Berbekal Ketakwaan Meraih Kebahagiaan Dunia Sini dan Dunia Sana
Oleh Prof. Dr. H. Biyanto, M.Ag, Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur di Lapangan Hockey Darmawangsa Surabaya.
إِنَّ الْحَمْدَ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أشْهَدُ أنْ لاَ إِلٰه إلاَّ اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
عِبَادَ اللهِ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ، أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Allahu Akbar 2x, Walillahi al-Hamd
Hadirin yang dirahmati Allah,
Marilah kita bersyukur pada Allah SWT. atas semua limpahan rahmat, nikmat, dan karunia yang tak terhingga. Dengan semua nikmat Allah itu, pada hari ini kita dapat merayakan Idul Fitri 1444 Hijriah layaknya sebagai hari kemenangan.
Disebut hari kemenangan karena kita mampu melewati rangkaian ibadah Ramadhan tahun ini selama sebulan penuh. Sebagai bagian dari ungkapan bersyukur kita selalu menyebut pemberi rahmat dan nikmat, yakni Allah, serta menampakkan kesyukuran itu dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai hamba yang bersyukur, kita juga wajib menggunakan rahmat dan nikmat sebagaimana diperintahkan Allah. Termasuk menunaikan ibadah puasa dan melaksanakan shalat ‘Idul Fitri pada pagi hari yang penuh berkah. Kita bermunajat, semoga seluruh rangkaian ibadah kita selama bulan Ramadhan diterima oleh Allah.
Allahu Akbar 2x, Walillahi al-Hamd
Hadirin yang dirahmati Allah,
Baru saja kita berpisah dengan bulan Ramadhan yang mulia (al-Karim). Hari ini kita pun memasuki bulan Syawwal, bulan kesepuluh dalam kalender Hijriah. Kata Syawwal secara luas dipahami sebagai bulan peningkatan amal ibadah.
Dalam kaitan itulah kita berharap, semoga nilai-nilai kebaikan dari bulan suci Ramadhan menjadi bekal bagi kita untuk meningkatkan ramal kebaikan. Pada konteks itulah komitmen kita dalam beribadah benar-benar diuji; Apakah sebelas bulan mendatang kita masih istiqomah (konsisten, ajek) di jalan Allah? Pertanyaan ini penting dijawab dengan menunjukkan keteguhan kita dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah.
Dalam suasana perayaan Idul Fitri kita juga dianjurkan untuk saling mendoakan seraya mengucapkan; taqabbalallahu minna wa minkum wa ja’alana minal ‘aidin wal faizin (semoga Allah menerima amal ibadah kita dan kamu serta menjadikan kita dalam golongan orang-orang yang kembali dan beruntung).
Dari segi bahasa, minal ‘aidin, berarti semoga kita termasuk orang-orang yang kembali pada fitrah, yakni asal kejadian, kesucian, atau agama yang benar. Sementara kata al-faizin berarti keberuntungan atau kemenangan. Dengan demikian, ungkapan minal ‘aidin wal faizin sekaligus menjadi doa agar kita suci-bersih dari segala dosa, baik yang tampak atau tersembunyi, yang sengaja atau tidak sengaja. Kita juga bermohon pada Allah untuk dimasukkan dalam golongan orang-orang yang beruntung dan memperoleh surga yang penuh dengan kenikmatan.
Jika ditelusuri ayat-ayat Al-Quran yang menggunakan kata dasar fawz, maka akan ditemukan makna pengampunan dan keridhaan Allah serta kebahagiaan surgawi. Karena itu, ungkapan wal faizin dipahami sebagai doa dan harapan; semoga kita yang telah beribadah sepanjang Ramadhan termasuk orang-orang yang memperoleh ampunan dan ridla Allah.
Harus disadari bahwa seluruh waktu pada siang dan malam hari bulan Ramadhan, Allah telah memberikan pengampunan pada hamba-Nya. Yakni, hamba yang mau menunaikan ibadah puasa (shiyam) dan shalat malam atau teraweh (qiyam layl). Dalam hal ini, Nabi bersabda; Man shama Ramadhana iymanan wahtisaban ghufira lahu ma taqaddama min dzanbih (Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharapkan ampunan Allah, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya di masa lalu) [HR. Bukhari].
Dengan redaksi yang hampir sama, Nabi juga bersabda; Barangsiapa yang melaksanakan qiyamu Ramadhan (teraweh) dengan penuh keimanan dan muhasabah, maka dia diampuni dosa-dosanya oleh Allah swt (HR. Bukhari dan Muslim).
Bahkan, Nabi SAW dengan tegas mencela orang yang melewatkan Ramadhan begitu saja dan tidak mau mengisi bulan suci ini dengan amalan-amalan terbaik. Mereka pasti tidak akan memperoleh ampunan dari Allah. Mereka inilah yang disebut Nabi SAW sebagai orang yang celaka. Dalam kaitan ini Nabi bersabda: bu’dun man adraka Ramadhana falam yughfar lahu (Sungguh celaka orang yang Ramadhan telah datang padanya dan ia tidak memperoleh ampunan dari Allah).
Allahu Akbar 2x, Walillahi al-Hamd
Hadirin yang dirahmati Allah,
Dalam suasana merayakan hari kemenangan, kita dianjurkan untuk senantiasa berlapang dada, mengulurkan tangan, dan saling memaafkan. Allah berfirman:
وَلاَ يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلاَ تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ.
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka tidak akan memberikan bantuan kepada kaum kerabatnya, orang-orang miskin, dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Nur [24]: 22).
Firman Allah tersebut mengajarkan betapa penting sikap berlapang dada dan saling memaafkan. Jika Allah saja bersifat Maha Pengampun dan Maha Penyayang, maka sebagai hamba-Nya, kita tidak layak sombong dengan tidak mau saling memaafkan kesalahan sesama. Dengan berlapang dada dan saling memaafkan, kita berharap terbebas dari dosa dan kesalahan baik yang dilakukan pada Allah maupun sesama manusia.
Sebagai buah dari ibadah Ramadhan, maka insha Allah kita telah mendapatkan ampunan dari Allah, termasuk dosa-dosa kita pada masa lampau. Tetapi untuk kesempurnaan ibadah Ramadhan, maka pada hari kemenangan ini marilah kita saling memaafkan agar terbebas dari kesalahan yang pernah kita perbuat pada orang tua, suami/istri, saudara, kerabat, guru, pimpinan, kolega, sahabat, dan tetangga. Kita berharap setiap pribadi berlapang dada seraya membuka pintu maaf yang seluas-luasnya.
Allahu Akbar 2x, Walillahi al-Hamd
Hadirin yang dirahmati Allah,
Jika perhatikan secara seksama, maka kita akan menemukan bahwa salah satu pengalaman ruhani yang terpenting dan dirasakan orang berpuasa adalah perasaan dekat dengan Allah. Dalam persektif kaum sufi, kondisi itu dinamakan dengan muraqabah. Perasaan itu hadir karena kita merasa diawasi oleh Allah.
Perasaan senantiasa diawasi Allah itulah sejatinya substansi dari ajaran bertakwa. Bertakwa berarti menjadikan diri berhati-hati karena merasa diawasi Allah (ja‘ala al-nafsu fi al-wiqayati). Derajat ketakwaan inilah yang menjadi tujuan akhir dari pelaksanaan ibadah puasa (QS. al-Baqarah [2]: 183). Dengan demikian, buah dari ibadah puasa sejatinya adalah sikap dan perilaku yang selalu berhati-hati dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Bertakwa berarti kita menyadari kehadiran Allah dalam kehidupan. Ada kesadaran bahwa Allah selalu hadir dalam seluruh aktivitas kita (omnipresent). Takwa adalah kalau kita mengerjakan segala sesuatu, kita kerjakan dengan kesadaran penuh bahwa Allah beserta kita, Allah mengawasi kita, dan Allah memperhitungkan semua amal ibadah kita.
Dalam Al-Quran digambarkan bagaimana kita seharusnya menjalani kehidupan berdasarkan kesadaran yang mendalam bahwa Allah menyertai kita. Allah berfirman:
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي اْلأَرْضِ مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلاَثَةٍ إِلاَّ هُوَ رَابِعُهُمْ وَلاَ خَمْسَةٍ إِلاَّ هُوَ سَادِسُهُمْ وَلاَ أَدْنَى مِنْ ذَلِكَ وَلاَ أَكْثَرَ إِلاَّ هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ.
“Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi? Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya. Dan tiada pembicaraan antara lima orang, melainkan Dia-lah yang keenamnya. Dan tiada pula pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada bersama mereka di mana pun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitakan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Mujadilah [58]: 7).
Kalam ilahi tersebut mengingatkan bahwa Allah tidak pernah absen dari kehidupan kita. Seluruh kegiatan yang kita lakukan akan direkam oleh Allah. Kita pun dituntut untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatan tersebut kepada-Nya pada hari kiamat. Kalau kita menyadari bahwa Allah senantiasa hadir dalam kehidupan sehari-hari, maka kita akan dibimbing untuk menempuh hidup yang penuh hidayah. Kita pun meyakini bahwa semua kesulitan dalam hidup pasti akan teratasi dengan pertolongan Allah. Kita tidak akan sendiri menghadapi problematika kehidupan karena Allah senantiasa bersama kita dimanapun kita berada.
Keyakinan itulah yang ditanamkan Nabi Muhammad pada sahabatnya, Abu Bakar Ash-Shiddiq, tatkala menyertai beliau bersembunyi di Gua Tsur dalam perjalanan hijrah dari Mekkah ke Madinah. Pada waktu itu hampir saja kaum kafir Quraisy mengetahui keberadaan beliau berdua. Dalam situasi yang menegangkan itulah Nabi mengatakan; “Janganlah kamu takut, sesungguhnya Allah bersama kita.” Pertolongan Allah yang menyertai perjalanan rahasia Nabi Muhammad dan Abu Bakar itu diabadikan dalam firman Allah:
إِلَّا تَنصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ ٱللَّهُ إِذْ أَخْرَجَهُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ ثَانِىَ ٱثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِى ٱلْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَٰحِبِهِۦ لَا تَحْزَنْ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَنَا ۖ فَأَنزَلَ ٱللَّهُ سَكِينَتَهُۥ عَلَيْهِ وَأَيَّدَهُۥ بِجُنُودٍ لَّمْ تَرَوْهَا وَجَعَلَ كَلِمَةَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ ٱلسُّفْلَىٰ ۗ وَكَلِمَةُ ٱللَّهِ هِىَ ٱلْعُلْيَا ۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad), maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Makkah) mengeluarkannya (dari Mekkah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata: Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah bersama kita. Maka, Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. al-Taubah [9]: 40).
Allahu Akbar 2x, Walillahi al-Hamd
Hadirin yang dirahmati Allah,
Pengalaman berpuasa memberikan keyakinan bahwa hidup berasas takwa sangat penting. Dengan berasas nilai-nilai ketakwaan, yakni kehati-hatian dan selalu waspada, kita memperoleh pelajaran tentang makna kejujuran (al-shidq). Puasa jelas sekali mengajarkan kejujuran pada setiap pribadi. Melalui ibadah puasa kita belajar untuk bersikap jujur pada orang lain, jujur pada diri dan hati nurani, serta jujur pada Allah.
Nilai-nilai kejujuran inilah yang sangat dibutuhkan saat sesama anak bangsa mengalami situasi low trust community, bahkan zero trust community. Salah satu indikatornya, terjadinya gejala saling tuduh, saling menyandera, dendam kusumat, menebar ujaran kebencian (hate speech), dan memviralkan berita hoax. Suasana seperti itu kita rasakan hingga kini. Bahkan, kondisi itu semakin meningkat intensitasnya pada tahun-tahun politik menjelang pemilu 2024.
Suasana saling menebar kebencian melalui berita palsu alias berita bohong (hoax) menunjukkan betapa kondisi kita sebagai bangsa sangat rapuh.
Budaya literasi di antara kita juga menunjukkan trend yang rendah. Dampaknya, kita begitu mudah terperdaya berita-berita yang belum jelas kebenarannya. Ibadah Ramadhan yang mengajarkan kejujuran penting menjadi momentum untuk merajut kebersamaan dan membangun kepercayaan satu sama lain dalam kehidupan berbangsa. Penting juga diserukan agar kita menjadi bangsa yang jujur sehingga negeri tercinta terhindar dari bahaya yang lebih besar. Mengenai pentingnya sikap kejujuran dalam kehidupan ini Nabi Muhammad bersabda:
إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ.
“Sesungguhnya kejujuran itu dapat membawa kepada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan itu dapat membawa ke surga Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud).
Allahu Akbar 2x, Walillahi al-Hamd
Hadirin yang dirahmati Allah,
Nilai-nilai ketakwaan juga berkaitan dengan akhlak mulia (al-akhlaq al-karimah). Takwa dan akhlak mulia merupakan dua hal yang tidak terpisahkan satu dengan yang lain. Buah dari nilai-nilai ketakwaan pastilah akhlak mulia. Ketakwaan dan akhlak mulia inilah yang menjadi kunci setiap orang memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Nabi Muhammad bersabda:
سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَكْثَرُ مَا يُدْخِلُ الْجَنَّةَ قَالَ التَّقْوَى وَحُسْنُ الْخُلُقِ وَسُئِلَ مَا أَكْثَرُ مَا يُدْخِلُ النَّارَ قَالَ الْأَجْوَفَانِ الْفَمُ وَالْفَرْجُ.
“Nabi SAW ditanya; Apakah yang paling banyak memasukkan orang ke surga? Nabi menjawab, takwa dan akhlak yang mulia. Nabi juga ditanya; Apa yang paling banyak memasukkan orang ke neraka? Nabi menjawab, dua macam lubang yaitu mulut dan kemaluan.” (HR. Ibn Majah).
Jika nilai-nilai ketakwaan dipahami secara benar, maka setidaknya ada dua manfaat yang kita bisa peroleh (Nurcholish Madjid: 2000). Manfaat pertama, nilai-nilai ketakwaan akan memberikan keyakinan dalam hidup bahwa Allah Maha Besar (Allahu Akbar). Dengan keyakinan ini kita selalu merasa tidak pernah sendirian dalam mengarungi kehidupan. Seberapapun besar kesulitan yang kita hadapi, selalu ada keyakinan bahwa Allah bersama kita. Kita senantiasa menyandarkan semua problematika kehidupan pada Allah. Sikap hidup menyandarkan diri pada Allah itulah yang dinamakan dengan tawakkal.
Melalui al-asma’ al-husna, kita diajarkan bahwa salah satu sifat Allah adalah al-Wakil (tempat bersandar). Tidak ada yang layak dijadikan sandaran dalam hidup selain Allah. Semua selain Allah adalah kecil. Yang Maha Besar hanya Allah semata.
Jika kita bersandar pada selain Allah, maka yang selain Allah itu pasti akan datang dan pergi. Jika kita bergantung pada orang yang berkuasa atau orang yang kaya, maka kekuasaan dan kekayaan itu sementara, tidak abadi. Karena itu, bermohonlah/bersandarlah hanya pada Allah. Allah berfirman:
حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ
“Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” (QS. Ali Imran/3: 173).
Manfaat kedua, dengan bertakwa pada Allah, kita akan terus dibimbing menjadi pribadi yang berakhlak mulia. Dengan berbekal kesadaran bahwa Allah selalu bersama, kita tidak akan melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan-Nya.
Kita akan senantiasa berbuat sesuai keridlaan-Nya. Hal itu terjadi karena nilai-nilai ketakwaan akan menjadi semacam pengawasan yang melekat (waskat). Dengan begitu, akan tumbuh sikap kehati-hatian dalam diri kita. Sikap kehati-hatian ini penting karena dapat membimbing seseorang menjalani kehidupan yang diridloi Allah.
Ditegaskan oleh Nabi Muhammad bahwa sesuatu yang diridlai Allah pasti sesuai dengan hati nurani. Karena itulah kita harus senantiasa bertanya pada hati nurani agar memperoleh petunjuk untuk menempuh kehidupan yang diridloi Allah.
Dengan menjadikan nilai-nilai ketakwaan sebagai asas dalam kehidupan, kita akan bahagia di dunia sini dan dunia sana (akhirat). Akhirnya, semoga Allah senantiasa memberikan hidayah dalam setiap langkah kita. Semoga Allah juga menerima seluruh amal ibadah kita dan mengampuni dosa-dosa kita. Sehingga pada hari kemenangan ini, kita termasuk hamba yang memperoleh derajat bertakwa (muttaqun).
Allahu Akbar 2x, Walillahi al-Hamd
Hadirin yang dirahmati Allah,
Mengkahiri khutbah Idul Fitri ini, marilah kita bemunajat kepada Allah SWT untuk kebaikan dan kebahagiaan kita di dunia sini dan dunia sana (akhirat). Semoga Allah mengabulkan munajat kita. Amin.
ربَنَّاَ ظَلمَنْاَ أنَفْسُناَ، واِنْ لمْ تَغَفْرِلْنَاَ وتَرَحْمنْاَ لَنَكُوْنَناَّ مِنَ الْخاَسِريِنَ،
رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا اِنْ نَسِيْنَا اَوْ اَخْطَأْنِا، رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا اِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا، رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَا لاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ، وَاعْفُوْا عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا اَنْتَ مَوْلاَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.
رَبَّنَا آتِنَا فِيْ الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِيْ اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ، ربنا تقَبَّلْ منِاَّ وَاسْتَجِبْ دُعَائنَاَ إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْع العْلَيِمْ وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ اَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ.
وَسُبْحَانَكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلامٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.