Refleksi Hisab dan Rukyat oleh Dr Dian Berkah, Dosen Fakultas Agama Islam UM Surabaya, Wakil Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Jawa Timur
PWMU.CO– Hisab dan rukyatul hilal menjadi perdebatan tahun 1444/2023 karena terjadi perselisihan. Bagi Muhammadiyah soal itu sudah selesai karena memakai hisab atau astronomi.
Sekali menghitung sudah bisa menentukan dimulainya puasa Ramadhan, Idul Fitri 1 Syawal, dan 10 Dzulhijjah untuk perayaan Idul Adha.
Muhammadiyah memilih hisab juga melaksanakan sunnah Nabi dan perintah Allah dalam al-Quran. Surat al-Baqarah ayat 185 menjelaskan
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَن كَانَ مَرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُواْ الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ اللّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Beberapa hari yang ditentukan itu ialah bulan yang di dalamnya diturunkan al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan petunjuk dan pembeda antara yang hak dan batil Karena itu, barangsiapa di antara kalian menyaksikan di bulan itu, maka berpuasalah dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan maka boleh mengganti pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu . Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.
Secara langsung kita dapat melihat pada kalimat
فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Dari ayat di atas. Menurut Yasin dalam kitabnya al-Tafsir al-Shahih ia menjelaskan potongan ayat tersebut dengan merujuk kepada hadits Rasulullah berasal dari Ibn Umar, ketika Rasulullah menyebutkan bulan Ramadhan, lalu beliau bersabda janganlah berpuasa sebelum kamu melihat hilal dan janganlah berbuka sebelum melihatnya, dan jika mendung menyelimuti kalian, maka perkirakanlah hilal itu”.
Lebih jelasnya dapat dilihat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari nomor 1906 sebagai berikut
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بِنْ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ َنافِع عَنْ عَبْدِ اللهِ بِنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص.م. ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ: لاَ تَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوُا الهِلاَلَ, وَلاَ تُفْطِرُوْا حَتَّى تَرَوْهُ, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرًوْا لَهُ.
Abdullah bin Salamah menceritakan kepada kami dari Malik dari Nafi’, dari Abdullah bin Ibn Umar bahwasanya Rasulullah menyebutkan bulan Ramadhan lalu beliau bersabda, “janganlah berpuasa sebelum kamu melihat hilal dan janganlah berbuka sebelum melihatnya, dan jika mendung menyelimuti kalian, maka perkirakanlah hilal itu”.
Walaupun sumbernya sama dengan kelompok umat lainnya tapi masih saja menimbulkan perbedaan soal tafsirnya.
Jika dicermati perbedaan tersebut hanya berpusat pada perbedaan memahami dan menjelaskan potongan hadits فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ (jika mendung menyelimuti kalian).
Puasa merupakan ibadah mahdah, sehingga dapat dipastikan perkara itu dijelaskan rinci dalam al-Quran dan al-Hadits. Terdapat dua hadits Rasulullah dari Ibn Umar yang merangkum potongan kalimat di atas dan di dalam hadits itu sendiri dapat ditemukan kalimat penjelas yang dapat menjawab perbedaan yang terjadi dewasa ini. Hadits yang dimaksud sebagai berikut.
Pertama, hadits yang pertama ini menjelaskan ketika terjadi mendung, maka lengkapilah bilangan 30 hari di bulan Sya’ban. Keterangan tersebut berdasarkan hadits dari Ibn Umar yang diriwayatkan oleh Bukhari nomor 1907 di bawah ini,
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بِنْ مَسْلَمَةَ حَدّّثَنَا مَالِكُ عَنْ عَبْدِ اللهِ بِنْ دِيْنَارِ عَنْ عَبْدِ اللهِ بِنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص. م قَالَ الشَهْرُ تِسْعُ وَعِشْرِيْنَ لَيْلَةً, فَلاَ تَصُوْمُوْا حَتىَ تَرَوْهُ, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا العِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ.
Abdullah bin Maslamah menceritakan kepada kami bahwa Malik menceritakan kepada kami dari Abdillah bin Dinar dari Abdillah bin Umar bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: Bulan itu dua puluh sembilan malam, maka janganlah kamu berpuasa sebelum melihatnya dan ketika mendung menyertai kalian, maka lengkapilah tiga puluh hari di bulan Sya’ban.
Kedua, hadits yang kedua ini menjelaskan ketika terjadi mendung, maka perkirakanlah hilal itu. Petunjuk tersebut berdasarkan hadits dari Ibn Umar yang diriwayatkan oleh Bukhari nomor 1906 sebagaimana di awal sebagai berikut,
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بِنْ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ َنافِع عَنْ عَبْدِ اللهِ بِنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص.م. ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ: لاَ تَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوُا الهِلاَلَ, وَلاَ تُفْطِرُوْا حَتَّى تَرَوْهُ, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرًوْا لَهُ.
Abdullah bin Salamah menceritakan kepada kami dari Malik dari Nafi’, dari Abdullah bin Ibn Umar bahwasanya Rasulullah menyebutkan bulan Ramadhan, lelu beliau bersabda “janganlah berpuasa sebelum kamu melihat hilal dan janganlah berbuka sebelum melihatnya, dan jika mendung menyelimuti kalian, maka perkirakanlah hilal itu”
Perkiraan inilah disebut hisab. Metode perhitungan kedudukan bulan guna menentukan awal bulan qamariyah (bulan berdasarkan peredaran bulan), baik untuk kepentingan ibadah (misalnya puasa, hari raya, wukuf) maupun untuk menentukan kalender setiap bulan.
Perkembangan Hisab
Dalam perjalanannya metode hisab ada perkembangan. Berawal dari hisab urfi (perhitungan berdasarkan perjalanan bulan dan matahari secara rata-rata), hisab hakiki (perhitungan berdasarkan kedudukan bulan saat matahari tenggelam), hisab hakiki taqribi (dengan cara mencari selisih antara waktu tenggelamnya matahari dikurangi waktu ijtima’ dan dibagi dua), hingga hisab kontemporer (hisab dengan data mutakhir dari ahli astronomi dalam melihat waktu ijtima’dan kedudukan hilal saat matahari tenggelam).
Sampai di sini, dengan melihat keadaan geografis Indonesia -yang sangat tidak memungkinkan untuk melihat hilal secara langsung (rukyah) karena cuaca mendung, maka sudah seharusnya setiap muslim membuka hati dan pikiran untuk melihat perkembangan ilmu pengetahuan mutakhir dalam menentukan awal bulan Ramadhan.
Berdasarkan pengalaman mengikuti rukyah al-hilal tidak pernah berhasil melihat hilal sekalipun menggunakan teropong yang memadai karena keadaan cuaca yang selalu mendung. Meskipun ada juga yang akhirnya melihat hilal itu dengan berbagai situasi yang terjadi.
Dengan meminjam pendapat Muhammad Rasyid Ridha ”saling tolong-menolonglah dalam persamaan dan saling menghargai di dalam perbedaan” itulah sikap yang harus ditanamkan dewasa ini.
Mengingat kedua cara yang dilakukan dalam menentukan awal bulan Ramadhan (baik rukyat dan hisab) tetap berselimutkan semangat syara’. Pasti, kesamaan dan perbedaan akan terus terjadi dulu dan esok.
Bismillah, kebersamaan dan perbedaan itu meningkatkan jiwa saling tolong menolong dan jiwa saling menghargai dalam berbedaan.
Editor Sugeng Purwanto