Buku Legendaris Fiqh Islam Karya Sulaiman Rasjid; Oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku 50 Pendakwah Pengubah Sejarah dan sembilan judul lainnya
PWMU.CO – Buku Fiqh Islam karya Sulaiman Rasjid terbilang legendaris. Buku itu, pertama, disebut-sebut sebagai buku fikih terlengkap pertama yang ditulis oleh warga negeri ini. Kedua, disusun sejak 1930-an oleh ahli di bidangnya dan terbit kali pertama pada 1954.
Ketiga, hingga kini telah dicetak ulang lebih dari 80 kali. Keempat, telah dipakai oleh lintas generasi dan pemakainya adalah kalangan yang luas yaitu santri, pelajar, mahasiswa, dan masyarakat umum. Kelima,peredarannya tak hanya di Indonesia tapi juga di Malaysia.
Kecuali lima poin di atas, hal istimewa lainnya adalah datangnya pujian proporsional dari Buya Sutan Mansyur (1895-1985). Bahwa usaha para penulis buku Islam, termasuk dan terutama penulis buku Fiqh Islam “Sangat mendapat penghargaan saya,” kata Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 1937-1942 itu.
Sekilas Buku
Buku Fiqh Islam dicetak ulang terus? Pada 19 April 2023 (di pekan terakhir Ramadhan 1444), saya mencari informasi buku itu ke salah satu toko buku yang cukup lengkap di Surabaya. “Kosong Pak. Insya Allah (ada) setelah Lebaran,” demikian jawaban yang saya terima.
Bagi saya, fakta di atas menambah keyakinan bahwa buku Fiqh Islam memang sangat dibutuhkan masyarakat. Buku itu terus dicari orang.
Buku Fiqh Islam yang ada di koleksi saya, cetakan yang ketujuhbelas. Itu, terbitan At-Thahiriyah Jakarta. Tebalnya xviii + 476 halaman.
Buku dibuka dengan ayat al-Qur’an, al-Hasyr: 7: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah”. Tampak, Sulaiman Rasyid ingin menegaskan kepada pemakai bukunya bahwa yang dia tulis semua bersandar kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Pesan Sulaiman Rasyid tersebut sangat terasa. Bahwa dia sangat menginginkan agar kita selalu berada dalam sikap “Apa yang diperintahkan Rasulullah Saw dapat kita kerjakan dan apa yang dilarangnya bisa kita jauhi”.
Maka, lihatlah! Buku itu didasarkan setidaknya kepada 24 kitab rujukan yang tepercaya. Di lingkup fikih, Sulaiman Rasyid antara lain memakai referensi Fiqh ala Mazhab Arba’a oleh Panitia Negara di Mesir. Juga, Al-Um karangan Imam Syafi’i. Dipakai pula Tarikh Tasyri’ Islami (Muzakkirat Perguruan Tinggi Azhar) karangan Abdurrahman Taj dan Muhammad Ali Sabisi. Pun, memakai Muqaddimah karya Ibnu Khaldun.
Di bidang hadits, Sulaiman Rasyid mengambil rujukan antara lain dari Kitab Hadits Shahih Bukhari dan ‘Umdatul Qari / Syarah Shahih Bukhari oleh Badrul ‘Aini. Juga, dari Kitab Hadits Shahih Muslim dan Syarah Shahih Muslim oleh Imam Nawawi. Pun, dari Nailul Authar oleh Muhammad Syaukani.
Di wilayah tafsir, buku itu bersandar kepada antara lain Ahkamul Qur’an karangan Ibnu Arabi. Juga, kepada Tafsir Ayatul Ahkam (Muzakkirat Perguruan Tinggi Azhar) karangan Husaini Sultan, Abdus Salam ‘Askari Abdurrahman Taj. Pun, dari Tafsir Qur’an karya Mahmud Yunus.
Sementara, referensi tambahan, antara lain mengambil dari kitab Dairatul Ma’rif. Kitab itu karya Muhammad Farid Wajdi.
Seperti apa isi buku Fiqh Islam? Di dalamnya, ada 14 bab yaitu: 1).Kitab Thaharah. 2).Kitab Sembahyang. 3).Kitab Janazah. 4).Kitab Zakat. 5).Kitab Puasa. 6).Kitab Haji dan Umroh. 7).Kitab Mu’amalat. 8).Kitab Faraidh (Pembagian Harta Pusaka). 9).Kitab Nikah (Perkawinan). 10).Kitab Jinayat. Kitab Hudud (Hukuman). 11).Kitab Jihad (Peperangan). 12).Kitab Makanan dan Penyembelihan. 13).Kitab Aqdhiyah (Hukum-Hukum Pengadilan). 14).Kitab Al-Khilafah.
Di masing-masing bab, dibahas banyak pasal. Misalnya, pada bab “Kitab Sembahyang” Sulaiman Rasyid memerlukan puluhan halaman agar dia bisa menjelaskan berbagai hal seputar sembahyang secara lengkap. Silakan, ikuti pelajaran shalat atau sembahyang dari halaman 64 sampai 159.
Di halaman 64 dimulai dari makna shalat. Lalu ditutup di halaman 159 dengan sebuah penegasan akan urgensi shalat dan posisi shalat sunnah. Untuk itu, Sulaiman Rasyid mengutip HR Abu Ya’la: “Dari Anas, berkata Nabi Saw: ‘Sesungguhnya yang mula-mula difardhukan Allah atas manusia dalam urusan agama mereka ialah sembahyang. Allah berkata: Lihatlah olehmu sembahyang hamba-Ku, maka jika ia sempurna ditulis sempurna. Dan jika ia kurang, berkata Allah: Adakah bagi hamba-Ku sembahyang sunnat? Maka jika ada baginya sembahyang sunnat, disempurnakanlah yang wajib dengan sunnat’.”
Sepintas Penyusunan
Buku Fiqh Islam dikerjakan dalam waktu yang lama. Itu, dimulai sejak zaman penjajahan sampai masa kemerdekaan. Tentu, hanya orang yang tekun dan bersungguh-sungguh yang bisa melakukannya.
Di Kata Pengantar yang ditulis pada 17 Januari 1954, Sulaiman Rasyid memulainya dengan ungkapan keprihatinan. Dia menyebutkan bahwa sangat disadari terjadinya “Kekurangan buku-buku agama dalam bahasa Indonesia” dan itu sudah berlangsung lama.
“Buku-buku agama yang bersifat pokok jarang kelihatan,” kata Sulaiman Rasyid. Terlebih lagi, lanjut dia, “Buku Ilmu Fiqh yang lengkap, yang meliputi segala bab dan pasal dari fiqh Islam, belum ada dalam bahasa Indonesia”.
“Pada 1938,” terang Sulaiman Rasjid, “Sudah saya mulai menyusun naskah (Fiqh Islam) ini. Sesudah penyerahan kedaulatan, oleh kawan-kawan saya diminta mengumpulkan dan menyempurnakan kembali naskah (yang sempat) terbengkalai”.
Kata Pengantar diakhiri Sulaiman Rasjid dengan ungkapan terima kasih. Dengan rendah hati dia sampaikan bahwa buku selesai ditulis-dan ini kerja berat-berkat “Bantuan kawan-kawan”. Tak lupa, ekspresi terima kasih dia tunjukkan pula kepada penerbit Djaja Murni yang berkenan menerbitkan untuk kali pertama.
Diapresiasi Tinggi
Di buku cetakan ke-tujuhbelas, Hamka turut memberi Kata Pengantar. Menarik, sebab Hamka tak menulis pandangannya sendiri atas buku itu. Tapi, dia malah menampilkan sikap apresiatif Buya Sutan Mansyur (1898-1976). Mungkin saja, dengan cara itu Hamka ingin menunjukkan bahwa pendapatnya atas buku Fiqh Islam karya Sulaiman Rasyid sama dengan pandangan kakak ipar sekaligus gurunya itu.
Berikut ini Kata Pengantar Hamka yang ditulis pada Agustus 1954. Mengingat nilai pentingnya, saya kutip lengkap dengan sedikit penyesuaian bahasa:
Seketika telah sampai senaskah buku ini ke tangan Ketua Umum PP Muhammadiyah Engku AR Sutan Mansyur, saya sedang ada di Yogyakarta menjadi tamu beliau. Setelah dibacanya dengan penuh perhatian, beliau memberikan pernyataan syukurnya melihat usaha al-Ustadz Sulaiman Rasyid menyusun (buku) Fiqh Islam ini dengan mengambil dasar dari pokok fiqh yang bermula yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad Saw.
Kata Beliau-Sutan Mansyur: ‘Saya sendiri pun mempunyai keinginan yang besar buat menyusun buku-buku pengetahuan agama Islam, karena kian hari kian jelas bagaimana perlunya umat Islam Indonesia akan pimpinan yang demikian. Tetapi sayang sekali, pena saya tidak selancar lidah saya.’
‘Syukurlah,’ lanjut Sutan Mansyur, ‘Keinginan saya itu telah dipenuhi oleh teman-teman saya yang sepaham dalam menegakkan agama. (Mereka itu) seperti Tengku Hasbi Ash-Shiddiqy, Tuan Syeikh Abdul Halim Hasan Binjai, Saudara Zainal Arifin Abbas Medan dan sekarang muncul pula Al-Ustadz Sulaiman Rasyid Jakarta. Persamaan pandangan hidup terhadap agama, di dalam menegakkan sunnah Rasulullah Saw menyebabkan segala usaha teman-teman saya ini sangat mendapat penghargaan saya’.
‘Terutama buku Fiqh Islam karangan Al-Ustadz Sulaiman Rasyid,’ masih kata Sutan Mansyur, ‘Telah saya baca. Demikian asyiknya, sehingga kadang-kadang ada yang saya kritik, tetapi sekali-kali bukan isinya. Cuma bahasanya. Tapi, saya insaf bahwa kalau saya yang menyusun buku, yang demikian tinggi nilai dan mutu yang dibicarakan, tidak jugalah agaknya bahasa saya akan sebaik susunan bahasa Al-Ustadz Sulaiman Rasjid’.
Sekilas Penulis
Fiqh, di dalamnya kita bisa membaca aturan-aturan Islam yang praktis. Di dalamnya, kita diarahkan untuk melakukan amal ibadah secara benar seperti yang dikendaki Allah dan Rasul-Nya. Di titik ini, kita patut berterima kasih kepada Sulaiman Rasjid yang telah menyusun buku Fiqh Islam yang isinya lengkap dan padat. Siapa dia?
Sulaiman Rasjid lahir di Pekon Tengah, Liwa, pada 1898. Kini, daerah dia lahir masuk Lampung Barat. Sejauh ini, kapan tanggal lahirnya, belum ada yang menyebut.
Riwayat pendidikan Sulaiman Rasjid, kurang-lebih sebagai berikut. Awal, belajar ke Darul Funun El-Abbasiyah Padang Japang di Sumatera Barat di bawah asuhan Syeikh Abbas Abdullah. Setelah itu dia melanjutkan ke Sekolah Mualim, sekolah guru, di Mesir pada 1926. Kemudian, melanjutkan ke Perguruan Tinggi Al-Azhar Kairo Mesir, Jurusan Takhashus Fiqh (Ilmu Hukum Islam) dan selesai 1935.
Sulaiman Rasjid, yang di kesehariannya bersahaja, tekun mendalami bahasa Arab. Aktivitasnya ini, sangat menunjang saat dia menyusun buku Fiqh Islam. Hal ini, karena kompleksitas bahasa Arab.
Wilayah pengabdian Sulaiman Rasjid luas. Misal, dia juga pemikir, aktivis, dan pejuang bangsa. Pada 1936, lelaki ini ditunjuk Belanda sebagai Ketua Penyelidik Hukum Agama di Lampung. Terlepas dari sejumlah jabatan yang diembannya, di masa penjajahan dia tetap turut mengangkat senjata.
Di masa kemerdekaan, Presiden Soekarno menugasi Sulaiman Rasjid di Kementerian Agama Republik Indonesia. Lalu, menjadi Kepala Jawatan Agama Republik Indonesia – Jakarta (1947–1955). Berikutnya, mendapat amanat sebagai Kepala Perjalanan Haji Indonesia.
Tercatat pula, Sulaiman Rasyid pernah menjadi staf ahli Kementerian Agama Republik Indonesia. Juga, mengajar di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAIN) Jakarta dan di PTAIN Yogyakarta. Kemudian, pada 1960, Sulaiman Rasyid diangkat sebagai Guru Besar Ilmu Fiqh (baca https://darulfunun.or.id/1523/h-sulaiman-rasyid-1898-1976-penyusun-fikih-pertama/).
Umur Panjang
Jejak kebaikan dan karya Sulaiman Rasjid, sangat banyak. Misal, dia termasuk pendiri Yayasan Pendidikan Islam Al-Azhar Jakarta. Yayasan ini didirikan oleh 14 tokoh Islam dan pemuka masyarakat pada 7 April 1952. Nama Sulaiman Rasjid ada di urutan ketujuh dan pada kolom identitas ditulis sebagai “Pegawai Kementerian Agama RI dan penulis Fiqh Islam”.
Sulaiman Rasyid yang wafat di Bandar Lampung pada 26 Januari 1976, juga tercatat sebagai pendiri IAIN Radin Intan Lampung pada 1964. Dia yang meninggal pada usia 78 tahun, terutama berkat karya buku Fiqh Islam-nya insya Allah akan terus “hidup”.
Sungguh, selama buku Sulaiman Rasjid-yaitu Fiqh Islam-masih dipakai orang maka selama itu pula dia akan tetap “hidup”. Dia “berumur panjang”, karena namanya masih terus disebut-sebut. Pendapat-pendapatnya masih tak henti dikutip orang dalam berbagai program kebaikan. Itulah nilai benar dari pepatah: “Menulislah, engkau akan kekal”. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni