Tak Hanya Hamka, Pak AR Juga Menolak Lamaran Poligami, Begini Kisahnya; Editor Mohammad Nurfatoni
PWMU.CO – Salah satu adegan film Buya Hamka menggambarkan bagaimana Hamka menolak lamaran poligami yang disampaikan orangtua salah satu muridnya.
Karisma Hamka sebagai guru memikat hati seorang bapak. Dengan membawa anak gadisnya bernama Ola, dia menghadap Hamka. Dia meminta agar anaknya dinikahi Hamka sebagai istri kedua.
Di sinilah muncul adegan yang berhasil membikin penonton tertawa. Untuk menghindari permintaan itu Hamka buru-buru minta izin meninggalkan sekolah dengan alasan ada suatu keperluan. Kepada muridnya, dia berpesan untuk mengambilkan tasnya yang dia tinggal di ruangan.
Tapi tiba-tiba Ola yang keluar dan membawa tas itu. Tentu saja Hamka kaget. Ekspresinya lucu. Penonton pun gerr. Ketemu Hamka, Ola mempertegas permintaan ayahnya agar Hamka menikahinya. Tetapi Hamka menolak secara halus. Ola bertanya apakah dia tidak cantik? Hamka menjawab, bukan. Ola yang diperankan Yoriko Angeline menguatkan keinginannya dimadu dengan menyebut surat an-Nisa ayat 3.
Hamka mengatakan, ayat itu ada lanjutannya. Untuk melakukan poligami syaratnya harus adil. Dan Hamka takut tak bisa berbuat adil. Penjelasan Hamka membuat Ola sadar. Dia mengurungkan niatnya untuk dipoligami. Lalu memilih melanjutkan sekolah agar bisa menjadi guru, seperti Hamka.
Adegan itu terjadi saat Hamka dan keluarganya hendak meninggalkan Makassar menuju Medan. Warga melepas kepergian itu, termasuk Ola dan ibunya. Sang ibu mengatakan jika nasihat Hamka membuat mereka sadar dan mengurungkan niat dipoligami. Mendengar percakapan itu Ummi terlihat cemburu. Dia mengatakan, jika calon istri yang cantik itu akan menjadi guru. Hamka hanya tersenyum.
Penolakan Hamka atas lamaran poligami itu bukan hanya sebuah adegan film. Tapi juga bagian dari kehidupan nyata Hamka. Seperti ditulis Suara Aisyiyah dalam artikel Alasan Buya Hamka Tidak Poligami.
Pak AR Tidak Mau Poligami
Tidak hanya Hamka yang menolak poligami. Ternyata tokoh Muhammadiyah KH Abdur Rozak Fachruddin atau yang biasa dipanggil Pak AR—Ketua (Umum) Pimpinan Pusat Muhammadiyah 1869-1990—juga menolak lamaran poligami. Seperti yang ditulis oleh Haidar Musyafa dalam buku berjudul Pak AR dan Jejak-Jejak Bijaknya (Imania: Tanggerang Selatan, 2020 hal 98-102), sebagai berikut:
Pada 1959 A.R. ditugaskan ke Semarang. Dia diangkat menjadi Kepala Kantor Penerangan Agama Provinsi Jawa Tengah. Sejak saat itu A.R. harus berpisah dengan keluarganya.
“Saat Pak A.R. diangkat menjadi Kepala Kantor Penerangan Agama Jawa Tengah di Semarang, beliau berangkat sendiri. Istri dan anak-anaknya dibiarkan tetap tinggal di Yogya. Pak A.R. pulang ke Kauman setiap Sabtu sore, yang kadang seminggu sekali, dua minggu sekali, dan jika banyak kerjaan baru sebulan baru pulang,” kata Sukriyanto.
Selama bertugas di Semarang, A.R. tidak mendapatkan rumah dinas. Dia tinggal di Kompleks Panti Asuhan Muhammadiyah yang berada di kampung Prindikan, Jalan Sadewa No. 45, Semarang.
Rumah yang ditempati A.R. jauh dari kesan mewah. Dindingnya terbuat dari gedhek, sehingga A.R. sering kedinginan karena banyak angin yang masuk ke rumah melalui lubang-lubang dinding dari anyaman bambu tersebut. Meski begitu, A.R. tidak pernah mengeluh meski kondisinya di perantauan serba terbatas.
Kondisi A.R. itu rupanya mengundang simpati dari Haji Sulhan—seorang pengusaha kapuk di Semarang. Dia menemui A.R. dan mengatakan jika sebagai Kepala Kantor Penerangan Agama, A.R. tidak pantas tinggal di rumah berdinding gedhek. Dengan alasan itulah Haji Sulhan bermaksud meminjamkan salah satu rumahnya yang berada di Jalan Pemuda, Semarang, kepada A.R.
Rumah Haji Sulhan itu mewah dan besar. Garasinya bisa menampung beberapa mobil. Halamannya luas, sebanding dengan ukuran rumah.
Tahu jika rumah yang hendak dipinjamkan kepadanya sangat besar, A.R. menolak tawaran itu dengan halus.
“Omahe gedhe banget, aku ora kuat ngragati,” kata A.R. Dia pun tetap tinggal di rumah sederhana di kampung Prindikan sampai dia kembali bertugas di Yogyakarta.
Dilamar Kiai untuk Menikahi Santrinya
Selama bekerja di Semarang, A.R. juga aktif di Muhammadiyah. Kehadirannya di Semarang langsung diterima oleh masyarakat di sana. Penampilan A.R. yang lugu dan santun, serta caranya berceramah yang ringan, mengena, mudah dipahami, dan dibumbui dengan humor membuat banyak orang mencintainya. Sampai-sampai ada seorang kiai yang ingin agar A.R. menikah dengan salah satu santri terkasihnya.
Sekira tahun 1962, A.R. diminta mengisi pengajian memperingati Maulid Nabi Muhammad Saw. di Jepara. Pengajian itu tidak hanya dihadiri oleh warga Muhammadiyah, tetapi juga ada tokoh masyarakat dan kiai-kiai NU.
Salah satu kiai yang hadir tahu jika A.R. sudah cukup lama tinggal seorang diri di Semarang. Kepribadian A.R. membuat kiai itu merasa terkesan, sehingga timbul keinginannya menjodohkan A.R. dengan salah satu santrinya. Setelah pengajian selesai, dan hampir semua jamaah sudah pulang, sang kiai mengajak A.R. beramah-tamah.
“Pak A.R. ini orang hebat. Tidak hanya santun dan baik, tapi juga sangat pandai berceramah,” kata kiai itu. “Sangat sulit mencari seorang dai dan mubaligh yang bisa ngemong jamaah seperti Pak A.R. ini.”
Mendapat pujian seperti itu, A.R. hanya tersenyum.
Kiai NU tersebut kembali berkata, “Tapi ada satu yang sangat saya sayangkan dari Pak A.R.”
A.R. mengerutkan kening. “Maksudnya apa, Pak Kiai? Kok, saya disayangkan?”
Kiai itu tersenyum, dan menjawab, “Sudah cukup lama saya dengar dari orang-orang, katanya Pak A.R. ini tinggal di Semarang sendirian.
“Oh, kalau soal itu benar, Pak Kiai. Saya memang sendiri di Semarang, karena anak dan istri saya tinggal di Yogyakarta. Biar tidak repot, hehe…,” jawab A.R., sembari melempar senyum khasnya.
“Itulah yang sangat saya sayangkan, Pak A.R.,” kata Sang Kiai,
“Pak A.R. ini, kan, seorang mubaligh yang sangat terkenal. Hampir setiap hari berkeliling memberi penerangan agama kepada masyarakat. Saya kasihan melihat Pak A.R. hidup sendiri di Semarang tanpa ada yang melayani.”
Belum sempat A.R. memberi tanggapan, kiai yang cukup terkenal di Jepara itu meneruskan, “Jika saya boleh memberi saran, mbok ya Pak A.R. ini nikah lagi. Cari istri muda yang bisa merawat dan melayani Pak A.R. selama tinggal di Semarang. Kalau perlu, saya juga siap membantu mencarikannya. Syukur-syukur Pak A.R. mau menikah dengan salah satu santri saya. Hehe…”
“Walah, Pak Kiai ini ada-ada saja,” jawab A.R., sambil tertawa.
“Santri saya banyak, Pak A.R. Silakan pilih salah satu yang paling Pak A.R. sukai,” kata kiai itu dengan nada serius.
Cukup lama A.R. diam sebelum memberikan tanggapan, “Terima kasih, Pak Kiai. Tapi mohon maaf, saya tidak ada keinginan untuk melakukan poligami. Bahkan, memimpikan saja saya tidak berani.”
“Lho, kenapa bisa begitu, Pak A.R.? Bukankah ajaran agama kita tidak melarang kita melakukan poligami?”
“Ya, soal itu saya tahu, Pak Kiai. Tapi saya tidak sanggup melakukannya.”
Sang kiai tertegun beberapa saat mendengar jawaban A.R. “Wah, Pak A.R. ini benar-benar hebat luar-dalam. Tidak hanya pintar ceramah, tapi juga sangat setia dengan Bu A.R.,” ujarnya kemudian.
A.R. tersenyum sebelum menjawab, “Terima kasih, Pak Kiai.”
Giliran Kiai NU yang tersenyum. Sejurus kemudian dia berkata, “Sayang, Pak A.R. ini penakut orangnya,” celetuknya.
A.R. tertawa sebelum menjawab, “Ya, saya memang sangat takut berpoligami.”
Ingat Perjuangan Istri
Percakapan A.R. dan kiai di Jepara itu cukup untuk menunjukkan jika A.R. adalah suami yang setia kepada istrinya. A.R. tidak mau poligami, tetapi itu bukan berarti semua ulama Muhammadiyah menolak beristri lebih dari satu. A.R. tidak menolak poligami, karena ada dasar yang jelas dalam syariat Islam. Hanya saja, A.R. itu memang tidak sanggup melakukannya.
Menurut A.R., syarat poligami sangat ketat. Oleh karenanya, memiliki istri satu saja jauh lebih baik dan terpuji-jika tidak mampu memenuhi syarat poligami yang amat sangat rumit itu. Dan saat itu A.R. sadar, ditinjau dari segi apa pun, tidak memenuhi syarat berpoligami.
Gaji yang diterimanya sebagai PNS di Kantor Penerangan Agama Jawa Tengah sangat pas-pasan, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya. Jika dia tetap mau poligami, itu artinya A.R. harus berbagi gaji dengan istri kedua. Jika itu sampai terjadi, sama saja A.R. melakukan kezaliman karena menelantarkan keluarga, baik istri pertama maupun istri kedua, karena tidak memiliki kecukupan secara ekonomi untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka.
A.R. juga menyadari jika dirinya adalah laki-laki lemah yang pernah luput dari salah dan khilaf. Dia tidak mau poligami karena merasa tidak mampu berbuat adil, sekaligus tidak ingin menyakiti istri dan anak-anaknya. A.R. sadar jika sejak menikah pada 1938, istrinya sangat setia mendampinginya dalam suka maupun duka.
Saat masih tinggal di Kulon Progo, dalam suasana hidup pas-pasan, Siti Qomariyah ikhlas membantu A.R. menopang kebutuhan keluarga dengan berdagang. Siti rela berlelah-lelah, mengayuh sepeda puluhan kilometer demi menjajakan barang dagangannya, agar uangnya bisa digunakan untuk mencukupi kebutuhan keluarga.
Dia melakukan itu karena menyadari jika gaji A.R. sangat kecil, sehingga tidak cukup untuk membiayai semua kebutuhan keluarga. Itulah alasan lain-selain karena merasa tidak memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam syariat poligami. Dia tidak ingin menyakiti hati Bu A.R. dengan menduakannya. A.R. tidak ingin mengkhianati
Islam-mengapa A.R. tidak mau kesetiaan istrinya.
Belajar dari Ayah
A.R. belajar dari apa yang pernah dialami orangtuanya. Ayahnya, Kiai Fachruddin, memiliki istri lebih dari satu. A.R. melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana susah bapaknya memenuhi kebutuhan kedua istrinya dan anak-anak yang banyak. Sementara gaji Kiai Fachruddin sebagai lurah naib di Kadipaten Pakualam tidak sebanding dengan kebutuhan-kebutuhan hidup yang semakin hari kian melangit.
Kesusahan semakin dirasakan ketika bisnis ibunya, Siti Maemunah, bangkrut sehingga dia harus ikut suaminya pulang ke Bleberan. Hidup pas-pasan juga membuat sekolah A.R. terbengkalai. Meski saat itu dia masih kecil, tetapi A.R. sudah mampu merasakan bagaimana beratnya beban bapaknya yang tidak memiliki penghasilan tetap tetapi harus menghidupi dua istri dan anak yang banyak.
A.R. juga bisa merasakan jika keputusan Kiai Fachruddin menikahi lebih dari satu istri membuatnya tidak bisa tenang siang dan malam, karena sulitnya memberi keadilan hati bagi istri-istrinya. Karena pengalamannya itu, A.R. mengambil ketetapan untuk jangan sampai menikahi lebih dari satu istri-apalagi hanya karena ingin coba-coba. Dia menilai poligami akan membawa dampak buruk baginya, apalagi jika salah seorang di antara istri-istrinya sampai disia-siakan.
A.R. tetap pada pendiriannya hanya menikahi satu istri agar bisa hidup bahagia. A.R. tidak ingin hidupnya habis terkuras hanya mengurus keluarga, padahal masih banyak kepentingan umat yang untuk harus dia selesaikan. (*)