Cadar dalam Perspektif Tarjih Jadi Materi Pengajian Ramadhan PP Aisyiyah; Liputan Ain Nurwindasari
PWMU.CO – Majelis Tablig dan Ketarjihan (MTK) Pimpinan Pusat Aisyiyah menyelenggarakan Pengajian Ramadhan secara luring dan daring yang diikuti oleh seluruh Anggota Pimpinan Pusat Aisyiyah di Kantor Pimpinan Pusat Aisyiyah, Jalan Ahmad Dahlan Yogyakarta.
Adapun peserta daring terdiri dari anggota Majelis Tarjih dan Ketarjihan dari wilayah dan daerah se-Indonesia.
Ketua Majelis Tabligh dan Ketarjihan PP Aisyiyah, Evi Sofia Inayati Spsi menyatakan, “Ini adalah kegiatan pertama yang menghadirkan ibu-ibu MTK se-Indonesia,” katanya.
Pengajian kali ini mengangkat dua topik, yaitu Cadar dalam Perspektif Tarjih yang akan disampaikan oleh Lailatiz Syarifah Lc MA dan Perempuan dan Ibadah yang akan disampaikan oleh Tri Yaumil Falikah SpdI Mpd.
“Menurut hemat kami penting untuk menjadi pemahaman kita bersama dalam rangka menyajikan perempuan berkemajuan terkait karakter iman dan takwa serta taat beribadah,” ucapnya
Evi menegaskan bahwa cadar tidak menjadi tradisi di Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah.
“Cadar memang tidak mentradisi dan tidak ditradisikan di Muhammadiyah, karena Muhammadiyah memandang bahwa wajah tidak merupakan aurat sehingga tidak perlu ditutup,” tegasnya.
Menurutnya sebagian orang yang menganggap cadar adalah wajib bagi Muslimah mendasarkan pada al-Ahzab ayat 59.
“Surat al-Ahzab ayat 59 sering kali dijadikan dalil. Nah ini masih perlu pendekatan bayani,” ucapnya.
Ia menekankan berpakaian menurut agama Islam bukan sekadar fashion, seperti yang saat ini terjadi pada sebagian Muslimah.
“Berpakaian merupakan manifestasi ketaatan beragama,” tegasnya.
Adapun tema perempuan dan ibadah menjadi topik kedua, karena dirasa sangat penting. Evi mengutip sebuah ayat dalam An-Nisa ayat 124,
وَمَنْ يَّعْمَلْ مِنَ الصّٰلِحٰتِ مِنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَاُولٰۤىِٕكَ يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُوْنَ نَقِيْرًا
Dan barangsiapa mengerjakan amal kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan sedang dia beriman, maka mereka itu akan masuk ke dalam surga dan mereka tidak dizalimi sedikit pun.’
“Dapat dipahami bahwa laki-laki dan perempuan punya hak otonomi untuk beramal shalih. Meskipun untuk beberapa hal masih problematik. Misalnya perempuan shalat di rumah lebih baik dari pada di masjid, puasa sunnah harus atas seizin suami,” terangnya.
Evi mengimbau agar warga ‘Aisyiyah terus mengkaji masalah-masalah tersebut sehingga membuahkan pemahaman yang utuh.
“Kita punya waktu untuk mengkaji ini, sehingga kita punya pemahaman lebih utuh,” tandasnya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni