Salah Paham dengan Muhammadiyah oleh Sugeng Purwanto, Wakil Ketua Majelis Pustaka, Informasi, dan Digitalisasi PWM Jawa Timur.
PWMU.CO– Kasus peneliti BRIN (Badan Riset dan Inovasi Indonesia) Andi Pangerang Hasanuddin yang mengancam bunuh warga Muhammadiyah satu persatu dan Profesor Thomas Djamaluddin yang menyudutkan Muhammadiyah karena beda Idul Fitri memancing perdebatan di media sosial.
Salah satu perdebatan itu ada yang menulis Muhammadiyah pernah menjadi anak emas Orde Baru karena selalu mendapat jatah menteri agama.
Benarkah tuduhan bahwa Muhammadiyah selalu mendapat jatah menteri agama di masa Orde Baru?
Mari kita mendata nama menteri agama selama Orde Baru. Menteri agama pada Kabinet Pembangunan I masa awal pemerintahan Presiden Soeharto tahun 1967-1971 adalah KH Muhammad Dachlan. Dia kiai yang pernah menjabat Ketua Pimpinan Cabang NU Pasuruan.
Penggantinya Abdul Mukti Ali, Menteri Agama dua periode 1971-1978. Gurunya antara lain KH Abdul Hamid Pasuruan dan KH Ali Ma’sum, Rais Aam Syuriyah PBNU 1981-1984.
Dosen di IAIN Jakarta dan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dia bukan Muhammadiyah meskipun saat bermukim di Yogya mulai 1964 pernah mengajar di Akademi Tabligh Muhammadiyah Yogyakarta. Di Yogya dia membentuk kelompok diskusi yang berisi para ahli dari beragam latar belakang.
Penggantinya Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwiranegara di Kabinet Pembangunan III 1978-1983. Dia tentara berpangkat Letnan Jenderal. Juga bukan Muhammadiyah.
Di zamannya, Menteri Agama Alamsyah meminta fatwa MUI dicabut karena dianggap mengusik kerukunan antara umat Islam dan Kristen. Ketua MUI saat itu Buya Hamka memilih mundur daripada mencabut fatwa. Hamka mengundurkan diri pada 7 Maret 1981.
Fatwa MUI yang dipersoalkan itu tentang keharaman perayaan Natal bagi umat Islam. Fatwa itu keluar menyusul banyaknya instansi pemerintah menyatukan perayaan Natal dan Lebaran ketika kedua perayaan itu berdekatan. Menurut Hamka perayaan Natal dan Lebaran bersama bukan toleransi.
Penggantinya adalah Munawir Sjadzali, menteri agama di Kabinet Pembangunan IV tahun 1983-1988 dan Kabinet Pembangunan V 1988-1993. Dia diplomat. Juga bukan Muhammadiyah. Menteri agama ini yang melarang siswa pakai jilbab. Sementara Muhammadiyah mendukung pemakaian jilbab di sekolah.
Penggantinya Menteri Agama Tarmizi Taher di Kabinet Pembangunan VI tahun 1993-1998. Kalau ini benar dia orang Muhammadiyah. Dia dokter militer berpangkat Laksamana Muda TNI Angkatan Laut. Pernah menjadi Koordinator Nasional Mubaligh Muhammadiyah.
Tarmizi Taher pernah mencalonkan diri menjadi ketua PP Muhammadiyah di Muktamar Malang Juli 2005.
Terakhir Muhammad Quraish Shihab. Menteri agama tersingkat dalam Kabinet Pembangunan VII. Dilantik 16 Maret 1998, bubar 21 Mei 1998 seiring berhentinya Presiden Soeharto merespon tuntutan gelombang Reformasi. M. Quraish jelas bukan Muhammadiyah.
Jadi selama Orde Baru dari sepuluh menteri agama hanya satu orang dari Muhammadiyah. Inilah bukti salah paham dengan Muhammadiyah yang asal tuding tanpa data. (*)