Setiap Ramadhan Selalu Ingat Almarhum Nadjib Hamid

Nadjib Hamid (Sketsa Atho’ Khoironi/PWMU.CO)

Setiap Ramadhan Selalu Ingat Almarhum Nadjib Hamid; Oleh Mohammad Nurfatoni, Pemimpin Redaksi PWMU.CO

PWMU.CO
 – Setiap Ramadhan, kenangan bersama Nadjib Hamid selalu mencuat kembali. Seperti juga kenangan bersama orang tua dan saudara-saudara saya saat menjalani ibadah puasa di kampung halaman di usia anak dan remaja. 

Salah satu kenangan bersama orang tua adalah selalu tersedianya kolak untuk berbuka. Hidangan ini tak pernah absen di hari-hari Ramadhan kami. Ayah yang selalu membangunkan dan meminta kami menyalakan lampu petropak sebelum sahur. 

Masa-masa kecil saat Ramadhan juga masih membekas. Kalau pagi saya membeli jajanan di pasar depan rumah, untuk ‘ditimbun’ lalu di makan di malam hari. Tapi sebagian malah tak termakan. Itu namanya kemaruk.

Puasa sambil bermain adalah kegiatan sehari-hari. Seperti bluron di Bengawan Solo atau bermain mercon karbit di malam hari habis tarawih.

Kenangan indah juga sangat melekat saat menjalani ibadah Ramadhan bersama istri dan anak-anak. Salah satunya kenangan es teh yang juga tak pernah absen. Lalu makan sahur bersama dengan menu lain: Para Pencari Tuhan, sejak 16 tahun lalu.

Shalat berjamaah tarawih di rumah bersama keluarga saat Covid-19 juga sangat terasa dampaknya. Saat itu anak-anak yang kuliah di luar kampung halaman pada pulang. 

Ganti Apem dengan Kurma Tunisia

Ada dua kenangan di bulan Ramadhan yang selalu mengingatkan saya pada Pak Nadjib Hamid yang wafat pada 9 April 2021. Meski sebagai tokoh Muhammadiyah—hingga wafat adalah Wakil Ketua PWM Jatim—Dia ‘mengikuti’ tradisi megengan. Tapi Pak Nadjib, begitu saya memanggilnya, mengubahnya dalam bentuk yang berbeda.

Di awal puasa Pak Nadjib selalu membagikan kurma pada tetangga, keluarga, dan teman-teman Muhammadiyah. Ratusan kurma yang dia bagikan bersama bingkisan lain bukan kurma murahan, tetapi kurma yang sekotak isi 500 gram dulu seharga Rp 75 ribu.

Mengapa dia melakukan itu? Suatu saat Pak Nadjib mengatakan, dai Muhammadiyah itu biasa mengatakan tradisi megengan—yaitu berbagi kue apem ke tetangga menjelang puasa—itu bidah karena tidak ada dalilnya. Namun tidak pernah memberi alternatif pengganti tradisi itu.

”Tradisi apem megengan itu lahir sebagai bagian dari cara dakwah zaman dulu. Apem itu boleh jadi dari kata afuwun yang artinya maaf. Kalau itu dibidahkan lalu penggantinya apa sebab masyarakat butuh tradisi,” tanya dia.

Akibat model dakwah seperti itu, Muhammadiyah akhirnya mendapat cap kasar, keras, dan ajarannya harus dihindari. ”Padahal dakwah itu mengajak bukan menghakimi. Kalau suka menghakimi mana ada orang yang mau diajak memahami Islam cara Muhammadiyah,” katanya.

Dia menuturkan, tradisi megengan itu misi dakwahnya adalah sedekah menjelang puasa. ”Lebih baik gantilah hantaran apem itu dengan sedekah lain yang lebih bermakna,” dia menyarankan.

Pak Nadjib bercerita, pernah membalas hantaran itu dengan sekotak kurma Tunisia. Ternyata kurma itu membawa respon baik. Tetangga cerita kurma itu dipakai buka puasa tiap hari.

”Nah dakwah seperti ini kan bisa mengajak orang dan menjadikan hubungan bertetangga juga baik. Padahal sebelumnya ketua RT setempat selalu wanti-wanti ke warganya, awas lho rumah pojok Pak Nadjib itu orang Muhammadiyah,” ceritanya dalam suatu pengajian di Lakarsantri Surabaya seperti pernah dimuat PWMU.CO, 28 Maret 2017.

Buka Bersama

Yang juga selalu dilakukan oleh almarhum adalah mengadakan acara berbuka bersama di rumahnya di Jalan Ubi Surabaya. Di samping mengundang para kader yang masih aktif di Persyarikatan, dia juga mengundang kader Muhammadiyah yang berprofesi sebagai wartawan.

Aneka menu khas selalu dihidangkan pada acara itu. Yakni ikan bakar dan sop, di samping menu lainnya. Tapi kedatangan kami di acara itu bukan sekadar makan. Pak Nadjib selalu mengajak ngobrol bahkan tentang masalah-masalah keluarga. 

Nadjib Hamid memang dikenal sebagai juru bicara Muhammadiyah. Dengan kedekatannya dengan wartawan, jika ada isu-isu menarik yang menyangkut Muhammadiyah, Pak Nadjib yang selalu menjadi narasumber berita.

Dua ‘hobi’ Pak Nadjib di atas mengingatkan saya pada pernyataannya bahwa siapa saja pada dasarnya senang apabila diberi hadiah. Apakah dia miskin atau kaya. (*)

Sidojangkung, 9 April 2023 di hari dua tahun wafatnya Nadjib Hamid.

Exit mobile version