damai, Liputan Ain Nurwindasari
PWMU.CO – Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Dr Hamim Ilyas MAg menyampaikan kajian subuh di Masjid Taqwa SMP Muhammadiyah 12 GKB, Sabtu (02/04/2023).
Hamim Ilyas mengawali kajiannya dengan pembahasan makna iman. “Dalam bahasa Arab iman itu maasdar, kata kerjanya aamana-yu’minu-iimaanan,” terangnya.
Aamana yu’minu ini disebut sebagai tsulasti mazid, kata yang terdiri dari tiga akar kata aamana yu’minu imanan semula amina ya’manu masdar-nya ada tiga, amnan amaanan dan amaanatan.
“Amnan itu tenteramnya jiwa dan tiadanya ketakutan, itu artinya aman dan damai,” ucapnya.
Adapun masdar yang kedua, amaanan dalam bahasa Arab memiliki arti al-haalah allatiy yakuunu ‘alaihal insaan minal amni, keadaan aman dan damai yang dialami oleh manusia.
“Masdar yang ketiga amaanatan, amanah itu sudah diserap menjadi bahasa Indonesia, yang pengertiannya maa ya’manu ‘alaihil insan, keadaan apa yang menjadi dasar orang merasa aman dan damai,” jelasnya.
“Jenengan duduk di hadapan saya merasa aman dan damai, mboten? Merasa aman dan damai, Itu karena percaya kepada saya,” ucapnya memberikan contoh.
Oleh karena itu menurut Hamim, kata ‘iman’ ketika dibentuk dari amina ya’manu amnan amaanan amanatan, maka berarti iman adalah kepercayaan yang membuat memiliki rasa aman dan damai keadaan aman dan damai dan menjadi amanah, dapat dipercaya.
“Siapa yang dibuat dengan iman itu merasa aman dan damai? Keadaannya aman dan damai, dan menjadi amanah, yang pertama adalah orang yang beriman itu sendiri,” ucapnya.
Dalam al-Qur’an ditegaskan Allah menurunkan di hati orang-orang yang beriman sakinah, yang artinya qaliilul harakati, sedikit gerak.
“Sehingga secara fisik, kita sekarang ini sakinah, sedikit gerak kita. Kita duduk dengan anteng. Itu tenang secara fisik,” terangnya.
Hamim mengaitkan pengertian sakinah (tenang) dengan kondisi orang miskin. Dalam hal ini kata ‘miskin’ memiliki akar kata yang sama dengan ‘sakinah’. Sehingga orang yang ekonominya lemah, disebut miskin, itu orang yang sedikit gerak. Karena pekerjaannya terbatas.
“Misalnya di Indonesia kerja 8 jam, dia kerja 1 jam 2 jam, tidak sampai keluar keringat. Karena pekerjaannya sedikit sehingga penghasilannya masih kurang, itu disebut miskin,” terangnya.
Adapun dalam konteks jiwa, sakinah berarti sedikit gejolaknya. Namun jiwa yang sakinah bukan berarti tidak ada gejolak sama sekali, tidak ada rasa tidak damai sama sekali.
“Itu rasanya sulit. Sehingga masih ada rasa khawatir. Sakinah itu sedikit gejolak batin, sedikit tidak damai,” terangnya.
Hamim menegaskan bahwa rasa aman dan damai itu adalah buah dari iman. Kepercayaan kepada Allah, yang Allah itu bisa menjadi sandaran. Sehingga ketika ada masalah bisa mengembalikan masalah kepada Allah SWT.
Cara Memperoleh Sakinah
“Bagaimana cara memperoleh sakinah? Pertama, kita memiliki pandangan hidup sesuai yang diajarkan oleh Allah,” ucapnya.
Hamim lantas mengutip al-Mulk ayat 2.
ﵟٱلَّذِي خَلَقَ ٱلۡمَوۡتَ وَٱلۡحَيَوٰةَ لِيَبۡلُوَكُمۡ أَيُّكُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلٗاۚ وَهُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡغَفُورُ ﵞ
‘Dialah yang menciptakan kematian dan kehidupan, untuk menguji kalian siapakah diantara kalian yang paling baik amalnya.’
