Kenangan Menjadi Murid dan Guru SMA Muhiba di Masa Pak Sholeh; Oleh Mohammad Nurfatoni; Pemimpin Redaksi PWMU.CO.
PWMU.CO – Berita wafatnya Kepala SMA Muhammadiyah 1 Babat (SMA Muhiba) Drs H Mohammad Sholeh, Rabu (12/4/2023) membuat saya tertegun. Sudah sejak tahun 1994 saya tak berjumpa dengannya. Padahal saya punya hubungan emosional—meskipun bukan hubungan dekat—dengan Pak Sholeh, begitu dia biasa dipanggil.
Meski tinggal di Gresik, sebenarnya saya masih sering lewat Babat. Karena Kota Wingko itu adalah rute perjalanan saya jika pulang ke rumah saya yang berada di desa kelahiran di Kecamatan Laren. Juga rute saya saat pulang ke kampung halaman istri di Kecamatan Widang, Tuban. Babat juga kota yang sering saya lewati ketika dua anak saya mondok di SMP Plus Ar Rahmat Bojonegoro tanin 2007-2013.
Tapi kok saya tak pernah menyempatkan bersilaturahmi ke rumah Pak Sholeh. Padahal saya punya dua ikatan dengan beliau. Pertama, saya adalah murid SMA Muhammadiyah 1 Babat pada tahun pelejaran 1993-1984 sampai 1986-1987.
Kedua, saya juga pernah menjadi guru di sekolah tersebut pada tahun 1992-1994. Kedua status itu saya alami di masa kepemimpinan Pak Sholeh.
Kenangan Darul Arqam
Saat saya menjadi murid, Pak Sholeh masih lajang. Kumisnya yang tebal menjadi ciri khasnya. Saya juga masih ingat bagaimana gestur dai: seyumnya, cara berjalannya, juga gaya berbicaranya. Bagi yang pernah bertemu beliau pasti paham apa yang saya maksud.
Tapi yang paling saya ingat dari beliau adalah kenangan saat Darul Arqam di bulan Ramadhan. Saat itu saya kelas dua. Saya ditunjuk menjadi imam shalat tarawih dan Pak Sholeh menjadi bagian dari jamaah.
Usai memimpin shalat, Pak Sholeh memberi ulasan. Bacaan saya dikritik. Dia mengatakan, seharusnya yang dibaca terlebih dahulu adalah surat-surat yang (agak) panjang, baru surat-surat pendek. Jadi, dari panjang ke pendek. Dan saya waktu itu membaca surat secara acak. Itulah ilmu dari Pak Sholeh yang masih saya ingat dan praktikkan sampai sekarang.
Meski cara memimpin shalat saya dapat kritik, tapi saat itu saya dinobatkan sebagai peserta terbaik. Saya mendapat hadiah Al-Quran dan Terjemahannya, bersampul merah terbitan Departemen Agama. Entah apa sebabnya. Mungkin saya dinilai aktif dalam Darul Arqam. Waktu itu ada teman yang menjuluki saya dengan istilah ‘anak mik’ karena keaktifan dalam forum. Suka bertanya, maksudnya.
Ketika menjadi murid, saya sering bersama ayah, almarhum Ahmad Thahir, menghadap Pak Sholeh. Bukan karena saya nakal lalu ayah dipanggil kepala sekolah. Tapi tunggakan SPP yang membuat ayah sering dipanggil menghadap. Maklum, anak ayah banyak dan pekerjaannya tidak tetap. Untuk membayar SPP tepat waktu pun susah. Momen seperti itu biasanya terjadi menjelang ujian semester.
Saat Jadi Guru
Saya mengajar Biologi di almamater sebagai guru honorer. Artinya digaji sesuai jam mengajar. Waktu itu saya mendapat delapan jam mengajar dalam dua hari. Saya lupa berapa honor saya per jam dikalikan sebulan.
Saya tempuh perjalanan mengajar itu dengan bus Surabaya-Babat. Kadang saya bermalam di rumah keluarga yang ada di dekat Rumah Sakit Muhammadiyah Babat.
Saat mengajar itu tidak banyak interaksi antara saya dengan Pak Sholeh kecuali dalam rapat-rapat formal. Ruang kepala sekolah ada di depan, di dekat gerbang sekolah, sedangkan ruang guru terpisah tembok berada di belakang ruang Pak Sholeh.
Tapi suatu waktu saya bisa bertemu beliau di ruang kepala sekolah ketika saya dipanggil menghadapnya. Rupanya Pak Sholeh mendapat surat dari siswa. Isinya mengritik gaya mengajar saya.
Sambil memegang surat itu, Pak Sholeh—dengan senyum khasnya, juga suaranya yang kalem—menyampaikan isinya. Saya diminta memperbaiki gaya mengajar yang dianggap keras. Itulah pertemuan terakhir saya dengan Pak Sholeh, sebab setelah itu saya mengundurkan diri sebagai guru di SMA Muhammadiyah 1 Babat. (*)
Selamat jalan Pak Sholeh, semoga Allah memberi ampunan dan menerima segala amal shalehmu! Tulisan ini untuk menebus dosa saya yang tak pernah mengunjungimu. (*)