Mengapa Basmalah dalam Shalat di Masjid Haramain Dibaca Pelan? Format Baru Fatwa-Fatwa Tarjih: Tanya Jawab Agama; Oleh Dr Zainuddin MZ Lc MA (NBM: 984477); Direktur Turats Nabawi, Pusat Studi Hadits.
PWMU.CO – Tanya: Melalui siaran televisi saya melihat pelaksanaan shalat Isyak dan Tarawih di Masjidil Haram. Pada waktu membaca surat al-Fatihah ternyata bacaan basmalah tidak dikeraskan, yakni dengan sirri. Hal ini sangat berlainan dengan kebiasaan umat Islam di Indonesia, mengapa demikian?
Jawab: Pertanyaan ini sudah pernah ditanyakan dan sudah dijawab. Tetapi perlu diketahui bahwa masyarakat Arab itu menganut mazhab Hambali, sedangkan imam Ahmad bin Hambal dalam hal bacaan basmallah berpendapat lebih baik dibaca pelan dan tidak disunahkan membaca keras, maka di wilayah Arab bacaan basmalah itu dibaca secara sirri (pelan).
Analysis
Bukan hanya di Masjidil Haram basmalah dibaca sirri, di Masjid Nabawi juga demikian. Demikian pula di masjid-masjid lainnya. Seperti Masjid Quba, Masjid Kiblatain, Masjid Khandak,dan lainnya.
Pengalaman selama penulis studi di Universitas Islam Madinah dan lama dinas di Universitas Imam Ibnu Sa’ud juga demikian. Bacaan basmalah tidak dibaca keras (jahr), melainkan dibaca secara sirri.
Dengan demikian paparan Lanjah Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) bahwa basmalah di MasjidilHaram tidak dibaca keras itu berargumentasi lantaran masyarakat Arab itu menganut mazhab Hambali perlu ditinjau ulang. Karena tidak ada korelasi yang signifikan antara praktik ibadah dimasjid Haramain dengan mazhab tertentu.
Agar dibedakan antara praktik yang berlaku di masjid Haramain (dua masjid di Tanah Haram—Masjidil Haram dan Masjid Nabawi—dengan mazhab Hambali. Karena kedua masjid itu bukan representatif mazhab Hambali.
Praktik keagamaan di masjid Haramain selalu mengalami perubahan. Karena Masjid Haramain bukan miliknya satu mazhab, melainkan terwarnai oleh berbagai mazhab. Misalnya, dahulu shalat malam di bulan Ramadhan (qiyam Ramadhan) sebanyak 23 rakaat, kini berubah tidak lagi jumlahnya seperti itu.
Penulis juga mendengar akan adanya perubahan-perubahan lain. Seperti adzan untuk shalat Jum’at yang awalnya dua kali juga akan ada perubahan. Itulah sebabnya memunculkan teori, amalan penduduk Madinah tidak dapat dijadikan sumber hukum.
Jika selama ini untuk shalat jenazah wanita, muadzin mengumandangkan “as-shalatu alal mayyitati”, bukan mustahil juga akan berubah. Penulis pernah diskusi dengan Direktur Utama masjid Haramain Syaikh Sudais bahwa jenazah wanita tidak layak disebut mayyitatun.
Redaksi itu hanya layak untuk bangkai selain manusia, apakah bangkai itu jantan atau betina, semuanya disebut mayyitatun. Untuk jenazah manusia hanya ada dengan redaksi mayyit, yakni baik untuk laki-laki maupun untuk perempuan.
Itulah sebabnya dhamir dalam doa-doa shalat jenazah tidak pernah ada perubahan baik untuk laki-laki maupun perempuan, baik untuk jumlah sedikit maupun banyak, selalu menggunakan dhamir “hu”. Allahummagh fir lahu, warhamhu …
Maka jangan lagi terkontaminasi dengan praktik ibadah yang berlaku di masjid Haramain agar warga tidak bingung dalam menjalani ketaatan kepada Allah SWT. Ibadah itu berdasarkan pada sumber hukum, bukan pada oknum atau realita. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni