Tuhan Izinkan Saya Sekolah tulisan autobiografi Abu Nasir, Ketua PDM Kota Pasuruan. Seri 1.
PWMU.CO– Sepenggal dari kisah hidup saya adalah saat ngenger pada kakak sepupu di Pasar Nganjuk. Kang Ji, nama kakak sepupu itu, seorang pedagang abrahan. Berdagang berbagai peralatan rumah tangga dari gerabah, kayu, bambu, rotan, tikar, dan sangkar burung.
Istrinya, Yu Ti, begitu saya memanggilnya dan sampai sekarang tidak tahu nama aslinya. Dia putri dari keluarga kaya di Desa Kewagehan. Selain cantik, Yu Ti berjiwa entrepreneur tulen. Memiliki jam terbang tinggi di dunia dagang di pasar. Cermat dalam perhitungan, mampu mengikat pembeli, dan memiliki jaringan perdagangan yang luas, sehingga tokonya termasuk yang terbesar di antara toko lainnya.
Kepada mereka saya menyerahkan diri, ngenger, kata orang, membantu menjualkan dagangannya, menjajakan barang abrahan keliling di pasar, menjahit tudung dan membuat sangkar burung.
Di sela menjual dagangan, saya juga mendapat tugas menyelesaikan semua urusan rumah tangga. Memikul air pagi dan sore, mencuci pakaian, menyeterika pakaian, berbelanja, dan memasak adalah makanan sehari hari. Itu semua saya jalani dengan senang hati selama sekolah di SDN Kartoharjo 1 Nganjuk.
Bagi saya bersekolah adalah kegembiraan, karena bisa terlepas dari semua urusan. Di sekolah saya bisa bercengkerama dengan teman-teman, bermain bola, berbagi cerita, dan belajar bersama.
Di sekolah segala perih dan pedih hidup terlupakan, lelah, dan penat tergantikan. Kesempatan mereguk ilmu membentang. Suasana dan perasaan itu mendorong saya berkeinginan untuk melanjutkan studi ke SMP tatkala lulus SD nanti seperti teman-teman yang lain.
Dari Pasar ke Pasar
Namun niat saya terus bersekolah sempat tidak kesampaian karena Kang Ji dan Yu Ti melarang dengan keras. “Jangan, tidak usah sekolah, terus saja berjualan. Kamu bisa sukses dengan berdagang ke pasar-pasar di tiap kecamatan di Nganjuk,” kata mereka memberikan alasan.
Pada mulanya saya menurut karena takut. Tapi hati saya menolak dan memberontak. Setiap pekan pada hari pasaran saya berjualan di pasar kecamatan. Pada hari pasaran Kliwon di Kecamatan Berbek, pasaran Legi di Loceret, pasaran Pahing di Guyangan, dan seterusnya.
Jika tiba waktu pasaran itu, saya berangkat sambil membawa barang dagangan secukupnya pada pukul 03.00 pagi dari terminal, lalu menumpang Colt menuju pasar yang dituju. Sesampai di tempat setelah shalat Subuh, langsung buka dagangan dan melayani pembeli.
Di setiap pasar itu para pembeli sudah menunggu dan berkerubung untuk membeli dagangan yang saya jajakan. Yang tak bisa saya lupakan adalah dagangan itu selalu habis. Sesekali bersisa sedikit. Satu hal yang semakin membuat Yu Ti dan Kang Ji percaya bahwa saya harus berjualan karena selalu membawa keberuntungan. Barang laku keras. Saya merasa mungkin ini jalan hidup saya, dari pasar ke pasar.
Sekolah Itu Enak
Pagi itu langit cerah. Seperti biasa saya bangun tidur sebelum adzan Subuh berkumandang. Di Pasar Wage Nganjuk, pukul 02.00 jelang dini hari selalu ramai oleh teriakan-teriakan para pedagang. Saya bangkit dari tikar alas tidur setiap malam. Menuju Masjid an-Nur untuk mengambil air dua tangki. Sebesar galon mineral sekarang untuk persiapan memasak di bedak.
Suara adzan Subuh pun terdengar. Saya bergegas menuju masjid bermunajat kepada Allah. Setelah mengaji sebentar kepada Kiai Abdullah, saya shalat dua rakaat. Tidak seperti biasa, kali ini saya rukuk dan sujud sangat lama. Saya membaca apa saja doa yang saya ingat, sesekali dengan bahasa Indonesia.
Saya memohon kepada Allah agar diberikan jalan hidup yang sesuai dengan niat dan tujuan saya semula ketika memutuskan untuk merantau ke kota Nganjuk ini, yaitu agar bisa sekolah. “Tuhan izinkan saya sekolah,” doaku.
Jika terus hidup di kampung saya akan larut bersama saudara, teman, dan anak-anak tetangga yang rata-rata tidak sekolah. Asal saya dari Dukuh Bulak Desa Nglaban. Dulu ikut Kecamatan Loceret. Sekarang masuk Kec. Nganjuk. Jaraknya 15 Km dari pusat kota.
Pukul 07.00 hari itu saya sudah menenteng barang dagangan di kepala, pundak, badan, tangan kanan dan kiri. Berkeliling menjajakan dagangan dan berusaha mendapatkan pembeli. Tidak biasanya, hari itu tidak begitu banyak dagangan terjual.
