Ibu, Izinkan Saya Pergi tulisan autobiografi Abu Nasir, Ketua PDM Kota Pasuruan, Seri 2 Tamat.
PWMU.CO– Penolakan dan kemarahan Kang Ji dan Yu Ti memang sudah saya duga sebelumnya. Saya pun bisa memakluminya. Tapi pepatah ’sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang’ yang saya dapatkan dari guru kelas 6 SD waktu itu benar-benar menjadi motivasi kuat untuk terus melanjutkan sekolah.
Setelah gagal membujuk agar bertahan hidup di pasar, Kang Ji dan Yu Ti berusaha melalui berbagai macam cara agar mengikuti kemauannya. Pergi ke orang pintar, meminta Kang Mu, kakang tertua yang tinggal di Ngrawan Berbek, mendatangkan ibu dari kampung dengan maksud yang sama.
Ibu menasihati saya sambil berlinang air mata agar menuruti Yu Ti dan Kang Ji. Saya paham yang ibu rasakan. Alih-alih menyekolahkan ke SMP, menjadi single parent sejak saya masih merangkak sudah sangat berat. Tapi dia juga tidak bisa menolak kehendak Yu Ti.
Ditatapnya mata saya, seperti menahan beban berat ibu berkata,”Turuti saja Kang Ji dan Yu Ti, nanti hidupmu akan enak.”
Saya tidak bisa menahan bulir air mata. Saya tidak bisa membantah ibu, tapi juga tidak mungkin bertahan. Dada ini terasa sesak menggelegak. Air mata saya tumpah. Saya menangis sejadi-jadinya. Lalu berlari ke belakang bedak. Mengambil tas plastik, memasukkan sarung dan satu setel baju. Tanpa pamit dan berkata apa-apa, saya keluar dari bedak itu meninggalkan ibu, Kang Ji dan Yu Ti.
Saya lari dan terus berlari menuju rumah di Dukuh Bulak yang berjarak 15 kilometer. Saya tidak peduli apa yang terjadi di bedak pasar Yu Ti. Lelah berlari saya menoleh ke belakang, terlihat ibu berjalan menyusul.
Saya terus berjalan menyusuri sawah dan tepi sungai. Melalui belakang rumah akhirnya saya sampai di rumah ibu kembali setelah lebih dari empat tahun saya tinggalkan.
Mimpi Matahari
Di rumah kelahiran itu saya kembali hidup bersama teman dan saudara di kampung. Bersuka ria layaknya anak-anak. Bermain kelereng, petak umpet, gobak sodor, lompat tali, dan sepak bola.
Jika malam purnama tiba, Dukuh Bulak terang oleh indahnya cahaya bulan. Ramai suara anak-anak ditingkah teriakan bersahut-sahutan. Hal itu sejenak bisa melupakan keinginan sekolah.
Jika pagi tiba, saya membantu Pak Lik dan Pak De di sawah atau turut menggembala kambing dan menyabit rumput. Dari situ saya memperoleh makan. Sekadar meringankan ibu agar tidak susah menyiapkan makanan.
Di waktu yang tersisa saya ke mushala depan rumah Pak Lik Kaulan. Adzan, shalat, dan mengaji. Di waktu Dhuha, seperti biasa saya shalat dan berlama-lama rujuk dan sujud. Jika badan terasa penat saya tidur di mushala itu.
Hari itu saya melakukan aktivitas seperti biasa. Setelah shalat Subuh saya tidak langsung pulang, tapi menunggu Dhuha dengan mengaji. Jika rasa kantuk tiba saya rebahan hingga tertidur. Waktu itu saya bermimpi melihat matahari bersinar terang. Makin lama cahayanya makin terang dan mendekat ke tubuh. Saya terbangun dengan tubuh berkeringat. Saya bangkit untuk wudhu dan shalat sampai waktu Duhur tiba.
Nyegrek Kelapa
Saya menyampaikan ke ibu tentang mimpi itu. ”Sudah, tidak usah dipikirkan. Iku kembange wong turu,” kata ibu saya yang menyebut mimpi hanya bunganya orang tidur.
Tapi saya terus kepikiran. Apa makna mimpi itu. Saya merasa itu bukan sekadar kembang tidur. Lalu saya menduga-duga sendiri tentang matahari yang terbit dari timur dan tenggelam di barat. Saya ingat Yu Puk, mbak yu yang tinggal di Pasuruan.
Tiba-tiba saya ingin ke rumahnya dan tinggal di Pasuruan. Saya membayangkan di sana bisa sekolah. Ketika saya menyampaikan ke ibu, ia terkejut. Sama sekali tidak menyangka saya punya keinginan itu. Sebab Pasuruan selain jauh juga tidak ada biaya. Kalau toh ada biaya, dengan siapa saya akan ke Pasuruan?
Spontan ibu menjawab,”Buat apa menyusul Yu Puk? Tidak usah. Lagi pula tidak ada biaya.”
”Tapi ibu, saya ingin ke sana, siapa tahu saya bisa sekolah,” jawab saya mendesak.
”Mbakyumu sudah berat hidupnya. Tidak mungkin menyekolahkanmu. Jangan menambah bebannya,” kata ibu.
Malam itu saya tidak bisa tidur. Keinginan untuk ke Pasuruan tidak bisa dibendung. Saya datangi ibu di kamarnya. Kali ini saya agak memaksa.
”Ibu, izinkan saya ke Pasuruan. Saya tidak akan merepotkan Yu Puk. Saya siap melakukan apa saja nanti. Tidak apa-apa juga andai nanti tidak sekolah.”
Ibu menatap saya dalam-dalam. Tampak sekali kesedihan di raut wajahnya. Dengan terbata-bata dia berkata,”Nak, ibu sudah bertahun-tahun tidak merawatmu. Ini saatnya ibu mengganti masa yang hilang itu. Ibu bersyukur kamu bisa di rumah ini. Jangan ke mana-mana lagi.”
Air mata ibu mulai tumpah. Saya pun tidak sanggup menahan pedih ini. Tapi saya juga tidak mampu menolak keinginan ke Pasuruan. Dalam isak tangis itu saya menyampaikan,”Saya sangat ingin ke Pasuruan, Ibu. Siapa tahu saya bisa sekolah. Saya tidak akan memberatkan Yu Puk. Saya akan sanggup melakukan apa saja agar bisa sekolah nanti.”
Melihat tekad saya seperti itu, ibu akhirnya luluh. ”Ya, sudah, kalau itu kemauanmu. Tapi kamu harus pergi sendirian, berani ?” tanyanya.
”Berani,” jawab saya sambil mendongakkan wajah ke ibu. Terlihat mata ibu sembab. Pipinya basah. Tangannya memegang pundak saya dengan gemetar.
Seraya bangkit dari duduk dan menyeka air mata di pipinya, ia berkata,”Besok ibu akan nyegrek kelapa untuk dijual ke pasar. Uangnya kamu pakai ke Pasuruan. Ibu tidak bisa mengantar karena uangnya pasti tidak cukup. Ibu hanya bisa mendoakanmu. Tapi kamu harus khitan dulu. Seminggu kemudian baru berangkat setelah sembuh.”
”Alhamdulillah, ya Allah. Terima kasih ibu. Terima kasih. Cukup bagi saya doa ibu. Insyaallah saya bisa menjaga diri,” jawab saya kegirangan.
Saya kembali ke kamar dengan hati senang. Saya usap air mata yang sejak tadi mengalir. Tidur telentang memandang langit-langit kamar dengan hati membuncah. Berbagai bayangan berkelebat tentang kehidupan di Pasuruan. Saya tidak peduli apa nanti yang terjadi. Yang penting bisa ke Pasuruan.
Pagi itu ibu benar-benar nyegrek kelapa, lalu dijual ke pasar. Sorenya membawa saya ke calak. Sebutan untuk tukang sunat. Calak itu motong kulup pakai atau ngeges dengan bambu tajam. Bukan dengan gunting seperti mantri atau dokter. Juga tak pakai obat bius. Cukup doa, rasa sakit bisa hilang.
Pulang dari calak diadakan acara selamatan. Keluarga sanak famili diundang. Juga tetangga dan teman- teman mengaji di mushala. Dalam acara selamatan itu, saya masih sempat memimpin pembacaan Diba’, srokalan dan Barzanji.
Berangkat ke Pasuruan
Tepat sepekan kemudian, dalam kondisi masih belum sembuh total dari khitan, ibu mengantar saya ke Terminal Nganjuk berjalan kaki. Sepanjang perjalanan ia menasihati saya. Termasuk mengingatkan tentang rute yang harus ditempuh.
Ibu menitipkan saya kepada kondektur bus jurusan Surabaya sekaligus membayar ongkosnya. Tidak ada sangu sesenpun yang diberikan ke saya karena memang uangnya hanya cukup untuk ongkos. ”Titip anak saya ya Pak. Nanti sampai di Terminal Surabaya minta tolong dipindahkan ke bus jurusan Pasuruan – Probolinggo,” katanya mewanti-wanti kepada kondektur bus.
Selama perjalanan itu saya tidur. Tiba di Terminal Surabaya saya bangun. Lalu diantar pindah bus ke Pasuruan. Hingga sampai di Dong Wolu Pasuruan kondektur memberitahu saya turun di sini. Saya berjalan kaki mencari rumah kakak saya.
Yu Puk terkejut melihat kedatangan saya sore jelang Magrib itu. Dia bertanya macam-macam bagaimana bisa ke Pasuruan. Saya hanya tersenyum dan bersyukur selamat bisa sampai rumahnya.
Yu Puk sudah bilang kalau tidak mampu membiayai sekolah karena anak-anaknya sendiri butuh sekolah. Saya memaklumi dan menerima. Suaminya berjualan bakso. Penghasilannya tidak cukup kalau harus membiayai saya juga.
Saya cukup senang bisa menumpang hidup di rumahnya. Saya membantu mas ipar, Kang Kirom, berjualan bakso keliling Kota Pasuruan setiap malam. Di sela itu kebiasaan adzan dan mengaji tidak pernah terlalaikan.
Di sebelah rumah Yu Puk ada mushala. Imamnya seorang pegawai Departemen Agama. Namanya Jasirun. Orang-orang memanggilnya Pak Jasirun. Ia pendiam. Penuh wibawa. Diam-diam ternyata dia memperhatikan saya setelah hampir tiga bulan adzan dan mengaji di mushala.
Suatu saat Pak Jasirun memanggilnya saya.
”Namamu siapa?” tanyanya.
”Abu Nasir,” jawab saya.
”Dari mana?”
”Nganjuk.”
”Lha di sini, ikut siapa?”
”Yu Puk dan Kang Kirom.”
”Oh, yang jualan bakso itu?”
” Iya.”
”Kamu apanya?”
”Adiknya.”
”Oo.. apa kamu tidak sekolah?”
”Tidak.” Waktu menjawab ini, pikiran saya mulai menyelidik arah pertanyaannya.
”Kenapa tidak sekolah?” Pak Jasirun terus bertanya.
”Tidak punya biaya,” jawab saya sambil menundukkan wajah.
Pak Jasirun diam sejenak. Seperti agak ragu dan khawatir.
”Apa kamu… mau sekolah?” tanyanya terdengar lirih.
Saya kaget. Setengah tidak percaya dan seperti mendengar suara teman SD yang bertemu di Pasar Wage Nganjuk dulu. Sejenak kemudian saya sadar. Inilah yang saya tunggu.
”Mau!” jawab saya setengah berteriak.
”Tapi kamu harus ikut di rumah saya,” kata Pak Jasirun.
” Iya, tidak apa-apa. Kapan saya harus mulai?” tanya saya tidak sabar.
”Besok, sekarang bilang ke mbakyumu. Kalau boleh, besok sudah di rumah saya.”
Tanpa pikir panjang hari itu saya bilang ke Yu Puk dan pamit. Saya akan ngenger untuk kedua kalinya di rumah orang.
Besok hari sudah menjadi hari yang berbeda. Saya didaftarkan di sebuah SMP yang sama sekali tidak saya ketahui sekolah apa. Itupun belum bisa masuk langsung sebab semesteran baru selesai. Mulai masuk lagi pekan depan di semester kedua.
Hari yang dinanti datang. Saya masuk sekolah pertama kali dengan hati riang. Berseragam celana pendek hijau bertambal di bagian belakang. Baju putih dan bersepatu pantofel yang lebih besar dari kaki. Hari itu bahagia luar biasa.
Hari pertama itu pula saya tahu sekolah itu adalah SMP Muhammadiyah. Pelajaran pertama siang itu adalah Kemuhammadiyahan. Bukunya bergambar simbol matahari. Perlahan ingatan saya menerawang mimpi waktu Dhuha di kampung tentang matahari bersinar terang.
Editor Sugeng Purwanto