Oknum BRIN Minim Brain; Oleh Prima Mari Kristanto
PWMU.CO – Hari Raya Idul Fitri yang semestinya dipenuhi suasana damai mendadak ramai dengan polemik beda penetapan 1 Syawal 1444. Polemik yang sebenarnya sudah selesai pada mereka yang sama-sama berijtihad menggunakan akal sehat, ilmu, iman, dan sikap toleran.
Namun tidak demikian dengan oknum ilmuwan dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bernama Thomas Djamaluddin. Oknum tersebut sejak jauh hari demikian terang-terangan menyerang metode hisab Muhammadiyah. Serangan oknum tersebut pada Muhammadiyah disusul ujaran oknum lain masih produk BRIN yang menghalalkan darah warga Muhammadiyah karena dianggap membuat gaduh.
Aneh bin ajaib, seperti sulap dan sihir, sikap oknum-oknum BRIN sulit diterima akal sehat sebagai seorang ilmuwan dan abdi negara.
Seorang ilmuwan semestinya menghargai perbedaan pendapat tanpa merasa paling hebat. Sikap arogan oknum BRIN bernama Thomas Djamaluddin dalam tulisannya di media sosial jelas menyebut metode hisab yang digunakan Muhammadiyah “kuno”.
Sejumlah argumentasi ilmiah disampaikan Thomas Djamaluddin disertai tuduhan arogansi ormas pada Muhammadiyah. Ibarat pepatah “menepuk air di dulang terpercik muka sendiri”, dengan menuduh Muhammadiyah sebagai ormas arogan, Thomas Djamaluddin justru sedang menampakkan arogansi lembaga BRIN.
Sebagai seorang abdi negara di lembaga negara tanpa sadar oknum BRIN sedang mendemonstrasikan kekuasaan dan keputusan di luar pemerintah salah. Oknum BRIN lebih menampakkan pendapatnya sebagai bagian dari kekuasaan daripada seorang ilmuwan. Sikap arogan oknum BRIN pernah ada dan terjadi pada masa abad pertengahan.
Vonis dan eksekusi hukuman mati pernah dijatuhkan pada ilmuwan Galileo Galilei yang menyampaikan pendapat bahwa bumi bulat, bukan datar. Pendapat Galileo Galilei pada masanya bertentangan dengan pendapat umum bersama penguasa. Berganti-ganti abad kemudian baru diyakini bahwa bumi bulat dibuktikan oleh para penjelajah samudera di kisaran akhir tahun 1490-an.
Ilmu astronomi warisan peradaban Islam dikenal sebagai ilmu falakh. Kata astronomi sendiri diambil dari nama ilmuwan muslim Miriam Astrulabi yang menekuni ilmu falak secara ilmiah.
Ilmuwan Muslim
Jika kebanyakan ilmuwan sekuler mengandalkan otak atau brain dalam pengembangan ilmu pengetahuan, ilmuwan Muslim menggunakan akal yang lebih kompleks dari otak. Akal berhubungan dengan kematangan jiwa seseorang di samping kecukupan kapasitas untuk berpikir dan bertindak.
Aqil baligh dalam Islam menjadi syarat seorang Muslim menjalankan syariat Islam. Tataran selanjutnya aqil baligh dan akal sehat menjadi syarat bagi seseorang muslim untuk dijadikan panutan umat dalam menyampaikan pendapat, fatwa hasil ijtihad berbasis ilmu yang dipelajari.
Wilayah ijtihadi hanya bisa dimasuki dan dimengerti orang-orang terpilih, bukan eksklusif tetapi setiap cabang ilmu dan urusan dalam agama Islam ada spesialiasi.
Keilmuan Islam sangat menghargai perbedaan pendapat sepanjang sama-sama melalui proses ijtihad oleh pihak-pihak dengan kompetensi ilmu dan iman yang memadai.
Menyikapi arogansi oknum-oknum BRIN Thomas Djamaluddin dan AP Hasanuddin dengan kepala dingin sebagai cermin warga Islam Berkemajuan. Dari namanya apakah Thomas Djamaluddin dan AP Hasanuddin seorang muslim atau bukan? Jika Muslim perlu mendalami ayat “al haqqu mirabbika falatakunana minal mumtarin” yang artinya kebenaran hanya milik Allah, bukan milik BRIN, pemerintah, atau Muhammadiyah.
Jika bukan Muslim bisa belajar dari dua hari Natal 25 Desember dan 8 Januari yang bisa saling menghormati tanpa menuduh salah satu pihak menampilkan arogansi jamaah sampai menghalalkan pihak yang dianggap salah.
Ayo BRIN kedepankan akal dan brain. Masih banyak agenda bangsa yang bisa dikerjasamakan antara pemerintah dan Muhammadiyah dalam bidang-bidang muamalah, tanpa mencampuri urusan privat ibadah. Wallahualambishawab. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni