Ketika Harus Memilih antara Koran dan Keluarga, Sinopsis Film Buya Hamka; Oleh Pemimpin Redaksi PWMU.CO Mohammad Nurfatoni dari Gala Premiere film Buya Hamka di Cinepolis City of Tomorrow (Cito) Surabaya, Ahad (9/4/2023).
PWMU.CO – Film Buya Hamka (Volume 1) menampilkan Haji Abdul Malik Karim Amrullah alias Hamka sebagai sosok aktivis Muhammadiyah—selain ulama, sastrawan, wartawan, dan pejuang bangsa.
Pada tahun 1933, film yang disutradari Fajar Bustomi ini memperlihatkan Hamka sebagai Ketua Muhammadiyah Makassar. Beberapa kali kamera menyorot gedung Muhammadijah Makassar. Juga kegiatan Hamka saat mengajar di lembaga pendidikan yang dikelola Muhammadiyah.
Tapi tahun 1936 itu Hamka harus pergi. Suatu saat Siti Raham, istri Hamka yang dia panggil Ummi, mengetahui ada undangan yang tersimpan di laci meja Hamka. Di meja itulah Hamka sedang menulis roman Di Bawah Lindungan Ka’bah.
Adapun isi surat itu agar Hamka bersedia memimpin harian Pedoman Masyarakat yang terbit di Medan. Tapi Hamka mengabaikannya. Sampai suatu hari Ummi mendorong Hamka memenuhi permintaan itu.
Hamka beralasan berat meninggalkan Muhammadiyah sebagai lahan dakwah moderatnya. Tapi Ummi memberikan alasan lain. “Mengapa berlama-lama di sini. Muhammadiyah sudah bisa mandiri,” kata Ummi.
Mendapat dorongan itu hati Hamka luluh. Dia akhirnya meninggalkan Makassar menuju Medan untuk memimpin Pedoman Masyarakat, koran yang terbit dua hari sekali.
Mengelola koran itu, Hamka harus tinggal di Medan. Sementara istri bersama anak-anaknya bermukim di Padang Panjang. Salah satu keharuan yang membuat air mata meleleh adalah saat anak Hamka yang bernama Hisyam sakit dan akhirnya meninggal dunia. Ummi sendirian, tanpa Hamka, menghadapi ujian berat itu.
Di sini Laudya Cynthia Bella berhasil memerankan Ummi yang tegar tapi tak lepas dari sisi kemanusiaan. Ekspresi Cynthia atas meninggalnya Hisyam mampu membangkitkan emosi penonton. Tetapi tangisan Ummi tak berlarut-larut. Dia tampak tegar menghadapi ujian itu, sebagaimana ketegaran dia saat mendampingi Hamka menghadapi masalah-masalah di bagian lain cerita film ini.
Mendapat kabar kematian anaknya, Hamka tidak bisa segera pulang. Sebab hari itu waktunya koran terbit. Dengan tegar dia mengatakan kepada kru Pedoman Masyarakat yang memintanya segera pulang. “Kalaupun saya pulang pasti jenazah telah dimakamkan,” jawab Hamka.
Meski kalimat itu memperlihatkan ketegaran, tapi sebenarnya hati Hamka luluh-lantah. Vino G. Bastian yang memerankan Hamka pun mampu mengaduk emosi penonton. Itu terlihat saat adegan Hamka menangis sekeras-kerasnya ketika sendirian.
Setelah koran terbit, Hamka akhirnya pulang ke Padang Panjang. Dan Ummi yang meneduhkan perasaan Hamka.
Pers sebagai Alat Perjuangan
Memang, Hamka memimpin Pedoman Masyarakat dengan idealisme tinggi. Tak sekadar sebagai sumber berita, Hamka menjadikan koran itu sebagai alat perjuangan. Tak heran jika dia rela menunda kepulangannya demi koran tetap terbit.
Idealisme Hamka tercermin pula dalam motivasinya pada kru harian itu saat dia mulai memimpin. Quote yang sangat populer dari Hamka yang kini banyak dikutip diucapkan Hamka di sini: “Kalau manusia hidup cuma sekadar hidup, babi pun bisa melakukannya. atau bekerja sekadar bekerja, kera juga bekerja.”
Dia ucapkan dengan semangat berapi-api. Di depan anak buahnya, Hamka juga mengucapkan kalimat yang juga menjadi quote populer. “Tak ada Melayu tanpa Islam. Minangkabau tanpa Islam hilang Minangnya tinggal kabaunya. Tinggal kerbaunya.”
Kalimat hidup sekadar hidup atau bekerja tak sekadar bekerja tak hanya sebagai slogan kosong. Hamka membuktikan kalimatnya itu sendiri. Pedoman Masyarakat dia jadikan sebagai corong perjuangan kemerdekaan—di samping media untuk menuliskan karya-karya sastranya.
Hamka tak menyerah ketika tentara Belanda mengancamnya agar tak menerbitkan Pedoman Masyarakat, yang dituduh sebagai panghasut masyarakat. Dia tetap mempertahankan penerbitan meski tentara menggeledah kantornya dan merampas mesin-mesin ketik yang dipakai redaksi menulis berita.
Gambar-gambar tentang mesin ketik manual—yang sering disorot kamera termasuk saat adegan awal Hamka menulis roman Di Bawah Lindungan Ka’bah—mungkin aneh bagi penonton milenial. Karena mereka tak sempat menemui alat itu karena kini sudah tergantikan dengan komputer yang serba canggih.
Tapi ini juga menjadi pelajaran bagaimana susahnya dunia penerbitan zaman itu, sekaligus memperlihatkan besarnya perjuangan menerbitkan koran. Film ini menggambarkan Hamka menjadikan Pedoman Masyarakat sebagai alat perjuangan. Dan itu tak lelah dilakukan hingga di zaman pendudukan Jepang hingga kantor Pedoman Masyarakat disegel pemerintah, papan namanya diturunkan.
Segmen di awal-awal film yang akan diputar di bioskop mulai 20 April 2023 ini yang membuat air mata saya bercucuran. Bukan hanya saat adegan meninggalnya Hisyam tetapi juga ketika mengikuti adegan-adegan Hamka bekerja keras menjadikan pers sebagai alat perjuangan.
Tapi saya juga ikut juga ikut tersenyum bahagia saat Podoman Masyarakat di satu segmen film ini berhasil menembus oplah 5000—yang sangat besar di zaman itu. Juga saat adegan para wanita ramai-ramai membaca koran itu yang memuat roman Hamka Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. (*)