Masjid Jamik At-Taqwa Paciran, Muhammadiyah dan NU Bisa Rukun oleh Bahrus Surur-Iyunk
PWMU.CO– Desa Paciran di pantai utara Lamongan, sewaktu saya masih remaja hingga kini, setiap bulan Ramadhan punya tradisi intelektual. Pusatnya di Masjid Jamik at-Taqwa yang penuh berkah. Masjid dengan kubah emas yang mencolok mata.
Setiap Ramadhan kegiatan keagamaan seperti shalat Tarawih, kultum, shalat Subuh ditambah kuliah Subuh. Sehabis Ashar ada pengajian yang disebut anak-anak dengan istilah Kiai Mendongeng. Mengapa dongeng? Karena setiap selesai shalat Ashar para penceramah bercerita sejarah nabi yang menyenangkan menjelang buka puasa.
Jadwal imam shalat Tarawih disusun lagi. Tidak seperti masjid di daerah lain yang punya satu ormas Islam, Masjid Jamik at-Taqwa Paciran adalah masjid bersama warga Muhammadiyah dan Nahdliyin. Masjid ini menjadi simbol ukhuwah umat Islam Paciran.
Dalam menata jadwal, takmir masjid memberi porsi imam dan khotib sesuai dengan keberadaan pesantren. Ada dua pondok pesantren yang beraliran Muhammadiyah dan satu pondok aliran NU. Dengan sangat mudah, satu bulan langsung dibagi tiga, sehingga masing-masing ponpes mendapat jatah 10 hari untuk mengisi jadwal shalat Tarawih, Subuh, dan Ashar.
Pada saat shalat Tarawih, ada perbedaan antara NU dan Muhammadiyah. Muhammadiyah sebelas rakaat, sementara NU 23 rakaat. Jika bertepatan dengan jadwal imam Muhammadiyah, warga NU menyambung shalat hingga 23 rakaat.
Kalau jadwal imam NU, maka warga Muhammadiyah pada rakaat ke delapan selesai. Witir dikerjakan sendiri. Jamaah NU tetap melanjutkan Tarawih.
Jamaah anak-anak muda Muhammadiyah merasa enjoy kalau imamnya dari NU. Delapan rakaat selesai lebih cepat daripada diimami oleh imam Muhammadiyah yang sebelas rakaat tapi bacaannya lama.
Semua perbedaan ini berjalan dengan rukun tanpa ada perselisihan dan percekcokan yang mengakibatkan membuat masjid sendiri-sendiri.
Jadwal imam shalat Subuh diatur dengan porsi yang sama. Sepuluh hari pertama adalah jadwal imam Muhammadiyah tanpa qunut. Hanya saja, imam memanjangkan berdiri i’tidal untuk memberi kesempatan jamaah Nahdliyin untuk doa qunut.
Memasuki jadwal sepuluh hari kedua, imam Subuh giliran membaca doa qunut. Walaupun sudah terbiasa dengan pola ini, kadang jamaah Muhammadiyah masih ada yang kecele juga. Pada saat berdiri i’tidal rakaat kedua, begitu imam membaca lafal Allahhummahdinii fiiman…
jamaah yang tidak biasa qunut langsung gerak bersujud dikira takbir. Sadar keliru bergerak langsung balik kucing dari sujud untuk berdiri i’tidal lagi.
Anak-anak muda itu di shaf belakang langsung cecikikan. Selepas shalat jamaah semasjid riuh dengan tawa dan pembicaraan kelucuan mereka sendiri.
Inilah Paciran, sebuah desa sekaligus kota kecamatan berbasis massa kuat Muhammadiyah namun bisa berdampingan dengan jamaah NU.
Jadwal khatib Jumat dan imam shalat Subuh yang kadang kontroversial juga diatur dan dibagi antara jatah Muhammadiyah dan NU.
Tradisi ini berbeda dengan daerah lain cenderung menguasai masjid jamik dan tidak memberi kesempatan kepada jamaah yang berbeda.
Dari sisi politik pun menarik. Dulu ketika diadakan Pemilihan Kepala Desa, para tokoh kedua ormas ini saling berbisik. ”Adakah calon kades dari pihak Muhammadiyah?” Bila ada, maka mereka tidak akan mencalonkan. Bila tidak ada, calon Kades mereka akan maju dengan ”persetujuan” tokoh Muhammadiyah setempat.
Kata Rasulullah (ada yang mengatakan ini bukan hadits), ”Iktilafi fii umati rahmah.” Perbedaan di kalangan umatku adalah rahmat. Potret itu ada di Masjid Jamik Paciran. Wallahu a’lamu.
Editor Sugeng Purwanto