“Jadi kita menjalani hidup ini diuji oleh Allah, supaya kita melakukan yang terbaik. Yang ujian Allah itu, bala’, bencana, pagebluk. Sehingga pandemi Covid-19 kemarin ujian, siapa yang lulus,” terangnya.
Hamim lantas merinci dua macam ujian, yaitu ujian yang baik (balaa’an hasanan), dan ujian yang buruk (balaa’an sayyi’ah).
“Ujian yang baik itu kesehatan, kekayaan, ilmu, keluarga, itu ujian yang baik. Memang keluarga pun ada risikonya. Itu qadrat manusia. Serba mengeluh. Itu menunjukkan manusia makhluk berisiko. Melakukan pilihan apa pun ada risikonya. Berkeluarga ada risikonya. Tapi jika tidak berkeluarga juga ada risikonya,” terangnya.
Oleh karena itu, lanjut Hamim, supaya lulus dari ujian yang baik berupa kesehatan itu berarti manusia harus menggunakan kesehatannya dengan sebaik-baiknya. Di antaranya adalah dengan tidak boleh bermalas-malasan atau bahkan menjadi pemalas.
“Sehingga dalam hadis Nabi mengajarkan doa, “”اللهم إني أعوذ بك من الهم والحزن، والعجز والكسل”, Ya Allah aku mohon perlindungan kepada-Mu dari tidak berdaya dan malas,” tuturnya.
Tidak berdaya itu jika ada masalah tidak bisa mengatasi. Hamim mencontohkan kasus yang sedang viral, yang menyeret seorang anak seorang pejabat Kementerian Keuangan yang telah menganiaya anak lain sampai otaknya rusak, kesadarannya belum pulih betul.
“Itu melakukan penganiayaan karena tidak mampu menguasai emosi. Sehingga marah tak terkendali. Sehingga dalam hadis itu orang yang cerdas, “الكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ” orang yang cerdas itu orang yang bisa mengendalikan dirinya. Sehingga orang yang beriman harusnya cerdas, bisa mengatasi emosinya,” terangnya.
Hamim melanjutkan, bahwa sakit juga merupakan ujian. Ia mencontohkan, “Ada orang di Jakarta sakit diabetes sudah 11 tahun merasa putus asa kemudian bunuh diri. Ini berarti dia tidak lulus menjalani ujian sakit,” terangnya.
Hamim menegaskan jika seseorang ingin merasa damai, maka harus memiliki pandangan bahwa hidup yang kita jalani adalah ujian untuk melakukan yang terbaik.
“Kaya melakukan yang terbaik, miskin melakukan yang terbaik. Sehat melakukan yang terbaik sakit juga melakukan yang terbaik,” ucapnya.
Oleh karena itu Hamim mengingatkan agar dalam pendidikan juga perlu ditanamkan nilai-nilai keimanan, jadi tidak hanya pengetahuan saja tapi juga rasa.
“Kemudian kita endapkan bahwa hidup adalah ujian. Sehingga dalam mendidik anak-anak itu pendidikan rasa,” terangnya.
Hamim lantas mengutip Yunus ayat 58.
قُلْ بِفَضْلِ اللّٰهِ وَبِرَحْمَتِهٖ فَبِذٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوْاۗ
Katakanlah (Muhammad), “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira.
“Sehingga mendidik diri dan anak-anak agar memiliki rasa senang, senangnya itu anugerah yang bisa menjadi utama. Kita perlu mendidik diri dan anak kita supaya senangnya itu merasa menjadi yang utama, jangan malas-malasan dan menjadi cerdas mengendalikan emosi. Semoga di sekolah ini kita bisa menanamkan itu,” ungkapnya.
Hamim lantas mengajarkan bagaimana mewujudkan rasa aman dan damai.
“Alaa bidzikrillahi tatma’innul quluub. ingatlah hanya dengan dzikir kepada Allah, hati bisa merasa tenang. Mutmainnah itu tenang setelah ada krisis. Jadi setelah kita mengalami gejolak, lalu kita mengingat Allah, maka kita menjadi tenang,” tandasnya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni
Discussion about this post