Kiai Tebuireng yang lebih ‘radikal’ dari Muhammadiyah, catatan Prof Agus Purwanto DSc, Guru Besar Fisika Teori ITS dan Wakil MTT PWM Jatim.
PWMU.CO – Saya ingat peristiwa Mei 2012, ketika bedah buku Ayat-Ayat Semesta (AAS) di lantai III Aula Soetrisno Bachir Ponpes Tebuireng Jombang. Pembahas atau pembedahnya adalah kiai terkemuka Tebuireng Dr KH Musta’in Syafi’i.
Ada beberapa pernyataan yang saya ingat dan terngiang di pendengaran, tetapi untuk konten judul postingan ini (sebelumnya berjudul “Lagi, Hisab dan Rukyat”), kutampilkan pernyataan beliau tentang awal bulan qamariyah/hijriah. Sampai di suatu topik beliau berkata, “Setelah saya pelajari al-Quran dan hadits dari berbagai aspek, seperti riwayat, bahasa, dan astronomi, maka saya sampai pada kesimpulan bahwa awal bulan qamariyah itu ya konjungsi atau ijtimak”.
Konjungsi adalah keadaan ketika matahari-bulan-bumi berada pada satu garis bujur astronomis. Bulan bergerak mengelilingi bumi. Ketika Bulan mengelilingi bumi satu lingkaran penuh dlm waktu sekitar 27 1/3 hari dan disebut periode sideris, posisi bulan tidak terletak pada garis bujur astronomis Matahari-Bumi karena Bumi juga bergerak mengelilingi Matahari.
Bulan akan kembali berada pada garis bujur astronomis matahari-(bulan)-bumi sekitar 29 1/2 hari dari konjungsi sebelumya dan periode ini disebut periode sinodis. Periode ini pula yang menyebabkan jumlah hari sistem kalender qamariyah atau lunar adalah 29 atau 30 hari.
Lebih Radikal daripada Muhammadiyah
Ketika konjungsi ini bumi (dapat) dikatakan berada di belakang bulan sehingga tidak dapat melihat bagian bulan yang terkena cahaya matahari. Bulan tak terlihat. Bulan terus bergerak dan bergeser dari posisi konjungsi maka mulai ada permukaan bulan yang terkena cahaya matahari menghadap Bumi. Karena itu astronom menyebut posisi konjungsi sebagai new moon, bulan baru.
Saya benar-benar kaget mendengar pernyataan atau kesimpulan beliau. Sebabnya jelas, pendapat atau kesimpulannya sangat radikal. Lebih radikal daripada Muhammadiyah yang masih mempertimbangkan acuan ufuk. Hilal wujud jika di atas ufuk dan dapat dipandang sebagai Imkanu Rukyat nol derajat tanpa elongasi. Pandangan terakhir ini dapat dikatakan menghisabkan rukyat.
Setelah forum bedah buku AAS saya telah bertemu beliau sedikitnya dua kali, momen peresmian Trensains Tebuireng 23 Agustus 2014 dan Konferensi al-Quran 20 Mei 2019 di Jakarta. Tetapi saya tidak sempat menanyakan perihal kesimpulan beliau tentang awal bulan di atas.
Hadits rukyat memang banyak, ada beberapa puluh. Saya pernah mengikuti kajian semua hadis rukyat oleh para ahli terkait dari beberapa IAIN/UIN. Hadits dengan redaksi serupa dikumpulkan dan dianalisa siapa yang bertemu nabi Saw langsung dan siapa yg mengulang. Siapa yang pertama menerima dan meriwayatkan, dan seterusnya.
Mazhab Rukyat
Andai tidak ada hadis yang menyebutkan keummian Rasulullah SAW dan umat Islam saat itu, tentu saya menjadi penganut mazhab rukyat. Dan pengetahuan tentang hisab hanya untuk membantu mengarahkan pandangan ke arah penampakan hilal.
Karena praktiknya, banyak orang mengaku berhasil melihat hilal berapapun tinggi hilal menurut hisab bahkan ketika belum terjadi konjungsi, saya akan mengusulkan bahwa sumpah kesaksian diganti rekaman kamera teleskop. Sumpah sulit dipercaya. Syaratnya konjungsi telah terjadi dan melihatnya maghrib dan setelahnya.
Nyatanya hadits ummi pada bulan qamariyah yang harinya kadang 29 kadang 30 itu ada. Mengapa harus ada hadits ini? Apa implikasinya?.
Pemahaman paling logis bagi hadits ummi adalah sebagai illat atau sebab bagi rukyat saat itu. Karena tidak bisa menulis dan menghitung peredaran dan posisi bulan maka dilakukan rukyat. Rukyat satu-satunya cara menentukan awal bulan saat itu. Rukyat hasilnya hanya dua kemungkinan yaitu hilal terlihat atau tidak.
Islam Mudah
Sekarang astronomi telah berkembang sedemikian rupa. Tidak sedikit muslim yang ahli astronomi. Mereka tahu yang substansial dari peredaran bulan mengitari bumi yaitu konjungsi atau batas siklus bulan. Andai muslim tidak tahu pun saat ini data fase bulan termasuk konjungsi hingga sekian puluh tahun ke depan dapat diakses dan diketahui dengan mudah.
Konjungsi merupakan batas akhir sekaligus awal fase bulan, mestinya juga menjadi penanda akhir dan awal bulan. Tanpa harus kembali menjadi ummi dengan memasukkan visibilitas bulan. Itulah alur pikiranku, entah apakah seperti ini pula alur pikiran kiai Musta’in Syafi’i.
Tinggal ditambah parameter maghrib sehingga awal bulan terjadi jika konjungsi terjadi sebelum Maghrib (ijtimak qablal ghurub, IQG). Mengingat puasa dimulai sejak fajar, bisa saja diterapkan konjungsi sebelum fajar (ijtimak qablal fajri, IQF) sbg kriteria masuk bulan baru di saat maghrib akhir hari ke-29. Sama mudahnya, sama nggak pake rukyat lagi. Dapat diumumkan diawal tahun tanpa didahului sidang isbat. Islam itu indah dan mudah. Wallaahu a’lam. (*)
Kampus ITS Selasa, 13 Ramadhan 1444
Co-Editor Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni.