Dalil Dijadikan Dalih Menghina Muhammadiyah; Oleh Abd Sidiq Notonegoro; Anggota Majelis Pustaka, Informatika, dan Digitalisasi Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim.
PWMU.CO – Kedewasaan warga Muhammadiyah dalam mengendalikan emosi beberapa hari benar-benar sedang mengalami ujian dari para ‘pembenci’nya. Belum selesai persoalan dengan oknum peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Andi Pangerang Hasanuddin—yang dengan pongahnya mengancam “bunuh” terhadap warga Muhammadiyah—kini muncul lagi berita tentang ucapan seorang oknum ustadz di Payakumbuh, Sumatera Barat, bernama Hafzan El Hadi yang menyamakan Muhammadiyah dengan Syiah.
Keduanya mempunyai alasan yang sama untuk menghina Muhammadiyah, yaitu karena Muhammadiyah tidak menggunakan metode rukyatul hilal—tetapi memilih menggunakan metode wujudul hilal—utamanya dalam menentukan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Terlebih lagi, hasil wujudul hilal tidak selalu jatuh berbarengan atau sama dengan hasil dari rukyatul hilal. Karena berpotensi terjadinya perbedaan itulah, mereka melakukan provokasi kepada umat untuk menyingkirkan Muhammadiyah.
Kedua oknum tersebut secara banal memahami “perbedaan” sebagai benih perpecahan umat dan bangsa. Mereka seolah membutakan mata dan hatinya sehingga tidak mampu merenungi realitas kebangsaan Indonesia ini yang terkonstruksi dari berbagai keragaman. Jika asumsinya bahwa perbedaan sebagai benih perpecahan, tentu negeri ini tidak akan menjadi “negara kesatuan”. Jika asumsi perbedaan sebagai benih perpecahan umat, tentunya warga Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama tidak akan pernah hidup berdampingan sebagai bagian dari masyarakat bangsa.
Sayangnya, tidak setiap anak bangsa ini dewasa dalam menyikapi perbedaan dan keragaman. Sebagian kecil justru berpikiran kerdil dan picik sehingga tetap kukuh untuk memaksakan keragaman untuk menjadi keseragaman. Ada yang memaksakan dengan cara-cara anarkis, kotor dan sadis. Ada pula yang dengan cara mengotak-atik dalil untuk menjadi dalih.
Buah Fanatisme Berlebihan
Di tengah tekanan arus radikalisme ekstrem “kanan dan kiri” dalam kehidupan umat, Muhammadiyah secara konsisten berkomitmen untuk menjadi gerakan tengah yang adil dalam merespon berbagai persoalan keumatan. Muhammadiyah tidak menjadi gerakan yang anti pemerintah, sekaligus juga tidak menjadi organisasi yang hipokrit-oportunis.
Washatiah Islam Muhammadiyah yang berlandaskan ajaran dan nilai-nilai Qur’ani dan Sunnah Nabi dengan mengedepankan pendekatan humanis, estetis, logis dan saintis, tidak serta-merta diterima secara legowo. Sebaliknya, mereka justru tanpa malu untuk membunuh “akal logis”nya karena jiwanya terlanjur terkuasai oleh energi kebencian yang tak terkendali.
Tidak dipungkiri, makin hari kehadiran Muhammadiyah ditengah-tengah umat semakin terasakan. Amal usaha Muhammadiyah (AUM)—baik yang bersifat profit maupun sosial murni—mengalami perkembangan cukup signifikan dalam menjawab kebutuhan umat. Muhammadiyah, dengan plus AUM-nya, tampil sebagai kekuatan dakwah Islamiah semakin hari semakin memanen simpati. Fenomena pencerahan nan berkemajuan Muhammadiyah, tidak selalu diterima secara positif oleh kelompok-kelompok kepentingan. Namun justru diposisikan sebagai ancaman.
Muhammadiyah telah bertransformasi secara ekstensial melalui pergumulannya dengan berbagai problem sosial keagamaan, diakui atau tidak merupakan bagian dari diskursus gerakan Islam di Indonesia yang memiliki kekhasan tersendiri. Berangkat dari hal tersebut, diterima atau tidak, Muhammadiyah pun mewujud sebagai gerakan ideologis.
Ideologi Muhammadiyah merupakan ideologi keislaman yang menawarkan nuansa progresif dalam menempatkan Islam sebagai agama yang sesuai dengan perkembangan dinamika jaman. Sebagai misal, pengambilan metode wujudul hilal merupakan salah satu diantara komitmen Muhammadiyah dalam mengawal ajaran Islam untuk tetap relevan dengan tantangan jaman.
Namun disisi lain, semangat progresif Muhammadiyah dalam menghantarkan Islam yang mencerahkan dan berkemajuan ini, diposisikan sebagai ancaman serius oleh pihak-pihak yang merasa terancam eksistensi dan posisinya.
Dua Gerakan
Maka ada dua gerakan yang berupaya untuk melibas eksistensi Muhammadiyah. Pertama, dari pihak-pihak yang merasa terugikan dengan sikap Muhammadiyah yang tidak selalu ‘akomodatif’ dengan keinginan pemerintah. Posisi Muhammadiyah yang tidak “bermusuhan” dan sekaligus tidak “oportunis” terhadap pemerintah, justru dipandang sebagai sikap independensi Muhammadiyah yang tidak menguntungkan bagi pihak-pihak berkepentingan secara pragmatis kepada pemerintah.
Kedua, dari pihak-pihak yang berkepentingan untuk melakukan invasi ke dalam Muhammadiyah. Muhammadiyah yang tidak sekadar kaya dengan amal usaha, namun juga jumlah anggota yang secara kuantitatif cukup signifikan menjadi magnet tersendiri. Pihak ini kerapkali menampilkan eksistensinya sebagai benalu di Muhammadiyah. Mengail keuntungan di Muhammadiyah, tapi sekaligus sebagai penyakit di Muhammadiyah.
Di sisi lain, mereka berkehendak untuk melakukan absolutisme pemikirannya dengan ragam kepentingan yang dibawahnya, baik kepentingan pragmatisme jangka pendek maupun kepentingan ideologisme yang dipaksakan seolah-olah identik/mirip ideologi Muhammadiyah.
Belajar dari berbagai kezaliman yang ditujukan kepada Muhammadiyah, sudah seyogyanya kita—sebagai bagian dari Muhammadiyah itu sendiri—perlu kian meningkatkan kewaspadaan. Kewaspadaan menjadi sebuah keniscayaan ketika eksistensi Muhammadiyah kian hari kian diperhitungkan, dan aset AUM semakin berkembang pesat.
Ancaman “bunuh” terhadap warga Muhammadiyah mungkin cukup mudah kita respon balik. Dan saya yakin tidak ada satu pun warga Muhammadiyah yang tidak marah dengan ancaman tersebut. Akan tetapi, apakah semua warga Muhammadiyah marah ketika ada yang menyamakan Muhammadiyah dengan Syiah? Dalam hal ini bisa jadi warga Muhammadiyah terbelah dalam menyikapinya. Sama artinya, apakah semua warga Muhammadiyah menerima dengan legowo keputusan Majelis Tarjih dań Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah menetapkan wujudul hilal sebagai alat untuk menentukan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha?
Kita lihat saja bagaimana sensitivitas respon warga Muhammadiyah antara kepada Andi Pangerang Hasanuddin serta kepada Hafzan El Hadi. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni