Khotbah Membawa Tangis di Desa Latalata oleh dr Abdul Haris Nasrudin SpBd, Jamaah Masjid asy-Syifa RSUD Labuha Bacan Maluku Utara.
PWMU.CO– Perjalanan kali ini untuk menjadi imam Idul Fitri di Desa Latalata Kec. Kasiruta Barat, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara.
Ini terkait belum ada pengganti imam desa yang barusan meninggal. Perjalanan ini kerja sama Jamaah Masjid asy-Syifa (JMS) RSUD Labuha dan Lazismu Jawa Timur.
Perjalanan dengan perahu kecil JMS dimulai sejak Kamis (20/4/2023) sore dari Labuha Bacan. Alhamdulillah perjalanan malam ini cukup nyaman. Ombak dan cuaca bersahabat dengan kami.
Seperti biasa antusias warga ketika kami datang sangat tinggi. Kami berbincang dengan yang mualaf di Masjid Muhajirin selepas shalat Jumat sekalian membahas bagaimana agenda besok hari serta fikih shalat Idul Fitri.
Malamnya semua mualaf sibuk memasak dan membuat kue. Ada yang datang ke rumah tempat kami menginap minta izin menyambung listrik dan belanja.
Setelah berdiskusi akhirnya kami memutuskan untuk menambah pemahaman tentang makna Idul Fitri dan Syawal menjadi tema khotbah Idul Fitri.
Tibalah saat Sabtu (22/4/2023) Subuh kami shalat di masjid. Usai shalat Pak Wakil Imam menyampaikan nanti yang bertugas bapak ini dan itu. Persiapan sudah lengkap dan siap untuk shalat Idul Fitri. Kami mengusulkan agar ditambah tutorial singkat cara shalat Idul Fitri sebelum shalat dilaksanakan dan alhamdulillah disetujui.
Tangisan
Saat kami naik khotbah, seperti biasanya kami sampaikan dengan bahasa sederhana. Menjelang akhir khotbah kami sampaikan,”Banyak saudara-saudari saat Lebaran tahun lalu masih bersama kita dan kita sempat sungkem ataupun minta maaf kepada mereka. Ada pula saat Ramadhan mereka bersama kita, tapi tahun ini mereka mendahului kita karena Allah lebih sayang kepada mereka.” Dilanjutkan dengan doa.
Pecahlah tangis dari hampir semua jamaah baik laki-laki maupun perempuan. Begitu pula perasaan kami bercampur aduk antara sedih, haru, dan bahagia.
Selesai khotbah, salah seorang memimpin takbir masih disertai dengan tangisan sampai selesai. Lalu kami membuat barisan untuk saling bersalaman dan bermaaf-maafan. Ternyata tangis mereka masih terisak. Bahkan sebagian jamaah menangis lebih dahsyat.
Kami kembali ke rumah untuk makan. Agenda berikutnya silaturahmi keliling rumah masyarakat muslim. Kami teruskan silaturahmi ke kepala desa. Di sana beliau juga sampaikan hal yang sama. ”Pak Ustadz, saya baru kali ini menangis karena khotbah.”
Yang lain juga menimpali dengan ekspresi yang lebih antusias. ”Mustinya khotbah itu begitu, kita tara mampu… kita me menangis…”
Saat kita silaturahmi ke rumah Ibu Fuska yang dijuluki Bibi Desa (perempuan paling cerewet sedesa). Beliau juga sampaikan,”Pak Ustadz, pe khotbah ampuun, tara tahaaan.”
Itu pula yang disampaikan warga di beberapa rumah yang kami singgahi silaturahmi. Ibu Fuska memberitahu ada band Nasrani yang mau bertemu. Mau menghibur ustadz. Menghormati hari raya ustadz. Akhirnya kami teruskan silaturahmi ke rumah Pak Hasan, Ketua BPD Latalata.
Baru saja mengobrol beliau ulangi lagi komentar,”Pak Ustadz, khotbahnya bagus kami sangat tersentuh. Saya baru tahu ada khotbah sebagus itu. Saya lihat semua jamaah menangis. Jamaah sampaikan khotbahnya bikin kami tidak sanggup tahan air mata. Harusnya ustadz itu dari dulu khotbah di sini.”
Kami segera pamit kembali ke rumah kami menginap untuk menunggu band Nasrani yang mau berkunjung.
Respon Non Muslim
Di rumah ternyata sudah ada Om Adred, Sekretaris Desa yang non muslim, menunggu. Baru saja kami sapa langsung di berkata,”Pak Ustadz, kami semua menyimak Pak Ustadz pe khotbah dari kampung sebelah. Di sana malah lebih jelas terdengar suara toanya.”
Dalam hati kami bertanya apa ada masalah dengan isi khotbah Idul Fitri tadi. Dengan perasaan berdebar dan khawatir saya mendengar penjelasannya dan bersiap untuk meminta maaf jika ada yang salah.
”Kami dengar Pak Ustadz pe khotbah tadi. Kami semua menangis. Padahal banyak yang mabuk itu anak-anak. Bukan hanya saya, banyak sekali di antara kami non-muslim menangis karena terharu dan sangat terharu. Bagaimana eee kami menyampaikan…,” sambil berkaca-kaca dan berat suaranya.
”Seumur hidup, kami baru tahu doa seluar biasa itu… Kami sangat suka dan kami senang mendengarkan walaupun bukan dari pendeta kami. Kami rasa khotbah Pak Ustadz sangat lengkap karena bahas anak dengan orangtua atau sebaliknya, bahas antar pasangan, antar saudara, antar tetangga dan lengkap pokoknya, terutama doanya, kami pe air mata meleleh,” ujarnya.
”Pak Ustadz sebaiknya jadi imam di Desa Latalata ini. Kami non muslim tidak keberatan dan bersyukur kalau Pak Ustadz jadi imam di Desa Latalata,” tuturnya.
Perasaan ini bercampur aduk, tidak menyangka khutbah itu sampai berefek kepada non-muslim di kampung sebelah.
Obrolan kami lanjutkan dengan mendengar tanggapan non-muslim terhadap dakwah kami dan lain-lain. Bahkan kami cukup kaget dengan keluhan masyarakat non-muslim terhadap pendeta mereka sendiri dan dibanding-bandingkan dengan kami.
Malam hari kami merenung, selama ini para dai yang berdakwah di sini bagaimana pembinaan mereka, masyarakat diarahkan ke mana, dengan cara apa dan seterusnya.
Semoga dai dan pembinaan dari JMS bisa lebih baik ke depannya. Seperti itu pula pembinaan di desa-desa lainnya.
Desa Latalata adalah desa mualaf binaan Jamaah Masjid asy-Syifa (JMS) Halmahera Selatan. Terdapat beberapa desa mualaf di pesisir Halmahera Selatan. Karena keterbatasan belum bisa menjadikan desa desa tersebut sebagai desa dakwah binaan kami.
Editor Sugeng Purwanto