Pukul 10.30 saya memutuskan kembali ke bedak. Ada rasa bersalah tentu. Terbayang jelas raut wajah marah dan kecewa Kang Ji dan Yu Ti. Pasti saya akan kena marah.
Di bawah bayang ketakutan itu, dalam perjalanan pulang menuju bedak , saya berpapasan dengan teman sekelas. Saya lupa namanya. Saya terkejut. Tidak menyangka bertemu teman dalam kondisi seperti ini. Ia mengenakan pakaian seragam biru putih. Di pundaknya tercangklong tas. Wajahnya tampak berseri. Pasti dia baru pulang sekoah, batin saya.
Dia terpaku menatap saya dari ujung kepala sampai kaki, seperti tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
” Abu… ?” tanyanya menampakkan wajah keheranan. Mungkin ia tidak mengira kalau saya tidak melanjutkan ke SMP, padahal pernah juara pelajar teladan bersamanya dan qiroatul Quran se-kota Nganjuk.
“Iya…” jawab saya datar. Ada rasa malu. Saya ingin segera pergi saja waktu itu. Bulir keringat terasa mengalir di badan.
” Apa yang kau lakukan?” tanya dia lagi.
“Ini….” jawab saya sambil menunjukkan barang-barang dagangan.
Ia memandangi saya lagi tanpa berkedip. Pandangannya terus menyusur saya dari atas ke bawah. Sementara di seluruh badan saya bergelantungan barang abrahan. Saya tidak tahu persis apa yang ada di pikirannya. Yang jelas saya tidak kuasa memandang wajahnya yang mulai berkeringat.
“Kamu jualan? Tidak sekolah?” tanyanya penuh keheranan.
Tanpa menoleh dan tidak ingin menatapnya lagi saya berusaha beranjak pergi sambil menjawab sekenanya. ” Iya. Saya tidak boleh sekolah. Senang sekali bisa bertemu kamu, tapi maaf saya harus segera pulang , karena sudah ditunggu Kang Ji.”
Dalam hati sebenarnya saya senang melihat seragamnya, tas sekolahnya dan gagahnya bisa bersekolah. Sangat ingin sekali bertanya tentang sekolah kepadanya. Namun rasa malu memaksa saya untuk segera meninggalkannya.
Melihat saya mau pergi, teman itu spontan memegang tangan saya. Dengan pandangan mata meyakinkan, sambil menatap saya dalam-dalam ia berkata, “Sekolah saja, Abu. Sekolah itu enak.”
Enteng saja ia mengucapkan kata-katanya. Sepertinya ia tahu apa yang ada di benak saya. Padahal bagi saya tidak semudah itu. Siapa yang tidak suka sekolah. Setelah lulus SD pasti setiap anak senang melanjutkan ke SMP. Begitu juga diri saya. Tapi keadaan memaksa saya berjualan seperti ini. Makanya waktu itu saya hanya menjawab, “Iya, terima kasih.”
Mau Jadi Apa Sekolah
Saya bergegas pergi meninggalkannya tanpa menoleh lagi. Air mata tiba-tiba deras mengalir. Rasa ingin sekolah begitu kuat mendera. Saya berlari menuju bedak. Air mata saya terus mengalir. Sesampai di bedak saya menaruh barang dagangan ke tempatnya. Tanpa menoleh ke Kang Ji dan Yu Ti saya minta izin pergi ke masjid untuk shalat Duhur.
Saya berusaha melupakan pertemuan dengan teman SD tadi. Tapi kalimat ’sekolah itu enak’ terus terngiang di telinga. Sepanjang shalat itu timbul tekad dalam diri saya. Saya harus sekolah dan bertekad ingin pulang kampung dan melanjutkan sekolah.
Seusai shalat Duhur itu saya memberanikan diri bilang ke Yu Ti dan Kang Ji niat untuk melanjutkan ke SMP. Mendengar keinginan saya ini mereka membelalakkan mata. Seperti biasa, mata Yu Ti yang bulat tajam terlihat menahan marah. Kang Ji giginya bergemeretak dan pipi kanan kiri bergerak-gerak. Kelihatan sekali ia geram.
“Tidak usah. Buat apa?” katanya dengan suara keras. Jawaban yang sudah kuduga sebelumnya.
“Sekolah itu mahal. Kita tidak mampu membiayai,” sambung Yu Ti. “Lagian, mau jadi apa sekolah?” kata dia lagi.
Saya berusaha menahan rasa takut. Tapi juga tidak berani membantah. Diam bagi saya lebih selamat. Namun dari kata-kata mereka itu saya jadi sadar. Janji menyekolahkan saya ternyata hanya sebatas SD. Sudah cukup. Mungkin ini khas pola pikir para pedagang di pasar waktu itu karena melihat setiap anak lulus SD pasti berakhir menjadi penjaga bedak pasar. Maka jika saya terus di sini, cita-cita sejak dari kampung untuk sekolah pasti tidak terwujud.
Peristiwa hari itu benar-benar mengubah segalanya dalam kehidupan saya. Pertemuan dengan teman SD membuat saya bergairah untuk sekolah. Apalagi kata-katanya penuh motivasi. Sekolah itu enak.
Kalimat ini terus menggelayuti benak padahal saya sama sekali lupa siapa nama teman itu dan bagaimana wajahnya. Gara-gara bertemu dia saya memutuskan harus sekolah. (Bersambung)
Editor Sugeng Purwanto